Rukhshoh Puasa Ramadhan : Musafir

Rukhshoh Puasa Ramadhan : Musafir 1 - Kajian Islam Tarakan

40. Rukhshoh Puasa Ramadhan : Musafir (1)

MARHABAN YA RAMADHAN

20 Ramadhan 1442 H - 2 Mei 2021

Oleh: Isnan Ansory

Para ulama umumnya sepakat bahwa seorang yang dalam perjalanan (musafir), mendapatkan keringanan untuk tidak berpuasa, berdasarkan ayat berikut: 

فَمَنْ كاَنَ مِنْكُمْ مَرِيْضاً أَوْ عَلىَ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَر (البقرة: 185) 

Dan siapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan maka menggantinya di hari lain (QS. Al-Baqarah: 185) 

Namun jika sang musafir tetap melakukan puasa, maka puasanya tetap dinilai sah dan tidak wajib diqodho’ menurut kebanyakan ulama.

Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H) berkata dalam kitabnya, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiraqi:(1) 

أَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّهُ إنْ صَامَ أَجْزَأَهُ. وَيُرْوَى عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُ لَا يَصِحُّ صَوْمُ الْمُسَافِرِ ... بِهَذَا قَوْمٌ مِنْ أَهْلِ الظَّاهِرِ؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «لَيْسَ مِنْ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ» (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ) ... وَعَامَّةُ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى خِلَافِ هَذَا الْقَوْلِ، قَالَ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ: هَذَا قَوْلٌ يُرْوَى عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، هَجَرَهُ الْفُقَهَاءُ كُلُّهُمْ، وَالسُّنَّةُ تَرُدُّهُ، وَحُجَّتُهُمْ مَا رُوِيَ عَنْ حَمْزَةَ بْنِ عَمْرٍو الْأَسْلَمِيّ، أَنَّهُ قَالَ لِلنَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: أَصُومُ فِي السَّفَرِ؟ - وَكَانَ كَثِيرَ الصِّيَامِ -، قَالَ: «إنْ شِئْت فَصُمْ، وَإِنْ شِئْت فَأَفْطِرْ» (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

Kebanyakan ulama berpendapat bahwa jika musafir berpuasa, puasanya tetap sah. Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah yang berpendapat bahwa puasa musafir tidaklah sah... di mana pendapat ini dipegang oleh kalangan azh-Zhahiriyyah berdasarkan sabda Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam -, “Bukanlah dari kebaikan, berpuasa dalam perjalanan.” (HR. Bukhari Muslim) ... Hanya saja, kebanyakan ulama menyelisihi pendapat ini, dimana Ibnu Abdil Barr berkata: Pendapat ini diriwayatkan dari Abdurrahman bin Auf, namun ditolak oleh para ulama, begitupula bertentangan dengan Sunnah. Yaitu hadits yang diriwayatkan dari Hamzah bin Amr al-Aslami, yang berkata kepada Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam -: Bolehkan aku berpuasa di tengah perjalanan? – Hamzah termasuk shahabat yang banyak berpuasa -. Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - menjawab: “Kalau engkau mau berpuasa silahkan, kalau engkau mau berbuka juga silahkan.” (HR. Bukhari Muslim)

1. Syarat Musafir Boleh Tidak Berpuasa

Namun para ulama menetapkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, agar safar yang dilakukan bisa dijadikan keringanan untuk tidak berpuasa. Syarat-syarat tersebut sebagaimana berikut:

a. Melakukan Safar Sebelum Fajar

al-Qur’an menegaskan bahwa kebolehan tidak berpuasa bagi musafir adalah jika status musafir berlaku saat puasa tidak dilakukan. Artinya, perjalanan safar itu mesti sudah dilakukan sebelum memasuki waktu fajar.

Karenanya, para ulama sepakat bahwa jika seseorang sudah melakukan perjalanan sebelum fajar pada salah satu hari di bulan Ramadhan, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa pada hari tersebut.

Imam an-Nawawi asy-Syafi’i (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(2) 

إذَا سَافَرَ الْمُقِيمُ فَهَلْ لَهُ الْفِطْرُ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ له اربعة احوال (أَنْ) يَبْدَأَ السَّفَرَ بِاللَّيْلِ وَيُفَارِقُ عُمْرَانَ الْبَلَدِ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَهُ الْفِطْرُ بِلَا خِلَافٍ.

Jika seorang muqim melakukan safar, apakah boleh baginya untuk tidak berpuasa?. Dalam hal ini ada 4 kondisi. Pertama: semua ulama sepakat bahwa jika ia melakukan perjalanan di malam hari dan telah meninggalkan bangunan-bangunan wilayah tempat tinggalnya sebelum fajar, maka boleh baginya tidak berpuasa menurut kesepakatan.

b. Syarat Safar Yang Dapat Mengqoshor Shalat

Hikmah dibolehkannya tidak puasa bagi musafir adalah kondisi sulit yang umumnya terjadi dalam suatu perjalana. Karena itulah, disyaratkan pula syarat-syarat perjalanan yang membolehkan qoshor shalat atas safar yang membolehkan tidak berpuasa. Syarat tersebut adalah niat safar, telah keluar dari rumahnya dan jarak minimal.

1) Niat Melakukan Safar

Sebagaimana dalam definisi safar secara fiqih, para ulama menegaskan bahwa suatu perjalanan tidak selalu disebut sebagai safar. Seperti jika ada seorang yang melakukan perjalanan ke pasar untuk mencari kebutuhan sehari-harinya. Maka perjalanan seperti ini, tidaklah terhitung secara tradisi sebagai suatu safar.

Maka atas dasar ini, para ulama menetapkan syarat niat untuk membedakan suatu perjalanan sebagai safar atau bukan.

Imam ’Ala’uddin al-Hashkafi (w. 1088 H) berkata dalam kitabnya, ad-Durr al-Mukhtar Syarah Tanwir al-Abshar:(3) 

وَمَنْ طَافَ الدُّنْيَا بِلَا قَصْدٍ لَمْ يَقْصُرْ.

Seseorang yang berkeliling dunia, tanpa meniatkan diri sebagai musafir, maka tidak boleh mengqoshor shalat.

Di samping itu, mayoritas ulama (Maliki, Syafi’i dan Hanbali) juga mensyaratkan status safar yang dilakukan, bukan bertujuan untuk melakukan kemaksiatan atau kemungkaran yang dilarang oleh Allah - ta’ala -. 

Seperti jika safarnya dilakukan untuk praktek pembegalan di jalan, atau perampokan, penodongan, penipuan atau hal-hal lain yang jelas-jelas bertujuan untuk melakukan perbuatan haram. Termasuk safar dengan tujuan untuk bermabuk-mabukan, berzina, atau berjudi.

Hal ini mereka dasarkan kepada argumentasi, bahwa kebolehan untuk tidak berpuasa Ramadhan merupakan keringanan yang Allah - ta’ala - berikan, namun keringanan itu tidak diberikan kepada mereka yang dalam safarnya bertujuan untuk melakukan sesuatu yang tidak dihalalkan oleh Allah - ta’ala -.

Imam Abu Ishaq asy-Syirazi (w. 476 H), berkata dalam kitabnya, al-Muhazzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i:(4) 

لأِنَّ الرُّخْصَ لاَ يَجُوزُ أَنْ تَتَعَلَّقَ بِالْمَعَاصِي؛ وَجَوَازُ الرُّخْصِ فِي سَفَرِ الْمَعْصِيَةِ إِعَانَةٌ عَلَى الْمَعْصِيَةِ وَهَذَا لاَ يَجُوزُ.

Sebab keringanan syariat tidak dibolehkan jika terkait dengan perbuatan maksiat. Karena bolehnya mengambil keringanan dalam perjalanan maksiat, merupakan bentuk mendukung maksiat itu sendiri. Dan hal ini tentunya tidak dibolehkan.

Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(5)  

مَذْهَبُنَا جَوَازُ الْقَصْرِ فِي كُلِّ سَفَرٍ لَيْسَ مَعْصِيَةً ... وَبِهَذَا قَالَ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَجَمَاهِيرُ الْعُلَمَاءِ مِنْ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ ... وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَالثَّوْرِيُّ وَالْمُزَنِيُّ يَجُوزُ الْقَصْرُ فِي سَفَرِ الْمَعْصِيَةِ وَغَيْرِهِ.

Mazhab kami adalah bahwa qoshor shalat boleh dilakukan dalam setiap safar kecuali safar untuk maksiat. … Dan ini adalah pendapat Malik, Ahmad dan mayoritas ulama dari kalangan shahabat, tabi’in dan orang-orang setelah mereka. … Sedangkan al-Awza’i, Abu Hanifah, ats-Tsauri dan al-Muzani, mereka berkata bahwa qoshor boleh dilakukan dalam safar apapun termasuk untuk maksiat.

Adapun dasar pensyaratan dalam niat safar ini, adalah ayat yang menjelaskan bahwa keringanan syariat boleh diambil, jika tidak untuk maksud berbuat dosa.

فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (المائدة: 3)

Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Maidah: 3)

Namun Mazhab Hanafi, sebagaimana dijelaskan oleh Imam an-Nawawi di atas, tidak mensyaratkan hal ini. Dalam pandangan mereka, maksiat memang haram, tetapi safarnya sendiri tidaklah haram.

Imam ’Ala’uddin al-Hashkafi (w. 1088 H) berkata dalam kitabnya, ad-Durr al-Mukhtar Syarah Tanwir al-Abshar:(6) 

(وَلَوْ) كَانَ (عَاصِيًا بِسَفَرِهِ) لِأَنَّ الْقُبْحَ الْمُجَاوِرَ لَا يَعْدَمُ الْمَشْرُوعِيَّةَ.

Meskipun safarnya untuk maksiat (ia boleh mengqoshor shalatnya). Sebab perbuatan buruk yang menyertai sesuatu, tidak membatalkan pensyariatatan atas sesuatu tersebut.

2) Keluar Rumah atau Melewati Batas Kota

Di samping niat, para ulama juga menegaskan bahwa seseorang dikatakan musafir hanyalah ketika dia sudah mulai melaksanakan perjalanan itu, yang ditandai dengan keluarnya ia dari rumah dan telah melewati batas kota, atau wilayah tempat tinggalnya. 

Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(7)  

(وَلَا يَجُوزُ الْقَصْرُ إلَّا أَنْ يُفَارِقَ مَوْضِعَ الْإِقَامَةِ ... ) ... ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا أَنَّهُ إذَا فَارَقَ بُنْيَانَ الْبَلَدِ قَصَرَ وَلَا يَقْصُرُ قَبْلَ مُفَارَقَتِهَا وَإِنْ فَارَقَ مَنْزِلَهُ وَبِهَذَا قَالَ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَأَحْمَدُ وَجَمَاهِيرُ الْعُلَمَاءِ.

(Tidak boleh mengqoshor shalat, kecuali jika telah meninggalkan tempat tinggalnya … ) … Telah kami sebutkan mazhab kami, bahwa jika telah meninggalkan bangunan-bangunan rumah dari wilayah tempat tinggalnya, boleh untuk mengqoshor shalat, dan tidak boleh mengqoshor shalat meskipun baru meninggalkan rumahnya saja. Dan ini adalah pendapat Malik, Abu Hanifah, Ahmad dan mayoritas ulama.

Atas dasar ini, jika ada orang yang baru berniat akan melakukan safar, sementara dia belum mulai bergerak, belum dikatakan musafir, maka dia belum lagi mendapatkan keringanan sebagi musafir yang boleh untuk tidak berpuasa Ramadhan.

Contohnya adalah seorang yang naik treadmill, salah satu alat kebugaran. Meski saat dia melangkahkan kaki menempuh hitungan 100 Km, tidak dikatakan telah menjadi musafir, mengingat secara fisik dirinya tidak kemana-mana dan tetap berada di suatu tempat.

Contoh lainnya adalah seseorang yang mengemudikan mobil dan masuk jalan tol dalam kota Jakarta. Meski alat pengukur jarak pada spedometer menyebutkan bahwa dia telah menempuh jarak lebih dari 100 km, namun kalau hanya berputar-putar saja di dalam Kota Jakarta, meski telah beberapa putaran, lalu pulang ke rumah, tetap ia tidak disebut musafir. 

Contoh lainnya adalah warga Jakarta dan sekitarnya yang duduk berjam-jam dalam sehari di dalam kendaraan sambil menikmati kemacetan parah. Meski waktu yang dipakai untuk bermacet-macet itu lebih dari tiga jam, namun tidak disebut sebagai perjalanan atau safar.

Syarat ini didasarkan kepada hadits berikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - خَرَجَ إِلَى مَكَّةَ فِي رَمَضَانَ، فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ الكَدِيدَ، أَفْطَرَ، فَأَفْطَرَ النَّاسُ. (رواه البخاري)

Dari Ibnu Abbas ra: bahwa Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - pergi menuju Makkah dalam bulan Ramadhan dan Beliau berpuasa. Ketika sampai di daerah Kadid –oase yang berada di antara wilayah Usfan dan Qudaid-, Beliau berbuka yang kemudian orang-orang turut pula berbuka. (HR. Bukhari)

Adapun standar dikatakan seseorang telah keluar dari rumahnya adalah jika telah meninggalkan wilayah yang secara ‘urf (tradisi) tidak lagi menjadi bagian dari tempat tinggalnya. Seperti bangunan-bangunan yang masih terhubung dengan rumah sang musafir, atau pagar rumahnya, atau perkebunan yang tempat tinggalnya ada di dalamnya.

Dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah disebutkan:(8) 

الْخُرُوجُ مِنَ الْمَقَامِ، أَيْ مَوْطِنِ إِقَامَتِهِ، وَهُوَ أَنْ يُجَاوِزَ عُمْرَانَ بَلْدَتِهِ وَيُفَارِقَ بُيُوتَهَا، وَيَدْخُل فِي ذَلِكَ مَا يُعَدُّ مِنْهُ عُرْفًا كَالأْبْنِيَةِ الْمُتَّصِلَةِ، وَالْبَسَاتِينِ الْمَسْكُونَةِ، وَالْمَزَارِعِ، وَالأسْوَارِ.

Disyaratkan telah keluar dari tempat tinggalnya. Yaitu seperti jika telah melewati bangunan-bangunan yang ada di wilayah tempat tinggalnya. Dan termasuk bagian dari wilayah tinggalnya adalah apapun yang secara urfi (tradisi) menjadi bagian dari wilayah tinggalnya, seperti bangunan-bangunan yang masih terhubung dengan kediamannya, kebun-kebun yang rumahnya ada di dalamnya, begitu pula per- shallallahu ‘alaihi wasallam -ahan dan pagar-pagar bangunan tersebut.

3) Jarak Minimal

Menurut Ibnu Rusyd al-Hafid (w. 595 H) dalam kitabnya, Bidayah al-Mujtahid, alasan dibolehkannya seorang musafir tidak berpuasa karena adanya sebab masyaqqah (kesulitan). Dan masyaqqah ini hanya terjadi bila perjalanan itu jauh, sejauh diperbolehkannya mengqoshor shalat. Dan ketentuan syarat ini menurutnya telah menjadi ijma’ di antara para shahabat Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam -.(9)  Sebagaimana hal itu diamini pula oleh Imam an-Nawawi.

Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(10) 

لَا يَجُوزُ الْفِطْرُ فِي رَمَضَانَ ... فِي سَفَرِ آخَرَ دُونَ مَسَافَةِ الْقَصْرِ بِلَا خِلَافٍ.

Tidak boleh membatalkan puasa di bulan Ramadhan … untuk safar yang tidak berjarak untuk bolehnya mengqoshor shalat.

Namun para ulama berbeda pendapat terkait batas minimal jarak perjalanan yang membolehkan untuk mendapatkan keringanan shalat tersebut.(11)

Mazhab Pertama: 2 hari perjalanan / 88,704 Km.

Mayoritas ulama menetapkan jarak sejauh perjalanan kaki selama dua hari. Namun yang menjadi ukuran bukan lamanya perjalanan, melainkan jauhnya perjalanan itu sendiri, yaitu sekitar 89 Km atau lebih tepatnya 88,704 Km. 

Dasarnya adalah sabda Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - kepada penduduk Mekkah untuk tidak mengqoshor shalat kecuali bila mereka menempuh perjalanan sejauh 4 burud, atau sejauh jarak antara Mekkah dan Asfan/Usfan.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْه - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «يَا أَهْلَ مَكَّةَ لَا تَقْصُرُوا الصَّلَاةَ فِي أَدْنَى مِنْ أَرْبَعَةِ بُرُدٍ مِنْ مَكَّةَ إِلَى عَسْفَانَ» (رواه الداقطني)

Dari Ibnu Abbas - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: Wahai penduduk Mekkah, janganlah kalian mengqoshor shalat bila kurang dari 4 burud, dari Mekkah ke Asfan. (HR. Daruquthuny)

قَالَ البُخَارِي مُعَلَّقًا: وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ، وَابْنُ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ -، يَقْصُرَانِ، وَيُفْطِرَانِ فِي أَرْبَعَةِ بُرُدٍ وَهِيَ سِتَّةَ عَشَرَ فَرْسَخًا. (رواه البخاري)

Imam Bukhari meriwayatkan secara mu’allaq: bahwa Ibnu Umar - radhiyallahu ‘anhu - dan Ibnu Abbas - radhiyallahu ‘anhu -, menqoshor shalat dan berbuka (tidak berpuasa karena safar), pada jarak 4 burud atau 16 farsakh. (HR. Bukhari)

Mazhab Kedua: 3 hari perjalanan / 132, 611 Km.

Mazhab Hanafi menyebutkan bahwa jarak perjalanan itu minimal adalah jarak perjalanan yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau naik unta selama tiga hari tiga malam.

Dasarnya adalah semua hadits tentang perjalanan yang selalu disebut adalah perjalanan yang memakan waktu tiga hari. Salah satunya disebutkan tentang kebolehan musafir untuk selalu mengusap khuff-nya selama 3 hari perjalanan.

عَنْ صَفْوَانَ بْنِ عَسَّالٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْه -، قَالَ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا سَفَرًا أَنْ لَا نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيهِنَّ، إِلَّا مِنْ جَنَابَةٍ، وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ» (رواه الترمذي والنسائي) 

Dari Shoffwan bin Assal - radhiyallahu ‘anhu -, ia berkata: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - memerintahkan kami saat melakukan safar untuk tidak melepas sepatu kami (dalam rangak mengusap khuff) selama tiga hari tiga malam, kecuali jika dalam kondisi junub. Bukan karena BAB, BAK, atau tidur. (HR. Nasai, dan Tirmizi)

Kalau dihitung, berarti jarak yang dijadikan syarat oleh mazhab Hanafi untuk boleh tidak berpuasa lebih jauh dari pada pendapat jumhur ulama yang menetapkan perjalanan dua hari. Sedangkan mazhab Hanafi menetapkan 3 hari. Sehingga perbandingan jaraknya 1,5 kali lebih jauh dari yang disyaratkan oleh Jumhur ulama. Maka jarak itu adalah 1,5 x 88,704 Km =  132,611 Km.  

Mazhab ketiga: Tidak Ada Batasan Jarak.

Sebagian ulama Hanbali, umumnya tidak menetapkan batasan jarak minimal. Dalam pandangan mereka, asalkan disebut sebagai safar, berapapun jaraknya, maka seseorang sudah boleh untuk melakukan qoshor shalat.

Dalil yang mereka kemukakan adalah sebagaimana disampailam oleh Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H) ketika menolak pendapat jumhur ulama dalam masalah jarak minimal. Ibnu Qudamah mengatakan bahwa al-Quran membolehkan untuk mengqoshor shalat bagi semua orang yang melakukan perjalanan di atas bumi tanpa membatasi jaraknya.

Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H) berkata dalam kitabnya, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiraqi:(12) 

الْحُجَّةُ مَعَ مَنْ أَبَاحَ الْقَصْرَ لِكُلِّ مُسَافِرٍ، إلَّا أَنْ يَنْعَقِدَ الْإِجْمَاعُ عَلَى خِلَافِهِ.

Dalil yang kuat di sisi pendapat yang membolehkan qoshor atas setiap musafir (tanda ada batasan jarak tertentu). Kecuali jika memang ditemukan adanya ijma’ yang membatasi jarak tertentu.

Selain itu, mazhab ini juga berhujjah bahwa Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - mengqoshor shalatnya walau pun hanya berjarak 3 farsakh atau 3 mil (4,8 Km).

2. Mana Lebih Utama?

Kebolehan untuk tidak berpuasa bagi mereka yang dalam keadaan safar adalah hal yang telah disepakati oleh para ulama. Namun bila antara berpuasa dan tidak berpuasa dalam keadaan seimbang, manakah yang lebih utama? Meneruskan berpuasa  ataukah berbuka? Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. 

Mazhab Pertama: Lebih utama berpuasa.

Mayoritas ulama (Hanafi, Maliki, Syafi’i) berpendapat bahwa lebih baik tetap terus berpuasa, meskipun seseorang mendapat keringanan ketika dalam perjalanan.

Imam an-Nawawi asy-Syafi’i (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(13) 

(وَأَمَّا) أَفْضَلُهُمَا فَقَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ: إنْ تَضَرَّرَ بِالصَّوْمِ فالفطر افضل والا فالصوم أفضل.

Adapun mana yang lebih utama antara keduanya, maka asy-Syafi’i berkata: Jika dengan berpuasa dapat menimbulkan kesulitan dalam perjalanan, maka berbuka lebih utama. Namun jika tidak, maka puasa tetap lebih utama.

Mereka berargumentasi bahwa bila seseorang tetap berpuasa, maka dia telah terbebas dari beban untuk membayar hutang puasa di hari lain (tabri’ah adz-dzimmah). Dan tidak mempunyai hutang menjadi lebih utama dalam kasus seperti ini. Namun bila seseorang yang safar tetap berpuasa dan malah mengakibatkan dharar/bahaya atas dirinya, maka yang utama adalah berbuka, sebagaimana penjelasan Imam an-Nawawi di atas.

Selain itu, mereka juga mendasarkannya pada hadits berikut:

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، قَالَ: «خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ فِي يَوْمٍ حَارٍّ حَتَّى يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الحَرِّ، وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلَّا مَا كَانَ مِنَ النَّبِيِّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وَابْنِ رَوَاحَةَ» (متفق عليه)

Dari Abu Darda’ - radhiyallahu ‘anhu -, ia berkata: Kami pernah bepergian bersama Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam -, di saat musim yang sangat panas. Sampai-sampai seseorang meletakkan tangannya di atas kepala karena cuaca yang sangat panas. Dan tidak ada seorang pun yang berpuasa di antara kami, kecuali Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - dan Abdullah bin Rawahah. (HR. Bukhari Muslim)

Mazhab Kedua: Berbuka lebih utama.

Mazhab Hanbali berpendapat bahwa yang lebih utama dalam kondisi safar adalah tidak berbuka puasa. 

Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H) berkata dalam kitabnya, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiraqi:(14) 

الْأَفْضَلُ عِنْدَ إمَامِنَا، - رَحِمَهُ اللَّهُ -، الْفِطْرُ فِي السَّفَرِ.

Yang paling utama menurut imam kami - Imam Ahmad - rahimahullah - - adalah tidak berpuasa saat melakukan perjalanan.

Pendapat ini mereka dasarkan pada hadits berikut:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فِي سَفَرٍ، فَرَأَى زِحَامًا وَرَجُلًا قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ، فَقَالَ: «مَا هَذَا؟»، فَقَالُوا: صَائِمٌ، فَقَالَ: «لَيْسَ مِنَ البِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ» (متفق عليه) وفي رواية مسلم: عَلَيْكُمْ بِرُخْصَةِ اللَّهِ الَّذِي رَخَّصَ لَكُمْ فَاقْبَلُوهَا.

Dari Jabir bin Abdillah - radhiyallahu ‘anhu -, ia berkata: Pernah Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - dalam perjalanan, mendapati seseorang (dia adalah Abu Israil al-‘Amiri) yang bernaung pada seseorang hingga saling berhimpitan, lalu Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - bertanya, “Apa ini.?”, para shahabat menjawab, “ia berpuasa.” Lantas Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Bukan termasuk kebaikan, yaitu orang yang berpuasa dalam kondisi safar.” (HR. Bukhari Muslim) dan dalam riwayat Muslim, disebutkan: “Hendaklah kalian mengambil rukhshoh (keringanan) yang telah Allah - shallallahu ‘alaihi wasallam - berikan. Terimalah keringanan itu.” (HR. Muslim)

Mazhab Ketiga: Tidak membedakan antara keduanya. 

Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara keduanya. Dalam arti, jika mau berbuka, itu utama. Namun kalau tetap berpuasa, hal itu juga utama.

Dasar pendapat mereka adalah bahwa hadits-hadits di atas semuanya shahih, sehingga tidak bisa saling menafikan atau saling meniadakan satu sama lainnya. Sebaliknya, justru semua hadits itu dapat dipakai. Di samping, ada juga hadits yang mengisyaratkan hal ini.

عَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللهُ عَنْهَا -، أَنَّهَا قَالَتْ: سَأَلَ حَمْزَةُ بْنُ عَمْرٍو الْأَسْلَمِيُّ رَسُولَ اللهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - عَنِ الصِّيَامِ فِي السَّفَرِ؟ فَقَالَ: «إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ» (متفق عليه) 

Dari Aisyah - radhiyallahu ‘anha -, ia berkata: bahwa Hamzah bin Amru al-Aslami bertanya kepada Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - tentang hukum berpuasa saat safar. Maka Rasululah - shallallahu ‘alaihi wasallam - menjawab: “Kalau kamu mau, berpuasalah. Dan kalau kamu mau, berbukalah.” (HR. Bukhari Muslim)

3. Kewajiban Mengganti

Para ulama sepakat bahwa meski dibolehkan berbuka, orang yang melakukan safar juga tetap wajib mengganti puasanya di hari yang lain. Dan tidak ada kewajiban fidyah atasnya. 

فَمَنْ كاَنَ مِنْكُمْ مَرِيْضاً أَوْ عَلىَ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَر (البقرة: 185) 

Dan siapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan maka menggantinya di hari lain (QS. Al-Baqarah: 185)

Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(15) 

إذَا أَفْطَرَ الْمُسَافِرُ لَزِمَهُ الْقَضَاءُ وَلَا فِدْيَةَ.

Jika musafir tidak berpuasa, maka ia wajib mengqodho’ dan tidak ada kewajiban fidyah.

---------------------

(1) Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiroqi, hlm. 3/157. 

(2) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/261.

(3) Ibnu Abdin, Radd al-Muhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar, hlm. 1/122.

(4) Ibrahim bin Ali Abu Ishaq asy-Syirazi, al-Muhazzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i, (t.t: Dar al-Kutub, t.th), hlm. 193.

(5) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 4/346.

(6) Ibnu Abdin, Radd al-Muhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar, hlm. 1/124.

(7) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 4/346, 349.

(8) Kementrian Waqaf Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, hlm. 27/269. 

(9) Ibnu Rusydi al-Hafid, Bidayatul Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, hal. 1/346.

(10) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 3/3.

(11) Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, hlm. 2/1343.

(12) Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni Syarah Mukhashar al-Khiraqi, hlm. 2/190.

(13) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/261.

(14) Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiroqi, hlm. 3/157.

(15) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/261.

Silahkan baca juga artikel kajian ulama tentang puasa berikut :

  1. Pengertian Puasa dan Puasa Ramadhan
  2. Sejarah Pensyariatan Puasa
  3. Keutamaan Ibadah Puasa
  4. Jenis-jenis Puasa
  5. Keistimewaan Bulan Ramadhan
  6. Hukum Puasa Bulan Sya'ban
  7. Jika Masih Ada Hutang Qodho’ dan Fidyah Ramadhan
  8. Hukum Puasa Ramadhan
  9. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Islam
  10. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Berakal
  11. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Berumur Baligh
  12. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Sehat
  13. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Mampu
  14. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Muqim Bukan Musafir
  15. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Suci Dari Haid atau Nifas
  16. Syarat Sah Puasa Ramadhan : Beragama Islam
  17. Syarat Sah Puasa Ramadhan : Berakal
  18. Syarat Sah Puasa Ramadhan : Suci Dari Haid atau Nifas
  19. Syarat Sah Ibadah Puasa : Pada Hari Yang Tidak Diharamkan
  20. Rukun Puasa Ramadhan : Niat
  21. Rukun Puasa Ramadhan : Imsak
  22. Imsak Yang Bukan Puasa
  23. Sunnah Dalam Puasa : Makan Sahur
  24. Sunnah Dalam Puasa : Berbuka Puasa (Ifthor)
  25. Sunnah Dalam Puasa Ramadhan : Memperbanyak Ibadah Sunnah Lainnya
  26. Sunnah Dalam Puasa : Menahan Diri Dari Perbuatan Yang Dapat Merusak Pahala Puasa dan Mandi Janabah Bagi Yang Berhadats Besar
  27. Pembatal Puasa : Empat Kondisi Seputar Pembatal Puasa
  28. Pembatal Puasa : Pembatal-pembatal Puasa Secara Global
  29. Pembatal Puasa : Batalnya Syarat Sah Puasa
  30. Pembatal Puasa : Makan Minum (Pertama)
  31. Pembatal Puasa : Makan Minum (2)
  32. Pembatal Puasa : Jima’
  33. Pembatal Puasa : Muntah Dengan Sengaja
  34. Pembatal Puasa : Mengeluarkan Mani Dengan Sengaja
  35. Pembatal Puasa: Apakah Berbekam & Mengeluarkan Darah Dari Tubuh Membatalkan Ibadah Puasa?
  36. Ibadah Ramadhan : Shalat Witir di Bulan Ramadhan
  37. Ibadah Ramadhan : Shalat Tarawih di Bulan Ramadhan
  38. Rukhshoh Puasa : Orang-orang Yang Mendapatkan Keringanan Untuk Boleh Tidak Berpuasa Ramadhan Serta Konsekwensinya
  39. Rukhshoh Puasa Ramadhan : Sakit
  40. Rukhshoh Puasa Ramadhan : Musafir (1)
  41. Rukhshoh Puasa Ramadhan : Musafir (2)

Sumber FB Ustadz : Isnan Ansory MA

2 Mei 2021 

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Rukhshoh Puasa Ramadhan : Musafir". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait