Ibadah Ramadhan : Shalat Tarawih di Bulan Ramadhan

Ibadah Ramadhan - Shalat Tarawih di Bulan Ramadhan

37. Ibadah Ramadhan : Shalat Tarawih di Bulan Ramadhan

MARHABAN YA RAMADHAN

17 Ramadhan 1442 H - 29 April 2021

Oleh: Isnan Ansory

1. Shalat Tarawih & Ramadhan

Shalat tarawih hanya disyariatkan di dalam bulan Ramadhan. Meskipun seseorang melakukan shalat sunnah pada malam hari, namun kalau bukan di bulan Ramadhan, namanya bukan shalat tarawih, melainkan sekedar shalat malam atau tahajjud. Sebab Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - tiap malam secara rutin mengerjakan shalat tahajjud, baik di dalam bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan. Namun di luar shalat-shalat malamnya itu, secara khusus di malam bulan Ramadhan, beliau mengerjakan satu jenis shalat sunnah khusus dan unik, yang kemudian disebut dengan shalat tarawih.

Perbedaan paling signifikan antara shalat tarawih dengan tahajjud adalah pada bulannya. Shalat tarawih hanya dilakukan di malam bulan Ramadhan, sedangkan shalat tahajjud dikerjakan kapan saja, baik di dalam bulan Ramadhan atau di luar bulan Ramadhan.

Selain itu, shalat tarawih biasanya dikerjakan di awal malam bergandengan dengan shalat Isya’, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam -, serta dilakukan secara berjamaah di masjid. Sedangkan shalat tahajjud, diutamakan untuk dikerjakan di akhir malam setelah bangun dari tidur, dan lebih sering Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - mengerjakannya secara sendirian di rumah beliau, walau pun ada riwayat pernah dilakukan dengan berjamaah.

Perbedaan waktu pelaksanaan dua jenis shalat tersebut, sebagaimana tampak dalam kedua hadits berikut:

Untuk shalat tarawih:

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ المُؤْمِنِينَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا -: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي المَسْجِدِ، فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ، ثُمَّ صَلَّى مِنَ القَابِلَةِ، فَكَثُرَ النَّاسُ، ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ، فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ: «قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ» (متفق عليه)

Dari Aisyah - radhiyallahu ‘anha -: sesungguhnya Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - pada suatu malam pernah melaksanakan shalat kemudian orang-orang shalat dengan shalatnya tersebut, kemudian beliau shalat pada malam selanjutnya dan orang-orang yang mengikutinya bertambah banyak, kemudian mereka berkumpul pada malam ke tiga atau keempat dan Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - tidak keluar untuk shalat bersama mereka. Dan di pagi harinya Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - berkata: “Aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar (shalat) bersama kalian kecuali bahwasanya akau khawatir bahwa shalat tersebut akan difardukan.” Rawi hadits berkata: Hal tersebut terjadi di bulan Ramadhan. (HR. Bukhari Muslim)

Untuk shalat tahajjud:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي، فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ. (متفق عليه)

Dari Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Rabb kita akan turun setiap malam ke langit dunia ketika sepertiga malam terakhir. Dia pun berfirman: "Siapa yang berdo’a pada-Ku, Aku akan mengabulkannya. Siapa yang minta pada-Ku, Aku akan memberinya dan siapa yang memohon ampunan pada-Ku, Aku akan mengampuninya.” (HR. Bukhari  Muslim) 

2. Pengertian Shalat Tarawih

Secara bahasa, kata tarawih (تراويح) adalah jamak dari kata tarwiihah (ترويحة) yang bermakna istirahat. Adapun maksud dari istirahat di sini adalah duduk dengan jeda waktu agak lama di antara rangkaian rakaat-rakaat shalat. Di mana istilah untuk menyebut duduk setelah menyelesaikan 4 rakaat shalat di malam bulan Ramadhan disebut tarwihah, karena orang-orang beristirahat setiap empat rakaat.

Adapun secara fiqih, shalat tarawih didefinikan sebagaimana berikut:(1) 

قِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ، مَثْنَى مَثْنَى، عَلَى اخْتِلاَفٍ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِي عَدَدِ رَكَعَاتِهَا، وَفِي غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ مَسَائِلِهَا.

Shalat sunnah yang hanya dilakukan pada malam bulan Ramadhan, dengan dua-dua rakaat, dimana para ulama berbeda pendapat tentang jumlahnya dan dalam masalah terkait lainnya.

3. Hukum Shalat Tarawih & Hukum Tarawih Berjama’ah 

Para ulama sepakat bahwa hukum melaksanakan shalat tarawih pada malam-malam bulan Ramadhan adalah sunnah. Berdasarkan hadits Aisyah sebelumnya, dan hadits berikut ini:

عَنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بنِ عَوْفٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «شَهْرٌ كَتَبَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، وَسَنَنْتُ لَكُمْ قِيَامَهُ، فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ» (رواه النسائي وابن ماجه)

Dari Abdurrahman bin Auf - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Bulan yang Allah fardhukan puasa atas kalian, dan aku mensunnahkan qiyam-nya. Maka siapapun yang berpuasa dan berqiyam pada bulan Ramadhan atas dasar iman dan mengharap ganjaran dari Allah, dosa-dosa akan terampuni hingga ia seperti seorang anak yang baru dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Nasai dan Ibnu Majah)

Para ulama juga sepakat bahwa disunnahkan shalat tarawih untuk dilaksanakan secara berjama’ah sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam -. Adapun persolaan kenapa Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - selanjutnya tidak melaksanakan shalat tersebut secara berjamaah bersama para sahabat, berdasarkan keterangan sejumlah hadist, hal tersebut dilatar-belakangi kekhawatiran Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bahwa shalat tarawih tersebut berpotensi akan difardhukan atas umat Islam. 

عَن عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا -: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ، وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ، فَتَعْجِزُوا عَنْهَا» (متفق عليه)

Dari Aisyah - radhiyallahu ‘anha -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Sesungguhnya aku bukannya tidak tahu keberadaan kalian (semalam saat shalat tarawih). Akan tetapi aku takut nanti menjadi diwajibkan atas kalian sehingga kalian menjadi keberatan karenanya.” (HR. Bukhari Muslim) 

Dan karena itu, praktek shalat tarawih selanjutnya dilakukan oleh para shahabat secara sendiri-sendiri ataupun berjama’ah dalam kelompok-kelompok tertentu. Apakah dilakukan di dalam masjid, ataupun di rumah.

Hingga pada masa khalifah Umar bin Khatthab - radhiyallahu ’anhu -, beliau menetapkan praktek shalat tarawih dengan cara berjama’ah melalui satu imam. Dan shahabat yang ditunjuk menjadi imam shalat adalah shahabat Ubay bin Ka’ab - radhiyallahu ’anhu -. 

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ القَارِيِّ، أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى المَسْجِدِ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ، يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ، فَقَالَ عُمَرُ: «إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ، لَكَانَ أَمْثَلَ» ثُمَّ عَزَمَ، فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى، وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ، قَالَ عُمَرُ: «نِعْمَ البِدْعَةُ هَذِهِ، وَالَّتِي يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِي يَقُومُونَ» يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ (رواه البخاري)

Dari Abdurrahman bin Abdul Qariy bahwa dia berkata: Aku keluar bersama Umar bin al-Khatthab - radhiyallahu ‘anhu - pada malam Ramadhan menuju masjid, ternyata orang-orang shalat berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah, ada yang shalat sendiri dan ada seorang yang shalat diikuti oleh ma'mum yang jumlahnya kurang dari sepuluh orang. Maka Umar berkata: "Aku pikir seandainya mereka semuanya shalat berjama'ah dengan dipimpin satu orang imam, itu lebih baik." Kemudian Umar memantapkan keinginannya itu lalu mengumpulkan mereka dalam satu jama'ah yang dipimpin oleh Ubbai bin Ka'ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya pada malam yang lain dan ternyata orang-orang shalat dalam satu jama'ah dengan dipimpin seorang imam, lalu Umar berkata: "Sebaik-baiknya bid'ah adalah ini. Dan mereka yang tidur terlebih dahulu adalah lebih baik daripada yang shalat awal malam, yang ia maksudkan untuk mendirikan shalat di akhir malam, sedangkan orang-orang secara umum melakukan shalat pada awal malam. (HR. Bukhari)

4. Praktik Shalat

1) Jumlah Rakaat

Para ulama umumnya berpendapat bahwa tidak ada keterangan yang pasti tentang jumlah rakaat shalat tarawih yang dilakukan oleh Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersama para shahabat. 

Imam Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H) berkata dalam kitabnya, al-Mashobih fi Sholah at-Tarawih:(2) 

الَّذِي وَرَدَتْ بِهِ الأحَادِيثُ الصَّحِيحَةُ وَالْحِسَانُ الأَْمْرُ بِقِيَامِ رَمَضَانَ وَالتَّرْغِيبُ فِيهِ مِنْ غَيْرِ تَخْصِيصٍ بِعَدَدٍ، وَلَمْ يَثْبُتْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى التَّرَاوِيحَ عِشْرِينَ رَكْعَةً، وَإِنَّمَا صَلَّى لَيَالِيَ صَلاَةً لَمْ يُذْكَرْ عَدَدُهَا، ثُمَّ تَأَخَّرَ فِي اللَّيْلَةِ الرَّابِعَةِ خَشْيَةَ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْهِمْ فَيَعْجِزُوا عَنْهَا.

Hadits-hadits shahih maupun hasan yang terkait dengan shalat tarawih di bulan Ramadhan tidak menyebutkan secara khusus jumlah raka’aatnya. Dan tidak ada sandaran yang shahih kepada Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam -, bahwa beliau melakukannya sebanyak 20 rakaaat. Namun hanya diriwayatkan bahwa beliau melakukannya di malam-malam Ramadhan tanpa disebutkan jumlah rakaatnya. Lalu tidak dilakukan secara berjamaah pada malam keempat, karena kekhawatiran akan diwajibkan atas umat.

Hal yang sama ditegaskan pula oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H) dalam al-Fatawa al-Kubra yang menegaskan bahwa riwayat dari Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - tentang jumlah 20 rakaat adalah riwayat yang sangat lemah.(3) Karena itu, Imam Ibnu Taimiyah al-Harrani juga berpendapat bahwa tidak ada batasan minimal atau maksimal untuk jumlah rakaat tarawih. Meskipun beliau menganjurkan untuk dilakukan antara bilangan 10 hingga 40 rakaat.(4) 

Meski demikian, terdapat beberapa pendapat dari para ulama yang mensunnahkan jumlah tertentu. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam at-Tirmizi (w. 279 H) dalam kitab Sunan-nya.(5) 

اخْتَلَفَ أَهْلُ العِلْمِ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ، فَرَأَى بَعْضُهُمْ: أَنْ يُصَلِّيَ إِحْدَى وَأَرْبَعِينَ رَكْعَةً مَعَ الوِتْرِ، وَهُوَ قَوْلُ أَهْلِ المَدِينَةِ، وَالعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَهُمْ بِالمَدِينَةِ، وَأَكْثَرُ أَهْلِ العِلْمِ عَلَى مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ، وَعَلِيٍّ، وَغَيْرِهِمَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - عِشْرِينَ رَكْعَةً، وَهُوَ قَوْلُ الثَّوْرِيِّ، وَابْنِ المُبَارَكِ، وَالشَّافِعِيِّ. وقَالَ الشَّافِعِيُّ: «وَهَكَذَا أَدْرَكْتُ بِبَلَدِنَا بِمَكَّةَ يُصَلُّونَ عِشْرِينَ رَكْعَةً» وقَالَ أَحْمَدُ: «رُوِيَ فِي هَذَا أَلْوَانٌ وَلَمْ يُقْضَ فِيهِ بِشَيْءٍ» وقَالَ إِسْحَاقُ: «بَلْ نَخْتَارُ إِحْدَى وَأَرْبَعِينَ رَكْعَةً عَلَى مَا رُوِيَ عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ».

Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah rakaat shalat malam bulan Ramadlan. Sebagian mereka lebih memilih 41 rakaat dengan witir. Ini adalah pendapat penduduk Madinah, mereka mempraktekkannya di Madinah. Sebagian besar ulama berpendapat dengan berdasarkan riwayat dari Umar, Ali dan lainnya dari kalangan sahabat Nabi - shallallahu 'alaihi wasallam -  yang memilih 20 rakaat. Ini adalah pendapat ats-Tsauri, Ibnu al-Mubarak dan asu-Syafi'i. Asy-Syafi'i berkata: Demikian juga kami dapati penduduk kota Makkah, mereka shalat sebanyak 20 rakaat. Ahmad berkata: Ada banyak riwayat dalam masalah ini. Ahmad tidak menentukan mana yang dia pilih. Ishaq berkata: Kami lebih memilih 41 rakaat, berdasarkan riwayat dari Ubay bin Ka'ab.

Berikut penjelasan singkat tentang jumlah rakaat shalat tarawih menurut para ulama:

a) 20 Rakaat

Mayoritas ulama dari empat mazhab umumnya berpendapat bahwa disunnahkan melakukan shalat tarawih sebanyak 20 rakaat.(6)  Bahkan imam ad-Dusuki al-Maliki (w. 1230 H) mengatakan bahwa para shahabat dan tabi’in seluruhnya melakukan shalat tarawih 20 rakaat.(7) Imam Ibnu Abidin al-Hanafi (w. 1252 H) mengatakan bahwa shalat tarawih 20 rakaat adalah amalan yang dikerjakan oleh seluruh umat baik di barat maupun di timur.(8)  Para ulama al-Hanabilah juga mengatakan bahwa sebaiknya shalat tarawih jangan sampai kurang dari 20 rakaat, dan tidak mengapa bila jumlahnya lebih dari itu.(9) 

b) 36 atau 41 Rakaat

Sebagian ulama al-Malikiyah menyebutkan bahwa jumlah rakaat shalat tarawih selain 20 rakaat adalah 36 rakaat. Dan pendapat ini mereka dasarkan kepada praktik shalat tarawih setelah masa Umar bin Khatthab. Di mana penduduk Madinah ingin menyamai kuantitas ibadah penduduk Mekkah, yang selain shalat tarawih, mereka selingi dengan thawaf mengelilingi Ka’bah.

Para ulama menjelaskan bahwa penduduk Mekkah melakukan shalat tarawih sebanyak 20 rakaat. Di mana setiap 2 kali tarwihah (8 rakaat), mereka melakukan thawaf dengan mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 kali. Karena itu, penduduk Madinah yang tidak bisa melakukan thawaf, mengganti thawaf dengan menambahkan rakaat dari 20 rakaat menjadi 36 rakaat atau 41 rakaat.

c) 8 Rakaat

Sebagian ulama kontemporer seperti ash-Shan’ani (w.1182 H), al-Mubarakfury (w. 1353 H) dan al-Albani, berpendapat bahwa disunnahkan shalat tarawih dilakukan sebanyak 8 rakaat. Meskipun imam ash-Shan’ani dalam kitab Subulus-Salam juga mengatakan bahwa shalat tarawih itu tidak dibatasi jumlahnya.

Pendapat ini juga merupakan pendapat Imam al-Kamal Ibnu al-Humam (w. 861 H) dari kalangan al-Hanafiyyah dalam kitabnya, Fath al-Qadir.(10) 

2) Taslim Dalam Shalat

Para ulama umumnya sepakat bahwa tata cara membaca salam dalam shalat tarawih adalah dengan melakukannya antara dua rakaat. Sebab, Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - menjelaskan bahwa shalat malam dilakukan dengan dua rakaat-dua rakaat. 

Sebagaimana ditegaskan dalam hadits berikut:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: قَالَ رَسُولُ اللهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى، فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ، صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى» (متفق عليه)

Dari Ibnu Umar - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Shalat malam itu dua-dua, dan jika di antara kalian khawatir akan tibanya waktu shubuh, maka shalatlah satu rakaat untuk mengganjilkan shalat malamnya.” (HR. Bukhari Muslim)

Namun, para ulama berbeda pendapat, apakah dibolehkan menutup rakaat-rakaat shalat tarawih dengan salam, lebih dari dua rakaat, seperti menutupnya dengan salam setelah melakukan empat rakaat.

Mazhab Pertama: Boleh namun makruh.

Mayoritas ulama (Hanafi, Maliki, Hanbali), berpendapat bahwa dibolehkan untuk menutup rakaat-rakaat shalat tarawih dengan salam, lebih dari dua rakaat, apakah dengan salam setelah empat rakaat atau lebih dari empat rakaat. Hanya saja, mereka menilai bahwa cara seperti ini dimakruhkan karena menyelisi tata cara shalat tarawih yang dilakukan oleh para salaf dan generasi setelahnya.

Imam ‘Ala’uddin al-Kasani al-Hanafi (w. 587 H) berkata dalam kitbanya Badai’ ash-Shanai’ fi Tartib asy-Syarai’:(11) 

يُصَلِّي التَّطَوُّعَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ إذَا لَمْ يَقْعُدْ فِي الثَّانِيَةِ قَدْرَ التَّشَهُّدِ وَقَامَ وَأَتَمَّ صَلَاتَهُ أَنَّهُ يَجُوزُ اسْتِحْسَانًا عِنْدَهُمَا، وَلَا يَجُوزُ عِنْدَ مُحَمَّدٍ قِيَاسًا.

Melakukan shalat sebanyak 4 rakaat (dengan satu salam) tanpa melakukan duduk setelah rakaat kedua, adalah boleh secara istihsan menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf. Namun tidak boleh menurut Muhammad asy-Syaibani jika berdasarkan qiyas.

Mazhab Kedua: Tidak sah.

Mazhab Syafi’i dan imam Muhammad asy-Syaibani dari kalangan al-Hanafiyyah berpendapat bahwa tidak sah salam dalam shalat tarawih, dilakukan lebih dari dua rakaat. Berdasarkan ketentuan hadits di atas.

Imam Syihabuddin ar-Ramli (w. 1004 H) berkata dalam kitabnya, Nihayah al-Muhtaj ila Syarah al-Minhaj:(12) 

وَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا بِتَسْلِيمَةٍ لَمْ يَصِحَّ إنْ كَانَ عَامِدًا عَالِمًا، وَإِلَّا صَارَتْ نَفْلًا مُطْلَقًا؛ لِأَنَّهُ خِلَافُ الْمَشْرُوعِ.

Jika shalat tarawih dilakukan dengan satu salam pada setiap 4 rakaat, maka shalatnya tidak sah jika dilakukan secara sengaja dan mengetahui hukum ketidak bolehannya. Dan shalat tersebut jatuhnya sekedar sebagai shalat sunnah mutlak biasa. Sebab praktik ini menyelisihi praktik yang disyariatkan.

5. Zikir dan Doa Yang Dibaca Antara Shalat Tarawih 

Doa atau wirid yang dibaca diantara sela atau jeda di dalam rakaat-rakaat shalat tarawih sebenarnya tidak memiliki contoh langsung dari sunnah dari Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam -. Baik wirid itu dalam bentuk doa, dzikir, atau syair-syair yang biasa dilantunkan oleh para jamaah. Sehingga bila didapati antara jama’ah shalat tarawih perbedan bacaan, karena memang tidak ada dasarnya, sehingga masing-masing penyelenggara shalat tarawih berimprovisasi sendiri-sendiri. Terkadang mereka meniru ucapan-ucapan dari tempat lain yang mereka sendiri tidak tahu dasarnya. 

Meski demikian, tidak sedikit yang menilai bahwa perbuatan ini termasuk bid’ah. Namun, tentu bid’ah dalam fiqih tidak otomatis dihukumi haram, selama tidak ada unsur yang bertentangan dengan syariah. Begitu pula tidak bisa dianggap wajib untuk dilakukan, sebab mewajibkan suatu perbuatan diperlukan adanya dalil yang pasti. Dan tidak terdapat dalil nash yang pasti tentang masalah ini.

Terkait masalah ini, setidaknya para ulama terpecah menjadi dua mazhab:

Mazhab Pertama: Boleh atau sunnah.

Mayoritas ulama (Hanafi, Syafi’i, Hanbali) berpendapat bahwa amalan tersebut diperbolehkan untuk dilakukan dan bernilai pahala sunnah, berdasarkan kemutlakan anjuran untuk berzikir. 

Imam ‘Ala’uddin al-Kasani al-Hanafi (w. 587 H) berkata dalam kitbanya Badai’ ash-Shanai’ fi Tartib asy-Syarai’:(13) 

أَنَّ الْإِمَامَ كُلَّمَا صَلَّى تَرْوِيحَةً قَعَدَ بَيْنَ التَّرْوِيحَتَيْنِ قَدْرَ تَرْوِيحَةٍ يُسَبِّحُ، وَيُهَلِّلُ وَيُكَبِّرُ، وَيُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَيَدْعُو وَيَنْتَظِرُ أَيْضًا بَعْدَ الْخَامِسَةِ قَدْرَ تَرْوِيحَةٍ؛ لِأَنَّهُ مُتَوَارَثٌ مِنْ السَّلَفِ.

Imam hendaknya pada shalat terawih melakukan duduk istirahat antara dua kali shalat (4 rakaat) dengan membaca tasbih, tahlil, takbir, shalawat dan doa, dalam kadar waktu satu kali shalat tarawih (2 rakaat). Dan juga hal itu dilakukan pada shalat yang kelima. Karena amalan ini adalah amalan yang diwariskan dari masa salaf.

Imam ‘Ala’uddin al-Mardawi al-Hanbali (w. 885 H) berkata dalam kitabnya, al-Inshaf fi Ma’rifah ar-Rajih min al-Khilaf:(14) 

لا يُكْرهُ الدُّعاءُ بعدَ التَّراوِيحِ. على الصحيحِ مِن المذهبِ. وقيل: يكْرَه. اخْتارَه ابنُ عَقيلٍ.

Tidak dimakruhkan untuk berdoa setelah shalat tarawih menurut mazhab yang shahih dalam mazhab Hanbali. Namun ada yang berpendapat bahwa hukumnya makruh, sebagaimana pilihan Ibnu Aqil.

Meskipun, dalam hal ini mereka juga menetapkan syarat bahwa zikir yang dibaca tersebut tidak diyakini sebagai zikir ataupun doa yang dianggap khusus untuk dibaca di sela-sela shalat tarawih. Di mana jika hal tersebut diyakini, maka hal ini dianggap sebagai bid’ah yang harus diingkari.

Imam Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i (w. 974) berkata dalam kumpulan fatwanya (al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra), yang dikumpulkan oleh muridnya, Syaikh Abdul Qadir bin Ahmad al-Fakihi al-Makki (w. 982 H):(15) 

(وَسُئِلَ) فَسَّحَ اللَّهُ فِي مُدَّتِهِ هَلْ تُسَنُّ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بَيْنَ تَسْلِيمَاتِ التَّرَاوِيحِ أَوْ هِيَ بِدْعَةٌ يُنْهَى عَنْهَا؟

(فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ الصَّلَاةُ فِي هَذَا الْمَحَلِّ بِخُصُوصِهِ. لَمْ نَرَ شَيْئًا فِي السُّنَّةِ وَلَا فِي كَلَامِ أَصْحَابِنَا فَهِيَ بِدْعَةٌ يُنْهَى عَنْهَا مَنْ يَأْتِي بِهَا بِقَصْدِ كَوْنِهَا سُنَّةً فِي هَذَا الْمَحَلِّ بِخُصُوصِهِ دُونَ مَنْ يَأْتِي بِهَا لَا بِهَذَا الْقَصْدِ كَأَنْ يَقْصِدَ أَنَّهَا فِي كُلِّ وَقْتٍ سُنَّةٌ مِنْ حَيْثُ الْعُمُومُ.

Imam Ibnu Hajar al-Haitami ditanya - semoga Allah panjangkan umurnya -, apakah disunnahkan membaca shalawat antara salam-salam shalat terawih, atau amalan ini termasuk bid’ah yang terlarang?

Sang imam menjawab: Jika shalawat ini dianggap sebagai amalan yang khusus, maka kami tidak mendapati sunnah Nabi tentangnya dan juga perkataan ashab kami. Karenanya ia termasuk bid’ah yang terlarang jika diyakini sebagai amalan sunnah yang khusus pada moment khusus tersebut. Namun tidak terhitung bid’ah terlarang, jika tidak ada keyakinian itu. Seperti diniatkan sebagai amalan sunnah yang disunnahkan dalam setiap waktu secara umum. 

Mazhab Kedua: Bid’ah.

Sebagian ulama al-Malikiyyah berpendapat bahwa zikir-zikir tersebut termasuk bid’ah yang harus diingkari. 

Imam Ibnu al-Hajj al-Maliki (w. 737 H) berkata dalam kitabnya al-Madkhal:(16) 

[فَصْلٌ فِي الذِّكْرِ بَعْدَ التَّسْلِيمَتَيْنِ مِنْ صَلَاةِ التَّرَاوِيحِ] وَيَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَتَجَنَّبَ مَا أَحْدَثُوهُ مِنْ الذِّكْرِ بَعْدَ كُلِّ تَسْلِيمَتَيْنِ مِنْ صَلَاةِ التَّرَاوِيحِ ....

(Fasal tentang zikir antara dua shalat dalam shalat tarawih) hendaknya amalan ini ditinggalkan, sebagai amalan baru yang diadakan yaitu membaca zikir antara dua shalat di dalam shalat tarawih. …

--------------------------

(1) Kementrian Wakaf Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, hlm. 27/135.

(2) Abdurrahman bin Abu Bakar Jalaluddin as-Suyuthi, al-Mashobih fi Sholah at-Tarawih, (Amman: Dar al-Qabas, 1406/1986), cet. 1, hlm. 14-15.

(3) Ahmad bin Muhammad Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, (t.t: al-Maktabah al-Islamiyyah, t.th), hlm. 1/194-195.

(4) Ibnu Taimiyyah al-Harrani, Majmu’ Fatawa, hlm. 22/272.

(5) Muhammad bin Isa Abu Isa at-Tirmizi, Sunan at-Tirmizi, (Mesir: Maktabah al-Halabi, 1975/1395), cet. 2, hlm. 2/333. 

(6) Al-Kasani, Badai’ ash-Shanai’, hlm. 1/288, az-Zurqani, Syarah az-Zurqani, hlm. 1/284, al-Buhuti, Kassyaf al-Qina’, hlm. 1/425.

(7) Ad-Dusuqi, Hasyiyah ad-Dasuqi, hlm. 1/315.

(8) Ibnu Abdin, Radd al-Muhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar, hlm. 1/474.

(9) Musthafa bin Sa’ad ar-Rohaibani, Mathalib Ulin Nuha fi Syarah Ghayah al-Muntaha, (t.t: al-Maktab al-Islami, 1994/1415), cet. 2, hlm. 1/563.

(10) Muhammad bin Abdul Wahid Ibnu al-Humam, Fath al-Qadir, hlm. 1/468.

(11) Abu Bakar ‘Ala’uddin al-Kasani, Badai’ ash-Shanai’ fi Tartib asy-Syarai’, hlm. 1/289.

(12) Muhammad bin Ahmad Syihabuddin ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj ila Syarah al-Minhaj, (Beirut: Dar al-Fikr, 1404/1984), hlm. 2/127.

(13) Abu Bakar ‘Ala’uddin al-Kasani, Badai’ ash-Shanai’ fi Tartib asy-Syarai’, hlm. 1/290.

(14) ‘Ala’uddin al-Mardawi, al-Inshaf fi Ma’rifah ar-Rajih min al-Khilaf, hlm. 4/170.

(15) Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, hlm. 1/186.

(16) Muhammad bin Muhammad Ibnu al-Hajj al-Maliki, al-Madkhal, (t.t: Dar at-Turats, t.th), hlm. 2/294.

Silahkan baca juga artikel kajian ulama tentang puasa berikut :

  1. Pengertian Puasa dan Puasa Ramadhan
  2. Sejarah Pensyariatan Puasa
  3. Keutamaan Ibadah Puasa
  4. Jenis-jenis Puasa
  5. Keistimewaan Bulan Ramadhan
  6. Hukum Puasa Bulan Sya'ban
  7. Jika Masih Ada Hutang Qodho’ dan Fidyah Ramadhan
  8. Hukum Puasa Ramadhan
  9. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Islam
  10. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Berakal
  11. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Berumur Baligh
  12. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Sehat
  13. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Mampu
  14. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Muqim Bukan Musafir
  15. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Suci Dari Haid atau Nifas
  16. Syarat Sah Puasa Ramadhan : Beragama Islam
  17. Syarat Sah Puasa Ramadhan : Berakal
  18. Syarat Sah Puasa Ramadhan : Suci Dari Haid atau Nifas
  19. Syarat Sah Ibadah Puasa : Pada Hari Yang Tidak Diharamkan
  20. Rukun Puasa Ramadhan : Niat
  21. Rukun Puasa Ramadhan : Imsak
  22. Imsak Yang Bukan Puasa
  23. Sunnah Dalam Puasa : Makan Sahur
  24. Sunnah Dalam Puasa : Berbuka Puasa (Ifthor)
  25. Sunnah Dalam Puasa Ramadhan : Memperbanyak Ibadah Sunnah Lainnya
  26. Sunnah Dalam Puasa : Menahan Diri Dari Perbuatan Yang Dapat Merusak Pahala Puasa dan Mandi Janabah Bagi Yang Berhadats Besar
  27. Pembatal Puasa : Empat Kondisi Seputar Pembatal Puasa
  28. Pembatal Puasa : Pembatal-pembatal Puasa Secara Global
  29. Pembatal Puasa : Batalnya Syarat Sah Puasa
  30. Pembatal Puasa : Makan Minum (Pertama)
  31. Pembatal Puasa : Makan Minum (2)
  32. Pembatal Puasa : Jima’
  33. Pembatal Puasa : Muntah Dengan Sengaja
  34. Pembatal Puasa : Mengeluarkan Mani Dengan Sengaja
  35. Pembatal Puasa: Apakah Berbekam & Mengeluarkan Darah Dari Tubuh Membatalkan Ibadah Puasa?
  36. Ibadah Ramadhan : Shalat Witir di Bulan Ramadhan
  37. Ibadah Ramadhan : Shalat Tarawih di Bulan Ramadhan
  38. Rukhshoh Puasa : Orang-orang Yang Mendapatkan Keringanan Untuk Boleh Tidak Berpuasa Ramadhan Serta Konsekwensinya
  39. Rukhshoh Puasa Ramadhan : Sakit
  40. Rukhshoh Puasa Ramadhan : Musafir (1)
  41. Rukhshoh Puasa Ramadhan : Musafir (2)

Sumber FB Ustadz : Isnan Ansory MA

29 April 2021 

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Ibadah Ramadhan : Shalat Tarawih di Bulan Ramadhan". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait