Rukun Puasa Ramadhan : Niat

Rukun Puasa Ramadhan - Niat

20. Rukun Puasa Ramadhan : Niat

1 Hari Menjelang Ramadhan 1442 H

29 Sya’ban 1442 H – 12 April 2021

Rukun dalam suatu ibadah merupakan salah satu di antara dua sebab sahnya suatu ibadah, selain syarat sah. Di mana perbedaan antara rukun dan syarat sah adalah bahwa syarat sah bukanlah bagian dari ritual ibadah puasa, sedangkan rukun termasuk bagian dari ritual ibadah puasa.

Menurut para ulama, setidaknya dalam ibadah puasa terdapat dua rukun yang menjadi inti ibadah, dimana tanpa kedua rukun itu, maka puasa menjadi tidak sah dilakukan sekaligus belum menggugurkan kewajiban atasnya. Dua rukun puasa itu adalah: (1) niat, dan (2) imsak. 

Niat adalah rukun yang pertama dari dua rukun puasa menurut mazhab Syafi’i. Namun mayoritas ulama tidak memasukkan niat ke dalam rukun puasa, melainkan memasukkan ke dalam syarat sah puasa.(1)  Meski demikian para ulama sepakat bahwa niat merupakan salah satu sebab sahnya puasa serta boleh dihadirkan dalam hati sebelum memulai ibadah puasa.

Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(2) 

لَا يَصِحُّ صَوْمُ رَمَضَانَ وَلَا غَيْرِهِ مِنْ الصِّيَامِ الْوَاجِبِ وَالْمَنْدُوبِ إلَّا بِالنِّيَّةِ.

Tidak sah puasa Ramadhan dan puasa lainnya yang dihukumi wajib dan sunnah, kecuali dengan niat.

A. Dalil Pensyariatan Niat Dalam Puasa

Sebagaimana dijelaskan, para ulama sepakat bahwa niat merupakan salah satu syarat atau rukun untuk sahnya ibadah puasa. Di mana dalil disyariatkannya niat dalam ibadah puasa didasarkan kepada hadits berikut:

عَنْ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَقُولُ: «إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى ... » (متفق عليه)

Dari Umar bin Khatthab - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Sesungguhnya amal ibadah itu harus dengan niat. Dan setiap orang mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya ...” (HR. Bukhari Muslim)

B. Ketentuan Niat Puasa

Sebagai rukun puasa yang menjadi salah satu sebab sahnya ibadah puasa, niat puasa juga dinilai sah, jika berdasarkan kepada beberapa ketentuan dan syarat berikut ini. 

1. Letak Niat: Hati

Para ulama sepakat bahwa letak niat adalah dalam hati bukan pada lisan. Seorang yang melafadzkan niat di lidahnya belum tentu berniat di dalam hatinya. Dan seorang yang meniatkan di dalam hati tanpa melafadzkannya di lidah, sudah pasti berniat.

Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(3) 

لَا يَصِحُّ صَوْمٌ فِي حَالٍ مِنْ الْأَحْوَالِ إلَّا بِنِيَّةٍ ... وَمَحَلُّ النِّيَّةِ الْقَلْبُ.

Tidak sah puasa dalam kondisi apapun, kecuali dengan niat … di mana tempat niat adalah hati.

Namun dalam masalah hukum melafazkan niat itu sendiri para ulama berbeda pendapat. Seperti seseorang yang hendak berpuasa dengan melafazkan niatnya di malam hari yang biasanya dirangkai dengan doa-doa atau dzikir yang dibaca setelah usai mengerjakan shalat tarawih. 

Misalnya seperti lafadz berikut:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةِ لله – تَعَالىَ -. 

Aku berniat puasa untuk esok hari dalam rangka menunaikan kewajiban puasa Ramadhan pada tahun ini karena Allah - ta’ala -.

Dalam hal ini, setidaknya ulama terbagi menjadi tiga mazhab: 

Mazhab Pertama: Sunnah.

Mazhab Syafi'i, Mazhab Hanbali, dan Muhammad asy-Syaibani dari kalangan al-Hanafiyyah, berpendapat bahwa disunnahkan melafazkan niat sebelum beribadah. Di mana lafaz niat ini dimaksudkan untuk menguatkan dan menetapkan niat di dalam hati. Dan tentunya harus ada kesamaan antara lafaz niat dengan apa yang dimaksudkan di dalam hati. 

Imam Zainuddin Ibnu Nujaim al-Hanafi (w. 970 H) berkata dalam kitabnya, al-Bahr ar-Ro’iq Syarah Kanz ad-Daqo’iq:(4) 

وَقَدْ اخْتَلَفَ كَلَامُ الْمَشَايِخِ فِي التَّلَفُّظِ بِاللِّسَانِ فَذَكَرَهُ فِي مُنْيَةِ الْمُصَلِّي أَنَّهُ مُسْتَحَبٌّ وَهُوَ الْمُخْتَارُ.

Para masyayikh (al-Hanafiyyah) berbeda pendapat tentang hukum melafazhkan niat. Disebutkan dalam kitab Munyah al-Musholli bahwa hal itu dianjurkan. Dan inilah pendapat pilihan.

Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(5) 

وَمَحَلُّ النِّيَّةِ الْقَلْبُ وَلَا يُشْتَرَطُ نُطْقُ اللِّسَانِ بِلَا خِلَافٍ وَلَا يَكْفِي عَنْ نِيَّةِ الْقَلْبِ بِلَا خِلَافٍ وَلَكِنْ يُسْتَحَبُّ التَّلَفُّظُ مَعَ الْقَلْبِ كَمَا سَبَقَ فِي الْوُضُوءِ وَالصَّلَاةِ.

Tempat niat adalah hati, dan para ulama sepakat tidak disyaratkan dilafazkan dengan lisan. Dan juga niat yang sekedar dilafazkan oleh lisan tidaklah sah tanpa niat di dalam hati. Namun dianjurkan untuk niat dalam hati dilafazkan. Sebagaimana dalam ketentuan wudhu dan shalat.

Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H) berkata dalam kitabnya, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiraqi:(6) 

مَعْنَى النِّيَّةِ الْقَصْدُ، وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ. وَإِنْ لَفَظَ بِمَا نَوَاهُ، كَانَ تَأْكِيدًا.

Maksud dari niat adalah memaksudnya sesuatu. Dan tempatnya di hati. Namun jika dilafadzkan apa yang diniatkan, maka hal itu sebagai penesan semata.

Mazhab Kedua: Makruh.

Sebagian ulama dari kalangan al-Hanafiyyah dan al-Hanabilah berpendapat bahwa hukumnya adalah makruh. Dalam arti, disunnahkan untuk meninggalkannya.

Imam Zainuddin Ibnu Nujaim al-Hanafi (w. 970 H) berkata dalam kitabnya, al-Bahr ar-Ro’iq Syarah Kanz ad-Daqo’iq:(7) 

وَقَدْ اخْتَلَفَ كَلَامُ الْمَشَايِخِ فِي التَّلَفُّظِ بِاللِّسَانِ ... وَفِي الْقُنْيَةِ أَنَّهُ بِدْعَةٌ إلَّا أَنْ لَا يُمْكِنَهُ إقَامَتُهَا فِي الْقَلْبِ إلَّا بِإِجْرَائِهَا عَلَى اللِّسَانِ فَحِينَئِذٍ يُبَاحُ. وَنُقِلَ عَنْ بَعْضِهِمْ أَنَّ السُّنَّةَ الِاقْتِصَارُ عَلَى نِيَّةِ الْقَلْبِ، فَإِنْ عَبَّرَ عَنْهُ بِلِسَانِهِ جَازَ وَنُقِلَ فِي شَرْحِ الْمُنْيَةِ عَنْ بَعْضِهِمْ الْكَرَاهَةُ وَظَاهِرُ مَا فِي فَتْحِ الْقَدِيرِ اخْتِيَارُ أَنَّهُ بِدْعَةٌ.

Para masyayikh (al-Hanafiyyah) berbeda pendapat tentang hukum melafazhkan niat. ... Disebutkan dalam kitab al-Qunyah bahwa hal itu adalah bid’ah, kecuali jika hati tidak bisa menghadirkannya kecuali dengan dilafazkan. Maka hukumnya boleh. Dan diriwayatkan dari sebagian ulama bahwa sunnahnya adalah mencukupkan niat dalam hati. Namun jika dilafazkan boleh saja. Dan juga diriwayatkan dalam kitab Syarah al-Munyah dari sebagian ulama bahwa hukumnya makruh. Di mana pilihan pendapat yang zhahir dalam kitab Fath al-Qadir bahwa melafazkan niat adalah bid’ah (yang makruh).

Imam Manshur bin Yunus al-Buhuti (w. 1051 H) berkata dalam kitabnya, Kassyaf al-Qinna’:(8) 

(وَاسْتَحَبَّهُ) أَيْ التَّلَفُّظَ بِالنِّيَّةِ (سِرًّا مَعَ الْقَلْبِ كَثِيرٌ مِنْ الْمُتَأَخِّرِينَ) لِيُوَافِقَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ قَالَ فِي الْإِنْصَافِ: وَالْوَجْهُ الثَّانِي يُسْتَحَبُّ التَّلَفُّظُ بِهَا سِرًّا وَهُوَ الْمَذْهَبُ ... (وَمَنْصُوصُ أَحْمَدَ وَجَمَعٍ مُحَقِّقِينَ خِلَافُهُ) قَالَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ وَهُوَ الصَّوَابُ.

(Dan dianjurkan) melafazkan niat (secara sirr bersamaan dengan hadirnya niat dalam hati menurut kebanyakan ulama muta’akkhirin) agar apa yang dilafazkan dalam lisan bertepatan dengan isi hati. Al-Mardawi berkata dalam al-Inshof: pendapat kedua dalam mazhab adalah dianjurkan melafazkan niat secara sirr. Dan inilah pendapat mazhab. ... (diriwayatkan dari Imam Ahmad dan sejumlah ulama muhaqqiq, pendapat sebaliknya yaitu tidak dianjurkan) Syaikh Taqiyyuddin Ibnu Taimiyyah berkata inilah yang tepat. 

Mazhab Ketiga: Khilaf al-aula.

Mazhab Maliki berpendapat, bahwa melafazkan niat merupakan khilaf al-aula. Maksudnya, hal itu dibolehkan untuk dilakukan, namun dengan meninggalkannya dianggap lebih baik. Kecuali bagi yang biasa dihinggapi was was dalam hatinya setiap kali hendak beribadah. Maka dalam kondisi ini, ia dianjurkan untuk melafazkannya.

Imam Ibnu Juzai al-Maliki (w. 741 H) berkata dalam kitabnya, al-Qawanin al-Fiqhiyyah:(9) 

مَحل النِّيَّة الْقلب وَلَا يلْزم النُّطْق بهَا وَتَركه أولى خلافًا للشَّافِعِيّ.

Tempat niat adalah hati dan tidak wajib melafazkannya. Bahkan meninggalkannya lebih utama. Di mana pendapat ini berbeda dengan mazhab Syafi’i (yang mensunnahkannya).

2. Jazm Niat

Maksud dari jazm an-niyah (جزم النية) adalah menghadirkan niat dalam hati secara pasti untuk melakukan puasa di esok hari. Dalam arti, jika saat berniat, hadir keraguan antara akan berpuasa atau tidak pada esok harinya, maka tidaklah sah yang dilakukan. Begitu pula jika ragu antara akan berpuasa sunnah atau Ramadhan.

Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(10) 

يَنْبَغِي أَنْ تَكُونَ النِّيَّةُ جَازِمَةً ... فَإِنْ رَدَّدَ نِيَّتَهُ فَقَالَ أَصُومُ غَدًا مِنْ رَمَضَانَ ان كان مِنْهُ وَإِلَّا فَأَنَا مُفْطِرٌ أَوْ مُتَطَوِّعٌ لَمْ يُجْزِئْهُ عَنْ رَمَضَانَ إذَا بَانَ مِنْهُ لِأَنَّهُ صَامَ شَاكًّا.

Hendaknya niat dihadirkan dengan pasti ... maka jika ada keraguan dalam niat, seperti jika berkata, “Aku akan berpuasa jika esok hari adalah Ramadhan, namun jika tidak maka tidak berpuasa.” Atau ragu antara niat puasa wajib atau sunnah. Maka niat seperti ini tidaklah sah untuk puasa Ramadhannya, jika dipastikan bahwa esok hari adalah Ramadhan. Dan sebab ketidak sahannya adalah karena puasa tersebut didasarkan kepada keraguan.

Karena inilah mayoritas ulama umumnya berpendapat bahwa puasa hari syak (yang diragukan), dilarang untuk dilakukan.

Adapun maksud dari puasa hari syak adalah berpuasa pada hari ke-30 dari bulan Sya‘ban, bila di langit ada sesuatu yang menghalangi ru’yah al-hilal (melihat hilal Ramadhan), hingga menimbulkan keraguan tentang awal bulan Ramadhan. Saat itu tidak ada kejelasan apakah sudah masuk bulan Ramadhan atau belum (masih di bulan Sya’ban). Ketidak-jelasan ini disebut dengan syak. Namun apabila langit cerah, dan tampak kepastian antara tanggal 30 Sya’ban atau 1 Ramadhan, maka tidak disebut dengan hari syak.

Dasar larangan atas puasa pada hari syak diantaranya hadits berikut ini:

عَنْ عَمَّارٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: «مَنْ صَامَ يَوْمَ الشَّكِّ فَقَدْ عَصَى أَبَا القَاسِمِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -» (رواه البخاري)

Dari Ammar - radhiyallahu ‘anhu -: Orang yang berpuasa pada hari syak maka dia telah bermaksiat kepada Abul Qashim (Rasulullah) - shallallahu ‘alaihi wasallam -. (HR. Bukhari)

Para ulama sepakat jika seseorang sudah terbiasa berpuasa, seperti puasa senin kamis atau puasa Dawud yang berketepatan terletak pada hari syak, maka puasanya dibolehkan. Karena puasa tersebut bukan dalam rangka menyambut Ramadhan. Sebagaimana dibolehkan untuk berpuasa qodho’ dan nadzar.

Kesepakatan ini didasarkan kepada hadits berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، عَنِ النَّبِيِّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، قَالَ: «لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ، فَلْيَصُمْ ذَلِكَ اليَوْمَ» (متفق عليه)

Dari Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu -: Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya. Kecuali bila seseorang memang terbiasa melakukan puasa sunnah, maka silahkan melakukannya.” (HR. Bukhari Muslim)

Namun, para ulama berbeda pendapat jika puasa pada hari syak dilakukan dalam rangka menyambut Ramadhan.

Mazhab Pertama: Makruh. 

Mayoritas ulama (Hanafi, Maliki, Hanbali) berpendapat bahwa larangan dalam hadits di atas, semata dihukumi makruh jika diniatkan untuk melakukan puasa Ramadhan.

Imam al-Kamal Ibnu al-Humam (w. 861 H) berkata dalam kitabnya, Fath al-Qadir:(11) 

(وَلَا يَصُومُونَ يَوْمَ الشَّكِّ إلَّا تَطَوُّعًا) لِقَوْلِهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «لَا يُصَامُ الْيَوْمُ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ أَنَّهُ مِنْ رَمَضَانَ إلَّا تَطَوُّعًا» وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ عَلَى وُجُوهٍ: أَحَدُهَا: أَنْ يَنْوِيَ صَوْمَ رَمَضَانَ وَهُوَ مَكْرُوهٌ.

(Dan janganlah berpuasa pada hari syak kecuali dengan niat puasa sunnah) atas dasar sabda Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam -: “Janganlah berpuasa pada hari yang diragukan sebagai hari Ramadhan kecuali untuk puasa sunnah.” Dalam masalah ini ada beberapa hukum. Pertama: meniatkan puasa Ramadhan pada hari tersebut, dan hukumnya makruh.

Imam Ibnu Juzai al-Maliki (w. 741 H) berkata dalam kitabnya, al-Qawanin al-Fiqhiyyah:(12) 

(وَالْمَكْرُوه) ... وَصَوْم يَوْم الشَّك وَهُوَ آخر يَوْم من شعْبَان احْتِيَاطًا إِذا لم يظْهر الْهلَال وَقيل إِن كَانَت السَّمَاء متغيمة فالاختيار إِمْسَاكه وَيجوز صَوْمه تَطَوّعا خلافًا للشَّافِعِيّ.

(Puasa makruh) … dan puasa syak, yaitu hari terakhir dari bulan Sya’ban dengan niat kehati-hatian saat hilal Ramadhan tidak terlihat. Dan ada pendapat yang mengatakan bahwa jika langit mendung, maka boleh untuk berpuasa sunnah saja. Dan ini diselisihi oleh asy-Syafi’i (yang mengharamkannya).

Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H) berkata dalam kitabnya, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiraqi:(13) 

وَكَرِهَ أَهْلُ الْعِلْمِ صَوْمَ يَوْمِ الشَّكِّ، وَاسْتِقْبَالَ رَمَضَانَ بِالْيَوْمِ وَالْيَوْمَيْنِ.

Para ulama memakruhkan puasa pada hari syak dan juga satu hari atau dua hari sebelum Ramadhan.

Mazhab kedua: Haram.

Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa larangan dalam hadits di atas, dinilai sebagai dalil haramnya puasa syak. 

Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya Raudhah ath-Thalibin wa Umdah al-Muftiyyin:(14) 

وَيَحْرُمُ أَنْ يَصُومَ فِيهِ تَطَوُّعًا لَا سَبَبَ لَهُ، فَإِنْ صَامَهُ، لَمْ يَصِحَّ عَلَى الْأَصَحِّ.

Dan diharamkan puasa sunnah yang tidak didasarkan atas suatu sebab pada hari syak. Dan jika tetap berpuasa, puasanya tidak sah.

3. Tabyit Niat

Maksud dari tabyitun-niyah (تبييت النية) adalah melakukan niat pada malam hari sebelum masuk waktu shubuh. Para ulama berbeda pendapat apakah disyaratkan untuk tabyit niat atas puasa wajib seperti puasa Ramadhan.

Mazhab Pertama: Syarat sah niat.

Jumhur ulama (Maliki, Syafi’i, Hanbali) berpendapat bahwa tabyit an-niyyat merupakan syarat sah dari ibadah puasa wajib.(15)  Dengan demikian, bila seseorang berpuasa tapi lupa atau tidak berniat sama sekali di malam harinya, maka puasanya tidaklah sah. 

Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(16) 

تبييت النية شرط في صوم رمضان وَغَيْرِهِ مِنْ الصَّوْمِ الْوَاجِبِ ... فَلَوْ نَوَى قُبَيْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ بِلَحْظَةٍ أَوْ عَقِبَ طُلُوعِ الْفَجْرِ بِلَحْظَةٍ لَمْ يَصِحَّ بِلَا خِلَافٍ. وَلَوْ نَوَى مَعَ الفجر فوجهان مشهوران ... (الصَّحِيحُ) عِنْدَ الْمُصَنِّفُ وَسَائِرِ الْمُصَنَّفِينَ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ ... لَوْ نَوَى بَعْدَ الْفَجْرِ وَقَبْلَ الزَّوَالِ فِي غَيْرِ رَمَضَانَ صَوْمَ قَضَاءٍ أَوْ نَذْرٍ لَمْ يَنْعَقِدْ لِمَا نَوَاهُ ... 

Berniat di malam hari merupakan syarat sahnya puasa Ramadhan dan puasa wajib lainnya … maka jika seseorang berniat sebelum terbenam matahari atau setelah terbit fajar, maka tidak sah puasanya. Dan jika niatnya bersamaan dengan waktu fajar, maka ada dua pendapat yang masyhut … yang shahih menurut asy-Syairazi dan lainnya adalah tidak sah. … Dan jika berniat setelah fajar dan sebelum tergelincirnya matahari untuk puasa qodho’ atau nadzar, tidak sah pula puasa yang diniatkan tersebut …

Pendapat ini didasarkan kepada hadits berikut ini :

عَنْ حَفْصَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ، فَلَا صِيَامَ لَهُ» (رواه أبو داود والترمذي والنسائي وأحمد)

Dari Hafshah - radhiyallahu ‘anha -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: ”Barang siapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka tidak ada puasa untuknya.” (HR. Tirmidzy, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad)

Mazhab Kedua: Sunnah.

Mazhab Hanafi berpendapat bahwa tidak disyaratkan untuk tabyit an-niyat pada puasa Ramadhan. Dalam arti jika niat baru muncul setelah terbit matahari, selama yang berpuasa belum membatalkan puasanya, maka puasanya tetaplah sah.

Imam ‘Ala’uddin al-Kasani al-Hanafi (w. 587 H) berkata dalam kitabnya Badai’ ash-Shanai’ fi Tartib asy-Syarai’:(17) 

وَقْتُ النِّيَّةِ: فَالْأَفْضَلُ فِي الصِّيَامَاتِ كُلِّهَا أَنْ يَنْوِيَ وَقْتَ طُلُوعِ الْفَجْرِ إنْ أَمْكَنَهُ ذَلِكَ، أَوْ مِنْ اللَّيْلِ، لِأَنَّ النِّيَّةَ عِنْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ تُقَارِنُ أَوَّلَ جُزْءٍ مِنْ الْعِبَادَةِ حَقِيقَةً وَمِنْ اللَّيْلِ تُقَارِنُهُ تَقْدِيرًا، وَإِنْ نَوَى بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَإِنْ كَانَ الصَّوْمُ دَيْنًا لَا يَجُوزُ بِالْإِجْمَاعِ، وَإِنْ كَانَ عَيْنًا وَهُوَ صَوْمُ رَمَضَانَ وَصَوْمُ التَّطَوُّعِ خَارِجَ رَمَضَانَ، وَالْمَنْذُورُ الْمُعَيَّنُ يَجُوزُ.

Waktu niat puasa: yang utama dalam ibadah puasa adalah berniat dengan bersamaan datangna terbit fajar jika bisa. Atau pada sebagian malam. Sebab niat yang muncul bersamaan dengan fajar, termasuk bagian dari ibadah puasa secara hakiki. Dan niat yang muncul di malam hari, sebagai niat yang bersamaan dengan ibadah puasa secara taqdiri (perkiraan). Namun jika niat baru muncul setelah terbut fajar, maka untuk puasa qodho’, hal itu tidak sah berdasarkan ijma’. Sedangkan untuk puasa bukan qodho’ seperti puasa Ramadhan, puasa sunnah dan nadzar, maka boleh saja.

---

Adapun jika niat sudah dihadirkan dalam hati sejak setelah terbenamnya matahari, lalu melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa di malam hari, maka niat puasanya tetaplah untuk memenuhi rukun sahnya puasa di esok harinya. Dan karenanya, niat yang sudah muncul itu tidak wajib diniatkan ulang.

Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(18) 

إذَا نَوَى بِاللَّيْلِ الصَّوْمَ ثُمَّ أَكَلَ أَوْ شَرِبَ أَوْ جَامَعَ أَوْ أَتَى بِغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ مُنَافِيَاتِ الصَّوْمِ لَمْ تَبْطُلْ نِيَّتُهُ وَهَكَذَا لَوْ نَوَى وَنَامَ ثُمَّ انْتَبَهَ قَبْلَ الْفَجْرِ لَمْ تَبْطُلْ نِيَّتُهُ وَلَا يَلْزَمُهُ تَجْدِيدُهَا.

Jika seseorang telah berniat di malam hari, lalu ia makan, minum, berhubungan seksual atau melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa lainnya, maka niat puasa yang telah dihadirkan dalam hati tidaklah batal. Begitu juga jika telah berniat, lalu tidur dan terbangun sebelum fajar, maka niatnya tidaklah batal dan tidak wajib memperbaharui niatnya.

4. Ta’yin Niat

Maksud dari ta’yinun-niat (تعيين النية) adalah menetapkan status puasa secara detail. Seperti status jenis puasa, kapan dilakukan dan seterusnya. Lawannya adalah niat puasa secara mutlak, yaitu asal puasa saja tidak ditetapkan puasa apa, kapan dan seterusnya.

Para ulama berbeda pendapat apakah disyaratkan untuk ta’yin niat atas puasa wajib seperti puasa Ramadhan.

Mazhab Pertama: Syarat sah niat.

Jumhur ulama (Maliki, Syafi’i, Hanbali) berpendapat bahwa ta’yin an-niyyat merupakan syarat sah dari ibadah puasa wajib.(19)  Dengan demikian, bila seseorang berpuasa tapi tidak menetapkan jenis tertentu dari puasa wajib, apakah puasa Ramadhan, atau kaffarat atau nadzar, maka puasanya tidaklah sah. 

Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(20) 

لَا يَصِحُّ صَوْمُ رَمَضَانَ وَلَا قَضَاءٌ وَلَا كَفَّارَةٌ وَلَا نَذْرٌ وَلَا فِدْيَةُ حَجٍّ وَلَا غير ذلك من الصيام الواحب إلَّا بِتَعْيِينِ النِّيَّةِ.

Tidak sah niat puasa Ramadhan, qodho’, kaffarat, nadzar, fidyah haji dan puasa wajib lainnya tanpa ta’yin niat.

Adapun ta’yin niat yang sempurna, maka imam an-Nawawi (w. 676 H) menyebutkan dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, redaksi niat sebagaimana berikut:(21) 

نويت صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةَ لِلَّهِ – تَعَالَى -. 

Aku berniat puasa di esok hari untuk melaksanakan fardhu puasa Ramadhan tahun ini, semata untuk Allah - ta’ala -.

Namun dari rincian ta’yin niat di atas, tidak semuanya menjadi syarat sah niat. Akan tetapi ada yang dihukumi sebagai syarat sah dan ada yang dihukumi sebagai sunnah saja. Di mana yang dinilai sebagai syarat sah ada 2 unsur saja, yaitu niat puasa dan jenis puasa.

Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(22) 

فَأَمَّا الصَّوْمُ فَلَا بُدَّ مِنْهُ. وَكَذَا رَمَضَانُ لَا بُدَّ مِنْ تَعْيِينِهِ ... وأما الاداء والفرضية ... الْأَصَحَّ ... أَنَّ الاداء لا يشترط وأما الفرضية ... عَدَمُ الِاشْتِرَاطِ ... هُوَ الْأَصَحُّ. وَأَمَّا الْإِضَافَةُ إلَى اللَّهِ - تَعَالَى - ... أَصَحُّهُمَا لا تجب ... وأما التقييد بِهَذِهِ السَّنَةِ فَلَيْسَ بِشَرْطٍ عَلَى الْمَذْهَبِ ...

Adapun niat puasa, maka harus ada. Begitupula ta’yin niat Ramadhan juga. ... Sedangkan ta’yin ada’ dan hukum fardhu ... maka yang lebih shahih tidak disyaratkan. Begitu pula menyandarkan niat kepada Allah - ta’ala -, juga tidak wajib. Dan demikian pula menyandarkannya pada tahun ini, juga bukan syarat sah niat.

Mazhab Kedua: Tidak wajib.

Mazhab Hanafi berpendapat bahwa tidak wajib ta’yin di dalam niat puasa Ramadhan. Dalam arti, cukup dengan berniat melakukan puasa sebagai ibadah, hal itu telah memenuhi sahnya rukun niat. Sebab, tidak boleh melakukan puasa di bulan Ramadhan kecuali hanya untuk puasa Ramadhan. Karenanya tidak dibutuhkan adanya ta’yin niat kecuali niat puasa itu sendiri.

Imam ‘Ala’uddin al-Kasani al-Hanafi (w. 587 H) berkata dalam kitabnya Badai’ ash-Shanai’ fi Tartib asy-Syarai’:(23) 

فِي كَيْفِيَّةِ النِّيَّةِ: فَإِنْ كَانَ الصَّوْمُ عَيْنًا وَهُوَ صَوْمُ رَمَضَانَ، وَصَوْمُ النَّفْلِ خَارِجَ رَمَضَانَ، وَالْمَنْذُورُ بِهِ فِي وَقْتٍ بِعَيْنِهِ يَجُوزُ بِنِيَّةٍ مُطْلَقَةٍ عِنْدَنَا.

Tata cara niat: jika puasa yang dilakukan pada waktu yang terbatas seperti puasa Ramadhan, puasa sunnah di luar Ramadhan dan puasa nadzar di waktu yang telah ditentukan, maka sah dengan niat puasa secara mutlak menurut mazhab kami.

5. Tajdid Niat

Maksud dari tajdid an-niyah (تجديد النية) adalah menetapkan untuk puasa Ramadhan dalam satu bulan, pada setiap harinya satu niat. Atau dalam arti lain, memperbaharui niat puasa pada setiap hari berpuasa Ramadhan. Dan tidak meniatkan puasa di hari pertama saja, untuk mewakili hari-hari lainnya.

Hanya saja para ulama berbeda pendapat tentang ketentuan ini, apakah menjadi syarat sahnya puasa untuk hari-hari lainnya, atau dengan satu niat di hari pertama, puasa untuk hari lainnya sudah dinilai sah?

Mazhab Pertama: Syarat sah.

Mayoritas ulama (Hanafi, Syafi’i, Hanbali) mensyaratkan bahwa setiap hari puasa membutuhkan satu niat tersendiri. Sebab dalam pandangan mereka, ibadah puasa itu dihitungnya perhari, bukan satu paket sebulan.(24) 

Maka tiap malam Ramadhan harus ada satu niat khusus untuk puasa besoknya. Kalau jumlah hari puasa dalam Ramadhan itu 30 hari, maka pada setiap malam terdapat niat baru selama 30 malam. 

Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(25) 

تَجِبُ النِّيَّةُ كُلَّ يَوْمٍ سَوَاءٌ رَمَضَانُ وَغَيْرُهُ وَهَذَا لَا خِلَافَ فِيهِ عِنْدَنَا فَلَوْ نَوَى فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ صَوْمَ الشَّهْرِ كُلِّهِ لَمْ تَصِحَّ هَذِهِ النِّيَّةُ لِغَيْرِ الْيَوْمِ الْأَوَّلِ لِمَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ وَهَلْ تَصِحُّ لِلْيَوْمِ الْأَوَّلِ فِيهِ خِلَافٌ وَالْمَذْهَبُ صِحَّتُهَا.

Wajib niat pada setiap satu hari puasa. Apakah untuk puasa Ramadha atau selainnya. Karenanya, jika seseorang hanya berniat di malam pertama Ramadhan untuk satu bulan penuh, maka niat itu tidak sah kecuali untuk hari pertama itu saja.

Dalil bahwa tiap hari itu berdiri sendiri adalah bila seorang tidak puasa di satu hari dalam rangkaian bulan Ramadhan, tidak merusak puasa di hari lainnya. Sebaliknya, kalau puasa itu dianggap satu paket rangkaian dari awal hingga akhir Ramadhan, konsekuensinya bila batal di satu hari, semua hari pun ikut batal. Seperti satu rukun dalam shalat, bila satu rukun saja tidak dilakukan, maka seluruh rangkaian shalat akan ikut rusak juga. 

Mazhab Kedua: Bukan syarat sah.

Mazhab Maliki berpendapat bahwa dibolehkan untuk berniat satu kali di hari pertama untuk seluruh hari yang ada dalam satu bulan Ramadhan. 

Dalilnya adalah bahwa yang Allah - ta’ala - wajibkan bukan hari per hari dalam Ramadhan, melainkan Allah - ta’ala - mewajibkan berpuasa untuk satu bulan lamanya, “…Siapa diantara kalian yang menyaksikan bulan (Ramadhan), maka berpuasalah…” (QS. Al-Baqarah: 185).

Di samping itu, mereka juga mengqiyaskannya kepada ibadah haji yang membutuhkan masa pengerjaan yang berhari-hari. Di mana dalam haji tidak perlu setiap hari melakukan niat haji. Cukup di awalnya saja seseorang berniat untuk haji, meski pelaksanaannya bisa memakan waktu seminggu.(26) 

Imam Ibnu Juzai al-Maliki (w. 741 H) berkata dalam kitabnya, al-Qawanin al-Fiqhiyyah:(27) 

تجزيه نِيَّة وَاحِدَة لرمضان فِي أَوله وَكَذَلِكَ فِي صِيَام متتابع مَا لم يقطعهُ.

Cukup dengan satu niat di awal hari untuk puasa di bulan Ramadhan. Demikian pula untuk puasa lainnya yang dilakukan secara berturut-turut selama tidak dipisah dengan tidak berpuasa.

6. Istimror Niat

Maksud dari istimrorun-niyat (استمرار النية) adalah menjadikan niat puasa yang ada dalam hati untuk selalu ada, apakah sejak diniatkan di malam hari hingga memulai puasa atau selama puasa dilakukan hingga waktu berbuka puasa. 

Umumnya para ulama berpendapat bahwa jika pembatalan niat ini dilakukan di malam hari, seperti jika sempat berniat puasa di waktu maghrib, lalu di tengah malam dibatalkan, maka niat di maghrib tersebut menjadi tidak sah. Dan karenanya, harus diperbaharui sebelum terbit fajar. Namun jika tidak diperbaharui hingga masuk waktu fajar, maka tidak sah puasa yang dilakukan untuk hari tersebut.

Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(28) 

لَوْ نَوَى فِي اللَّيْلِ ثُمَّ قَطَعَ النِّيَّةَ قَبْلَ الْفَجْرِ سَقَطَ حُكْمُهَا لِأَنَّ تَرْكَ النية ضد للنية بخلاف مالو أكل في الليل بَعْدَ النِّيَّةِ لَا تَبْطُلُ لِأَنَّ الْأَكْلَ لَيْسَ ضِدَّهَا.

Jika seseorang berniat di malam hari, lalu membatalkan niatnya sebelum fajar, maka batallah niatnya. Sebab meninggalkan niat adalah lawan dari berniat. Dan hal ini berbeda dengan makan setelah niat, yang tidak membatalkan niat. Sebab makan bukanlah lawan dari berniat.

Namun untuk niat puasa yang dibatalkan di tengah puasa sedang dilakukan, maka dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Apakah puasanya otomatis batal. Atau tetap sah selama tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa seperti makan dan minum.

Mazhab Pertama: Puasa batal.

Mazhab Maliki dan Hanbali berpendapat bahwa niat untuk membatalkan niat puasa di saat berpuasa, dapat membatalkan puasa yang sedang dilakukan. Sebab pembatallan niat dianggap memulai niat dari awal, dan tentu niat puasa Ramadhan di siang hari tidaklah sah.

Imam Ibnu Juzai al-Maliki (w. 741 H) berkata dalam kitabnya, al-Qawanin al-Fiqhiyyah:(29) 

وَمن قطع النِّيَّة فِي أثْنَاء النَّهَار فسد صَوْمه.

Barang siapa yang membatalkan niatnya di siang hari saat berpuasa, maka batallah puasanya.

Mazhab Kedua: Tetap sah.

Mazhab Hanafi dan Syafi’i berpendapat bahwa niat untuk membatalkan niat puasa di saat berpuasa, tidak membatalkan puasa yang sedang dilakukan.

Pendapat ini didasarkan kepada qiyas atas sahnya shalat, orang yang berniat hendak membatalkan shalat dengan berbicara, namun niat itu tidak dilakukan. Maka demikian pula dengan puasa, selama niat untuk membatalkan puasa belum dilakukan, maka sekedar niat tidak sampai membatalkan puasa yang sedang dilakukan.

Imam ’Ala’uddin al-Hashkafi (w. 1088 H) berkata dalam kitabnya, ad-Durr al-Mukhtar Syarah Tanwir al-Abshar:(30) 

وَنِيَّةِ الصَّائِمِ الْفِطْرُ لَغْوٌ.

Niat orang yang sedang berpuasa untuk membatalkannya, tidaklah dianggap.

-------------------

(1) Al-Kasani, Badai' ash-Shanai’, hlm. 2/83, al-Buhuti, Kassyaf al-Qinna', hlm. 2/266, ad-Dardir, asy-Syarh al-Kabir, hlm. 1/250, asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj, hlm. 1/423.

(2) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/289.

(3) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/289.

(4) Zainuddin bin Ibrahim Ibnu Nujaim al-Mishri, al-Bahr ar-Ro’iq Syarah Kanz ad-Daqo’iq, (t.t: Dar al-Kitab al-Islami, t.th), cet. 2, hlm. 293.

(5) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/289.

(6) Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiroqi, hlm. 1/336.

(7) Zainuddin Ibnu Nujaim al-Mishri, al-Bahr ar-Ro’iq Syarah Kanz ad-Daqo’iq, hlm. 293.

(8) Manshur bin Yunus al-Buhuti, Kassyaf al-Qinna’ ‘an Matn al-Iqna’, hlm. 1/87.

(9)  Ibnu Juzai al-Kalbi al-Maliki, al-Qawanin al-Fiqhiyah, hlm. 77.

(10) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/295-296.

(11) Muhammad bin Abdul Wahid Ibnu al-Humam, Fath al-Qadir, (t.t: dar al-Fikr, t.th), hlm. 2/314-315.

(12) Ibnu Juzai al-Kalbi al-Maliki, al-Qawanin al-Fiqhiyah, hlm. 78.

(13) Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiroqi, hlm. 3/106.

(14) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Raudhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, hlm. 2/367. 

(15) al-Buhuti al-Hanbali, Kassyaf al-Qinna', hlm. 2/366, ad-Dardir al-Maliki, asy-Syarh al-Kabir, hlm. 1/520, asy-Syirbini asy-Syafi’i, Mughni al-Muhtaj, hlm. 1/423, Ibnu Qudamah al-Hanbali, al-Mughni, hlm. 391.

(16) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/289-290.

(17) Abu Bakar ‘Ala’uddin al-Kasani, Badai’ ash-Shanai’ fi Tartib asy-Syarai’, hlm. 2/85.

(18) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/289-290.

(19) Ad-Dardir al-Maliki, asy-Syarh al-Kabir, hlm. 1/520, asy-Syirbini asy-Syafi’i, Mughni al-Muhtaj, hlm. 1/423, Ibnu Qudamah al-Hanbali, al-Mughni, hlm. 391.

(20) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/294.

(21) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/294-295.

(22) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/294-295.

(23) Abu Bakar ‘Ala’uddin al-Kasani, Badai’ ash-Shanai’ fi Tartib asy-Syarai’, hlm. 2/83-84.

(24) Ibnu Abdin, Radd al-Muhtar, hlm. 2/87, an-Nawawi, al-Majmu’, hlm. 6/289, al-Buhuti, Kassyaf al-Qinna’, hlm. 2/315.

(25) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/289.

(26) Ibnu Abdil Barr al-Maliki, al-Kafi fi Fiqhi Ahli al-Madinah, (Riyadh: Maktabah ar-Riyadh, 1400/1980), cet. 2, hlm. 1/336.

(27)  Ibnu Juzai al-Kalbi al-Maliki, al-Qawanin al-Fiqhiyah, hlm. 80.

(28)  Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/299. Lihat: ath-Thahthawi, Hasyiah ath-Thahthawi ‘ala Maraqi al-Falah, hlm. 354, ad-Dusuqi, Hasyiah ad-Dusuqi, hm. 1/528, al-Buhuti, Kassyaf al-Qinna’, hlm. 2/316.

(29) Ibnu Juzai al-Kalbi al-Maliki, al-Qawanin al-Fiqhiyah, hlm. 80. Lihat: al-Buhuti, Kassyaf al-Qinna’, hlm. 2/316.

(30)  Ibnu Abdin Muhammad Amin bin Umar ad-Dimasyyqi, Radd al-Muhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar, (Bairut: Dar al-Fikr, 1412/1992), cet. 2, hlm. 1/252. Lihat: an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/297.

Silahkan baca juga artikel kajian ulama tentang puasa berikut :

  1. Pengertian Puasa dan Puasa Ramadhan
  2. Sejarah Pensyariatan Puasa
  3. Keutamaan Ibadah Puasa
  4. Jenis-jenis Puasa
  5. Keistimewaan Bulan Ramadhan
  6. Hukum Puasa Bulan Sya'ban
  7. Jika Masih Ada Hutang Qodho’ dan Fidyah Ramadhan
  8. Hukum Puasa Ramadhan
  9. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Islam
  10. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Berakal
  11. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Berumur Baligh
  12. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Sehat
  13. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Mampu
  14. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Muqim Bukan Musafir
  15. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Suci Dari Haid atau Nifas
  16. Syarat Sah Puasa Ramadhan : Beragama Islam
  17. Syarat Sah Puasa Ramadhan : Berakal
  18. Syarat Sah Puasa Ramadhan : Suci Dari Haid atau Nifas
  19. Syarat Sah Ibadah Puasa : Pada Hari Yang Tidak Diharamkan
  20. Rukun Puasa Ramadhan : Niat
  21. Rukun Puasa Ramadhan : Imsak
  22. Imsak Yang Bukan Puasa
  23. Sunnah Dalam Puasa : Makan Sahur
  24. Sunnah Dalam Puasa : Berbuka Puasa (Ifthor)
  25. Sunnah Dalam Puasa Ramadhan : Memperbanyak Ibadah Sunnah Lainnya
  26. Sunnah Dalam Puasa : Menahan Diri Dari Perbuatan Yang Dapat Merusak Pahala Puasa dan Mandi Janabah Bagi Yang Berhadats Besar
  27. Pembatal Puasa : Empat Kondisi Seputar Pembatal Puasa
  28. Pembatal Puasa : Pembatal-pembatal Puasa Secara Global
  29. Pembatal Puasa : Batalnya Syarat Sah Puasa
  30. Pembatal Puasa : Makan Minum (Pertama)
  31. Pembatal Puasa : Makan Minum (2)
  32. Pembatal Puasa : Jima’
  33. Pembatal Puasa : Muntah Dengan Sengaja
  34. Pembatal Puasa : Mengeluarkan Mani Dengan Sengaja
  35. Pembatal Puasa: Apakah Berbekam & Mengeluarkan Darah Dari Tubuh Membatalkan Ibadah Puasa?
  36. Ibadah Ramadhan : Shalat Witir di Bulan Ramadhan
  37. Ibadah Ramadhan : Shalat Tarawih di Bulan Ramadhan
  38. Rukhshoh Puasa : Orang-orang Yang Mendapatkan Keringanan Untuk Boleh Tidak Berpuasa Ramadhan Serta Konsekwensinya
  39. Rukhshoh Puasa Ramadhan : Sakit
  40. Rukhshoh Puasa Ramadhan : Musafir (1)
  41. Rukhshoh Puasa Ramadhan : Musafir (2)

Sumber FB Ustadz : Isnan Ansory MA

13 April 2021· 

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Rukun Puasa Ramadhan : Niat". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait