Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Berakal

Syarat Wajib Puasa Ramadhan - Berakal

10. Syarat Wajib Puasa Ramadhan: Berakal

11 Hari Menjelang Ramadhan 1442 H

19 Sya’ban 1442 H – 2 April 2021

Syarat puasa terbagi menjadi dua macam: syarat wajib dan syarat sah. 

Maksud dari syarat wajib adalah hal-hal yang membuat seorang menjadi wajib untuk melakukan ibadah puasa Ramadhan. Bila salah satu syarat wajib tidak terpenuhi pada diri seseorang, maka puasa Ramadhan itu menjadi tidak wajib atas dirinya. Atau malah sebaliknya, bisa menjadi mubah, sunnah, atau bahkan haram.

Sedangkan maksud dari syarat sah adalah syarat-syarat yang membuat ibadah puasa menjadi sah dan menjadi salah satu sebab gugurnya kewajiban puasa Ramadhan, di samping terpenuhinya sebab rukun. Di mana, jika salah satu syarat sah tidak ada, maka ibadah puasa menjadi tidak sah pula. 

Atas dasar ini, secara fungsi, antara syarat sah dan rukun puasa tidaklah berbeda. Karena keduanya menjadi sebab sahnya pelaksanaan ibadah puasa. Namun yang berbeda adalah bahwa syarat sah bukanlah bagian dari ritual ibadah puasa, sedangkan rukun termasuk bagian dari ritual ibadah puasa.

Para ulama sepakat bahwa pada dasarnya fungsi akal yang normal merupakan syarat wajib seseorang untuk berpuasa Ramadhan. Dengan demikian, pada dasarnya orang gila tidaklah diwajibkan untuk mengerjakan puasa. 

Dasarnya adalah hadits berikut:

عَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْها -، عَنِ النَّبِيِّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، قَالَ: رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّغِيرِ حَتَّى يَكْبُرَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ أَوْ يُفِيقَ (رواه النسائي)

Dari Asiyah - radhiyallahu ‘anha -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: Telah diangkat pena dari tiga orang: Dari orang tidur hingga terbangun, dari anak kecil hingga baligh, dan dari orang gila hingga waras.” (HR. Nasai)

Namun terkait dengan hukum berpuasa dan qodho’nya atas orang yang kehilangan fungsi akal, maka dapat dibedakan menjadi beberapa masalah, yaitu: (1) gila permanen, (2) gila temporer, (3) tertidur atau pingsan, dan (4) idiot atau pikun.

A. Hukum Puasa Atas Orang Gila Permanen 

Sebagaimana telah ditegaskan, bahwa para ulama sepakat akan tidak wajibnya puasa atas orang gila yang tidak memungkinkan untuk sembuh, sebagaimana tidak wajib pula atasnya qodho’.

Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(1) 

الْمَجْنُونُ لَا يَلْزَمُهُ الصَّوْمُ فِي الْحَالِ بِالْإِجْمَاعِ.

Para ulama sepakat bahwa orang gila tidak wajib mendirikan ibadah puasa Ramadhan saat gilanya.

B. Hukum Puasa Atas Orang Gila Temporer

Adapun untuk orang gila yang sifatnya temporer, dimana masih memungkinkan untuk ia sembuh, maka para ulama sepakat bahwa tidak wajib atasnya melakukan ibadah puasa selama penyakit gilanya belum sembuh. Namun jika ia sembuh dan menjadi sadar di tengah bulan Ramadhan, maka para ulama sepakat bahwa di sisa hari bulan Ramadhan, ia tetap wajib mendirikan ibadah puasanya.

Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H) berkata dalam kitabnya, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiraqi:(2) 

الْمَجْنُونُ إذَا أَفَاقَ فِي أَثْنَاءِ الشَّهْرِ، فَعَلَيْهِ صَوْمُ مَا بَقِيَ مِنْ الْأَيَّامِ، بِغَيْرِ خِلَافٍ.

Orang gila yang sembuh di tengah bulan Ramadhan, maka wajib atasnya menjalankan puasa di sisa-sisa hari bulan Ramadhab tersebut, tanpa adanya perbedaan di antara ulama dalam masalah ini.

Hanya saja para ulama berbeda pendapat, apakah puasa yang ditinggalkan selama masa gilanya wajib diqodho’ jika ia telah sembuh dari penyakit gilanya?.

Mazhab Pertama: Wajib diqodho.

Mazhab Maliki dalam pendapat masyhurnya mengatakan bahwa orang gila yang sembuh dari penakit gilanya, wajib mengqodho’ puasa yang ditinggalkannya selama masa gilanya. Dan dalam satu riwayat, kecuali jika gilanya berlangsung selama bertahun-tahun.

Imam Ibnu Juzai al-Maliki (w. 741 H) berkata dalam kitabnya, al-Qawanin al-Fiqhiyyah:(3) 

فَأَما الْمَجْنُون فَلَا يَصح صَوْمه وَالْقَضَاء يجب عَلَيْهِ مُطلقًا فِي الْمَشْهُور وَقيل لَا يجب عَلَيْهِ قَضَاء مَا كثر من السنين.

Adapun orang gila, maka tidak sah puasanya, namun wajib diqodho’ secara mutlak menurut pendapat yang masyhur. Dan ada pendapat lain, bahwa tidak wajib diqodho’ jika gilanya bertahun-tahun.

Imam Syihabuddin al-Qarafi (w. 684 H) berkata dalam kitabnya, adz-Dzakhirah:(4) 

قَالَ مَالِكٌ إِنَّمَا يَقْضِي مِثْلَ الْخَمْسِ سِنِينَ فَأَمَّا الْعَشَرَةُ فَلَا لِكَثْرَةِ الْمَشَقَّةِ.

Imam Malik berkata: Ia wajib mengqodho’ jika ditinggakan sekitar 5 tahun. Adapun jika sampai 10 tahun, maka tidak wajib diqodhp’ karena sebab kesulitan yang dihadapi.

Mazhab Kedua: Tidak wajib diqodho’ secara mutlak.

Mazhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa orang gila yang sembuh dari penyakit gilanya, tidaklah wajib mengqodho’ puasa Ramadhan yang ia tinggalkan selama masa gilanya.

Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(5) 

الْمَجْنُونُ ... إِذَا أَفَاقَ لَا يَلْزَمُهُ قَضَاءُ مَا فَاتَهُ فِي الْجُنُونِ سَوَاءٌ قَلَّ أَوْ كَثُرَ وَسَوَاءٌ أَفَاقَ بَعْدَ رَمَضَانَ أَوْ فِي أَثْنَائِهِ هَذَا هُوَ الْمَذْهَبُ.

Orang gila … jika ia sembuh, tidak wajib mengqodho’ puasa yang ditinggalkannya selama masa gila. Apakah jumlahnya sedikit ataupun banyak. Dan apakah ia sembuh setelah Ramadhan berlalu, atau di tengah bulan Ramadhan. Dan inilah pendapat resmi mazhab Syafi’i.

Mazhab Ketiga: Tidak wajib diqodho’ jika gila sepenuh bulan.

Mazhab Hanafi berpendapat bahwa jika selama sebulan penuh di bulan Ramdhan, seseorang dalam kondisi gila, dan sembuh setelah Ramadhan berlalu, maka tidak wajib atasnya qodho’ saat dalam kondisi sembuh. Namun jika ia sempat dalam kondisi sehat di salah satu hari di bulan Ramadhan, dan di hari lainnya dalam kondisi gila, maka wajib diqodho’ puasa Ramadhan yang ditinggalkannya saat gila, setelah sembuh nantinya.

Imam ‘Ala’uddin al-Kasani (w. 587 H) berkata dalam kitabnya, Badai’ ash-Shanai’ fi Tartib asy-Syarai’:(6)  

لَمْ يَجِبْ الْقَضَاءُ فِي الْجُنُونِ الْمُسْتَوْعِبِ شَهْرًا ... مَا إذَا أَفَاقَ فِي وَسَطِ الشَّهْرِ، أَوْ فِي أَوَّلِهِ حَتَّى لَوْ جُنَّ قَبْلَ الشَّهْرِ ثُمَّ أَفَاقَ فِي آخِرِ يَوْمٍ مِنْهُ يَلْزَمُهُ قَضَاءُ جَمِيعِ الشَّهْرِ.

Tidak wajib qodho’ atas orang gila yang dalam kondisi gila sebulan penuh di bulan Ramadhan … Namun jika ia sembuh di tengah Ramadhan atau di awalnya, bahkan jika dalam kondisi gila sebelum Ramadhan dan sembuh di hari terakhir Ramadhan, maka wajib atasnya mengqodho’ puasa Ramadhan sebulan penuh.

Selain itu, para ulama juga berbeda pendapat untuk hari dimana orang yang gila mendapatkan kesembuhan. Yaitu jika ia mendapati kesembuhan di siang hari pada salah satu hari di bulan Ramadhan, apakah diwajibkan atasnya mengqodho’ hari tersebut?

Mazhab Pertama: Wajib qodho.

Mayoritas ulama (Hanafi, Maliki, Hanbali) berpendapat bahwa orang gila yang sembuh di siang hari Ramadhan, wajib mengqodho’ puasa di hari ia sembuh.

Imam ’Ala’uddin al-Mardawi al-Hanbali (w. 885 H) berkata dalam kitabnya, al-Inshoff fi Ma’rifah ar-Rajih min al-Khilaf:(7) 

(وَإِنْ أَسْلَمَ كَافِرٌ، أَوْ أَفَاقَ مَجْنُونٌ، أَوْ بَلَغَ صَبِيٌّ، فَكَذَلِكَ) يَعْنِي يَلْزَمُهُمْ الْإِمْسَاكُ وَالْقَضَاءُ إذَا وُجِدَ ذَلِكَ فِي أَثْنَاءِ النَّهَارِ، وَهَذَا الْمَذْهَبُ.

Jika orang kafir masuk Islam, orang gila menjadi waras dan anak kecil berumur baligh, maka wajib atas mereka melakukan imsak di hari perubahan tersebut. Serta wajib mengqodho’nya, yaitu hari dimana terdapat perubahan kondisi tersebut. Inilah pendapat mazhab Hanbali.

Mazhab Kedua: Tidak wajib qodho’.

Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa orang gila yang sembuh, tidak wajib mengqodho’ puasa di hari kesembuhannya. Namun ia tetap wajib berpuasa untuk hari-hari Ramadhan yang tersisa.

Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(8) 

أَنَّ الْمَجْنُونَ إذَا أَفَاقَ فِي أَثْنَاءِ نَهَارِ رَمَضَانَ وَالْكَافِرَ إذَا أَسْلَمَ فِيهِ وَالصَّبِيَّ إذَا بَلَغَ فِيهِ مُفْطِرًا اُسْتُحِبَّ لَهُمْ إمْسَاكُ بَقِيَّتِهِ وَلَا يَجِبُ ذَلِكَ وَفِي وُجُوبِ قَضَائِهِ وَجْهَانِ (الصَّحِيحُ) الْمَنْصُوصُ فِي الْبُوَيْطِيِّ وَحَرْمَلَةَ لَا يَجِبُ.

Orang gila yang waras di siang Ramadhan, begitu pula orang kafir yang masuk Islam dan anak kecil yang berumur baligh dalam kondisi tidak berpuasa, dianjurkan bagi mereka untuk melakukan imsak, namun tidak wajib. Adapun untuk kewajiban mengqodho’ hari tersebut, maka ada dua pendapat. Yang shahih serta ditegaskan dari Imam asy-Syafi’i melalui riwayat al-Buwaithi dan Harmalah, bahwa hukumnya tidak wajib.

C. Hukum Puasa Atas Orang Idiot & Orang Tua Pikun

Dalam bahasa Arab, orang idiot disebut dengan ma’tuh (المعتوه) dan orang tua yang pikun disebut dengan al-mukhorrof (المخرف). Para ulama umumnya berpendapat bahwa orang idiot dan orang tua pikun tidaklah wajib melakukan ibadah puasa. Di mana keduanya dihukumi seperti orang gila yang tidak lagi berfungsi akalnya dengan sempurna.

Imam Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) berkata dalam kitabnya, at-Tamhid, ketika menjelaskan hadits tentang hukuman had zina:(9) 

أَنَّ الْمَجْنُونَ الْمَعْتُوهَ لَا حَدَّ عَلَيْهِ وَالْقَلَمُ عَنْهُ مَرْفُوعٌ.

Orang gila yang pikun, tidak ditetapkan atasnya hukuman had. Sebab catatan amalnya telah terangkat.

D. Pingsan

Adapun untuk orang yang pingsan, dimana jika pingsannya di malam hari dan terus berlanjut hingga memasuk waktu fajar, maka tidak wajib atasnya berpuasa Ramadhan pada hari tersebut. Namun wajib atasnya mengqodho’ puasa yang ditinggalkannya selama masa pingsannya. 

Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(10) 

الْمُغْمَى عَلَيْهِ لَا يَلْزَمُهُ الصَّوْمُ فِي حَالِ الْإِغْمَاءِ بِلَا خِلَافٍ ... وَيَجِبُ الْقَضَاءُ عَلَى الْمُغْمَى عَلَيْهِ سَوَاءٌ اسْتَغْرَقَ جَمِيعَ رَمَضَانَ أَوْ بَعْضَهُ ... وَالْمَذْهَبُ وُجُوبُ الْقَضَاءِ عَلَيْهِ.

Orang yang pingsan tidak wajib berpuasa di saat ia pingsan, tanpa adanya perselisihan dalam masalah ini. ... Dan wajib atasnya mengqodho’ puasa yang ditinggalkan, meskipun pingsannya berlalu sepenuh bulan Ramadhan atas sebagiannya .... Di mana pendapat resmi mazhab adalah wajib mengqodho’.

--------------------

(1) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/254.

(2) Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiroqi, hlm. 3/163.

(3) Ibnu Juzai al-Kalbi al-Maliki, al-Qawanin al-Fiqhiyah, hal. 77.

(4) Ahmad bin Idris al-Qarafi, adz-Dzakhirah, (Bairut: Dar al-Gharb al-Islami, 1994), cet. 1, hlm. 2/495.

(5) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/254.

(6) Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani, Badai’ ash-Shanai’ fi Tartib asy-Syarai’, hlm. 2/88-89.

(7) ‘Ala’uddin al-Mardawi, al-Inshaf fi Ma’rifah ar-Rajih min al-Khilaf, hlm. 3/282.

(8) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/256.

(9) Yusuf bin Abdullah Ibnu Abdil Barr an-Namiri, at-Tamhid li ma fi al-Muwattha’ min al-Ma’ani wa al-Asanid, (Maroko: Wizarah Umum al-Awqaf, 1378), hlm. 22/120.

(10) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/254-255.

Silahkan baca juga artikel kajian ulama tentang puasa berikut :

  1. Pengertian Puasa dan Puasa Ramadhan
  2. Sejarah Pensyariatan Puasa
  3. Keutamaan Ibadah Puasa
  4. Jenis-jenis Puasa
  5. Keistimewaan Bulan Ramadhan
  6. Hukum Puasa Bulan Sya'ban
  7. Jika Masih Ada Hutang Qodho’ dan Fidyah Ramadhan
  8. Hukum Puasa Ramadhan
  9. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Islam
  10. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Berakal
  11. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Berumur Baligh
  12. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Sehat
  13. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Mampu
  14. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Muqim Bukan Musafir
  15. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Suci Dari Haid atau Nifas
  16. Syarat Sah Puasa Ramadhan : Beragama Islam
  17. Syarat Sah Puasa Ramadhan : Berakal
  18. Syarat Sah Puasa Ramadhan : Suci Dari Haid atau Nifas
  19. Syarat Sah Ibadah Puasa : Pada Hari Yang Tidak Diharamkan
  20. Rukun Puasa Ramadhan : Niat
  21. Rukun Puasa Ramadhan : Imsak
  22. Imsak Yang Bukan Puasa
  23. Sunnah Dalam Puasa : Makan Sahur
  24. Sunnah Dalam Puasa : Berbuka Puasa (Ifthor)
  25. Sunnah Dalam Puasa Ramadhan : Memperbanyak Ibadah Sunnah Lainnya
  26. Sunnah Dalam Puasa : Menahan Diri Dari Perbuatan Yang Dapat Merusak Pahala Puasa dan Mandi Janabah Bagi Yang Berhadats Besar
  27. Pembatal Puasa : Empat Kondisi Seputar Pembatal Puasa
  28. Pembatal Puasa : Pembatal-pembatal Puasa Secara Global
  29. Pembatal Puasa : Batalnya Syarat Sah Puasa
  30. Pembatal Puasa : Makan Minum (Pertama)
  31. Pembatal Puasa : Makan Minum (2)
  32. Pembatal Puasa : Jima’
  33. Pembatal Puasa : Muntah Dengan Sengaja
  34. Pembatal Puasa : Mengeluarkan Mani Dengan Sengaja
  35. Pembatal Puasa: Apakah Berbekam & Mengeluarkan Darah Dari Tubuh Membatalkan Ibadah Puasa?
  36. Ibadah Ramadhan : Shalat Witir di Bulan Ramadhan
  37. Ibadah Ramadhan : Shalat Tarawih di Bulan Ramadhan
  38. Rukhshoh Puasa : Orang-orang Yang Mendapatkan Keringanan Untuk Boleh Tidak Berpuasa Ramadhan Serta Konsekwensinya
  39. Rukhshoh Puasa Ramadhan : Sakit
  40. Rukhshoh Puasa Ramadhan : Musafir (1)
  41. Rukhshoh Puasa Ramadhan : Musafir (2)

Sumber FB Ustadz : Isnan Ansory MA

1 April 2021 pada 21.26  · 

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Berakal". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait