Rukhshoh Puasa Ramadhan : Musafir (ii)

Rukhshoh Puasa Ramadhan : Musafir (2) - Kajian Islam Tarakan

41. Rukhshoh Puasa Ramadhan : Musafir (2)

MARHABAN YA RAMADHAN

21 Ramadhan 1442 H - 3 Mei 2021

Oleh: Isnan Ansory

Setidaknya ada empat kondisi atau empat hukum terkait dengan persoalan safar bagi orang yang telah memenuhi seluruh syarat wajib untuk berpuasa Ramadhan. 

Empat kondisi tersbut, yaitu: (1) hukum tidak berpuasa saat safar dilakukan sebelum fajar, (2) hukum muqim berniat tidak puasa sebelum fajar dan safar. (3) hukum musafir yang memulai hari dengan puasa, lalu membatalkannya, dan (4) hukum puasa atas muqim yang belum melakukan perjalanan dari sejak terbit fajar, lalu ia melakukan perjalanan setelah masuk waktu wajib berpuasa.

Dari keempat hukum atau kondisis safar tersebut, para ulama menyepakati 2 hukum pertama dan berselisih pendapat pada 2 hukum terakhir.

1) Hukum Tidak Berpuasa Saat Safar Dilakukan Sebelum Fajar

Para ulama sepakat bahwa jika seseorang sudah melakukan perjalanan sebelum fajar pada salah satu hari di bulan Ramadhan, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa pada hari tersebut.

Imam an-Nawawi asy-Syafi’i (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(1) 

إذَا سَافَرَ الْمُقِيمُ فَهَلْ لَهُ الْفِطْرُ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ له اربعة احوال (أَنْ) يَبْدَأَ السَّفَرَ بِاللَّيْلِ وَيُفَارِقُ عُمْرَانَ الْبَلَدِ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَهُ الْفِطْرُ بِلَا خِلَافٍ.

Jika seorang muqim melakukan safar, apakah boleh baginya untuk tidak berpuasa?. Dalam hal ini ada 4 kondisi. Pertama: semua ulama sepakat bahwa jika ia melakukan perjalanan di malam hari dan telah meninggalkan bangunan-bangunan wilayah tempat tinggalnya sebelum fajar, maka boleh baginya tidak berpuasa menurut kesepakatan.

2) Hukum Muqim Berniat Tidak Berpuasa Sebelum Fajar & Safar

Para ulama juga sepakat bahwa muqim yang berniat untuk melakukan safar di siang hari, tetap wajib berniat untuk melakukan puasa dan menjaga puasanya sampai ia memulai perjalanannya. Atas dasar ini, jika dari sejak malam saat berstatus muqim, ia tidak meniatkan puasa hingga masuk waktu fajar, maka ia terhitung meninggalkan puasa Ramadhan tanpa uzur dan mendapatkan dosa.

Imam an-Nawawi asy-Syafi’i (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(2) 

إذَا سَافَرَ الْمُقِيمُ فَهَلْ لَهُ الْفِطْرُ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ له اربعة احوال ... (الرَّابِعُ) أَنْ يُسَافِرَ مِنْ بَعْدِ الْفَجْرِ وَلَمْ يَكُنْ نَوَى الصيام فهذا ليس بصائم لا خلاله بِالنِّيَّةِ مِنْ اللَّيْلِ فَعَلَيْهِ قَضَاؤُهُ وَيَلْزَمُهُ الْإِمْسَاكُ هَذَا الْيَوْمَ لِأَنَّ حُرْمَتَهُ قَدْ ثَبَتَتْ بِطُلُوعِ الْفَجْرِ وَهُوَ حَاضِرٌ.

Jika seorang muqim melakukan safar, apakah boleh baginya untuk tidak berpuasa?. Ada 4 kondisi .... (Kondisi keempat) ia melakukan safar setelah fajar tanpa berniat di malam harinya untuk berpuasa. Maka pada dasarnya, dalam kondisi ini ia sama saja seperti orang yang sengaja tidak berpuasa. Karenanya, ia wajib mengqodho’nya dan melakukan imsak pada hari itu (karena kelalainnya). Sebab kewajiban puasa telah dibebankan kepadanya saat terbit fajar, dan ia masih berstatus muqim.

Imam ‘Ala’uddin al-Mardawi al-Hanbali (w. 885 H) berkata dalam kitabnya, al-Inshaf fi Ma’rifah ar-Rajih min al-Khilaf:(3) 

(وَإِنْ نَوَى الْحَاضِرُ صَوْمَ يَوْمٍ، ثُمَّ سَافَرَ فِي أَثْنَائِهِ، فَلَهُ الْفِطْرُ) ...، وَلَكِنْ لَا يُفْطِرُ قَبْلَ خُرُوجِهِ.

(Jika orang yang muqim berniat untuk berpuasa, lalu di siang harinya ia melakukan safar, maka boleh baginya membatalkan puasa tersebut). … Namun ia tetap tidak boleh tidak berpuasa sebelum memulai perjalanannya.

3) Hukum Musafir Membatalkan Puasa Yang Sempat Dilakukan

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, para ulama 4 mazhab sepakat bahwa jika musafir melakukan puasa, maka puasanya tetap sah. Namun para ulama berbeda pendapat apakah dibolehkan bagi musafir yang melakukan perjalanan sebelum fajar dan memulai waktu fajar tersebut dengan berpuasa, lalu membatalkannya di siang harinya?.

Mazhab Pertama: Tidak boleh.

Mazhab Maliki berpendapat bahwa puasa yang sudah mulai dilakukan, pada dasarnya tidaklah boleh dibatalkan secara mutlak. Termasuk oleh musafir yang saat dalam kondisi safar tetap memulai fajar Ramadhan dengan berpuasa. Maka puasa tersebut tetap harus dilakukan hingga selesai, meskipun statusnya adalah sebagai musafir.

Imam Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) berkata dalam kitabnya, at-Tamhid:(4) 

اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي الْمُسَافِرِ يُفْطِرُ بَعْدَ دُخُولِهِ فِي الصَّوْمِ فَقَالَ مَالِكٌ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَالْكَفَّارَةُ لِأَنَّهُ كَانَ مُخَيَّرًا فِي الصَّوْمِ وَالْفِطْرِ فَلَمَّا اخْتَارَ الصَّوْمَ صَارَ مِنْ أَهْلِهِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُفْطِرَ.

Para fuqoha’ berbeda pendapat terkait musafir yang membatalkan puasanya, setelah sebelumnya ia telah memulai berpuasa?. Malik berkata: Wajib atasnya mengqodho’ dan membayar kaffarat. Sebab ia telah memilih antara puasa atau tidak. Dan saat ia memilih untuk berpuasa, maka wajib atasnya menjaga puasa tersebut dan tidak boleh membatalkannya.

Mazhab Kedua: Boleh berbuka saat safar dilakukan.

Mazhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa musafir yang saat dalam kondisi safar telah memulai fajar Ramadhan dengan berpuasa, dibolehkan baginya untuk membatalkan puasanya selama masih dalam kondisi sebagai musafir.

Imam an-Nawawi asy-Syafi’i (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(5) 

لَوْ أَصْبَحَ فِي أَثْنَاءِ سَفَرِهِ صَائِمًا ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يُفْطِرَ فِي نَهَارِهِ فَلَهُ ذَلِكَ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَقَطَعَ بِهِ جَمِيعُ الْأَصْحَابِ.

Jika di pagi hari, musafir dalam kondisi berpuasa, lalu ia hendak membatalkannya di siang hari, maka hal itu dibolehkan, meskipun tanpa uzur yang lain. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh asy-Syafi’i dan para ashab.

Pendapat ini mereka dasarkan kepada hadits-hadits berikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا - «أَنَّ رَسُولَ اللهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - خَرَجَ عَامَ الْفَتْحِ فِي رَمَضَانَ، فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ الْكَدِيدَ، ثُمَّ أَفْطَرَ» (رواه مسلم)

Dari Ibnu Abbas - radliallahu 'anhuma -: Bahwasanya Rasulullah - shallallahu 'alaihi wasallam - keluar pada tahun pembebasan kota Makkah di bulan Ramadlan, dan beliau berpuasa hingga sampai di Kadid, baru kemudian beliau berbuka. (HR. Muslim)

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا -، قَالَ: «سَافَرَ رَسُولُ اللهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فِي رَمَضَانَ، فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ عُسْفَانَ، ثُمَّ دَعَا بِإِنَاءٍ فِيهِ شَرَابٌ، فَشَرِبَهُ نَهَارًا لِيَرَاهُ النَّاسُ، ثُمَّ أَفْطَرَ حَتَّى دَخَلَ مَكَّةَ» (رواه مسلم)

Dari Ibnu Abbas - radliallahu 'anhuma -, ia berkata: Rasulullah - shallallahu 'alaihi wasallam - pernah melakukan perjalan pada bulan Ramadlan, beliau berpuasa hingga sampai di Usfan, kemudian beliau meminta bejana berisi minuman, lalu beliau meminumnya di siang hari agar-agar orang-orang juga melihatnya. Beliau berbuka hingga memasuki kota Makkah. (HR. Muslim)

4) Hukum Puasa Atas Safar Yang Dilakukan Setelah Fajar

Para ulama juga berbeda pendapat apakah diharuskan safar itu dimulai sejak sebelum fajar shubuh hingga bisa mendapatkan keringanan membatalkan puasa, ataukah boleh seseorang sejak shubuh sudah mulai berpuasa sebagai muqim, lalu di tengah hari melakukan safar dan membatalkan puasanya?

Mazhab Pertama: 

Mayoritas ulama (Hanafi, Maliki, Syafi’i) berpendapat bahwa syarat musafir boleh membatalkan puasa atau tidak berpuasa adalah dalam kondisi sebagai musafir saat waktu fajar. Artinya, jika di waktu fajar masih dalam kondisi muqim, maka puasa tetap wajib dilakukan, meskipun di siang harinya melakukan perjalanan.  

Imam an-Nawawi asy-Syafi’i (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(6) 

إذَا سَافَرَ الْمُقِيمُ فَهَلْ لَهُ الْفِطْرُ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ له اربعة احوال ... (الثَّانِي) أَنْ لَا يُفَارِقَ الْعُمْرَانَ إلَّا بَعْدَ الْفَجْرِ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ الْمَعْرُوفُ مِنْ نُصُوصِهِ وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ لَيْسَ لَهُ الْفِطْرُ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ ...

Jika seorang muqim melakukan safar, apakah boleh baginya untuk tidak berpuasa?. Ada 4 kondisi .... (Kedua) Ia belum memulai perjalanan dengan meninggalkan tempat tinggalnya setelah fajar masuk. Untuk kasus ini, menurut pendapat asy-Syafi’i, dan juga Malik dan Abu Hanifah, bahwa ia tidak boleh meninggalkan puasa pada hari tersebut.

Selain itu, imam an-Nawawi juga menegaskan bahwa keraguan yang muncul terkait kapan ia melakukan safar, apakah sebelum fajar atau setelahnya, tetap membuatnya wajib untuk melakukan puasa yang telah diniatkan.

Imam an-Nawawi asy-Syafi’i (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(7) 

(الثَّالِثُ) أَنْ يَنْوِيَ الصِّيَامَ فِي اللَّيْلِ ثُمَّ يُسَافِرُ وَلَا يَعْلَمُ هَلْ سَافَرَ قَبْلَ الْفَجْرِ أَوْ بَعْدَهُ قَالَ الصَّيْمَرِيُّ وَالْمَاوَرْدِيُّ وَصَاحِبُ الْبَيَانِ وَغَيْرُهُمْ لَيْسَ لَهُ الْفِطْرُ لِأَنَّهُ يَشُكُّ فِي مُبِيحِ الْفِطْرِ وَلَا يُبَاحُ بِالشَّكِّ.

Jika seorang muqim melakukan safar, apakah boleh baginya untuk tidak berpuasa?. Ada 4 kondisi .... (Kondisi ketiga) ia telah berniat berpuasa di malam hari, lalu melakukan safar. Namun ia ragu, apakah safar dimulai dari sebelum fajar atau setelahnya. Dalam kasus ini, ash-Shoimari, al-Mawardi, pengarang al-Bayan dan ulama lainnya mengatakan bahwa ia tidak boleh membatalkan puasanya. Sebab adanya keraguan terhadap status safar yang membolehkannya untuk berbuka.

Mazhab Kedua: Boleh membatalkan puasa.

Mazhab Hanbali berpendapat bahwa secara mutlak orang yang berstatus musafir, apakah safarnya dilakukan sebelum fajar atau setelahnya, tetap dibolehkan untuk membatalkan puasanya saat safar dilakukan. 

Imam ‘Ala’uddin al-Mardawi al-Hanbali (w. 885 H) berkata dalam kitabnya, al-Inshaf fi Ma’rifah ar-Rajih min al-Khilaf:(8) 

(وَإِنْ نَوَى الْحَاضِرُ صَوْمَ يَوْمٍ، ثُمَّ سَافَرَ فِي أَثْنَائِهِ، فَلَهُ الْفِطْرُ) هَذَا الْمَذْهَبُ مُطْلَقًا، وَعَلَيْهِ الْأَصْحَابُ، سَوَاءٌ كَانَ طَوْعًا أَوْ كَرْهًا، وَهُوَ مِنْ مُفْرَدَاتِ الْمَذْهَبِ، وَلَكِنْ لَا يُفْطِرُ قَبْلَ خُرُوجِهِ.

(Jika orang yang muqim berniat untuk berpuasa, lalu di siang harinya ia melakukan safar, maka boleh baginya membatalkan puasa tersebut). Inilah pendapat mazhab Hanbali secara mutlak, yang diakui oleh al-ashab. Dan termasuk pendapat yang khas dalam mazhab Hanbali. Namun ia tetap tidak boleh tidak berpuasa sebelum memulai perjalanannya. 

--------------------------

(1) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/261.

(2) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/262.

(3) ‘Ala’uddin al-Mardawi, al-Inshaf fi Ma’rifah ar-Rajih min al-Khilaf, hlm. 3/289.

(4) Yusuf bin Abdullah Ibnu Abdil Barr an-Namiri, at-Tamhid li ma fi al-Muwattha’ min al-Ma’ani wa al-Asanid, (Maroko: Wizarah Umum al-Awqaf, 1378), hlm. 20/95.

(5) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/261.

(6) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/261.

(7) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/262.

(8) ‘Ala’uddin al-Mardawi, al-Inshaf fi Ma’rifah ar-Rajih min al-Khilaf, hlm. 3/289.

Silahkan baca juga artikel kajian ulama tentang puasa berikut :

  1. Pengertian Puasa dan Puasa Ramadhan
  2. Sejarah Pensyariatan Puasa
  3. Keutamaan Ibadah Puasa
  4. Jenis-jenis Puasa
  5. Keistimewaan Bulan Ramadhan
  6. Hukum Puasa Bulan Sya'ban
  7. Jika Masih Ada Hutang Qodho’ dan Fidyah Ramadhan
  8. Hukum Puasa Ramadhan
  9. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Islam
  10. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Berakal
  11. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Berumur Baligh
  12. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Sehat
  13. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Mampu
  14. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Muqim Bukan Musafir
  15. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Suci Dari Haid atau Nifas
  16. Syarat Sah Puasa Ramadhan : Beragama Islam
  17. Syarat Sah Puasa Ramadhan : Berakal
  18. Syarat Sah Puasa Ramadhan : Suci Dari Haid atau Nifas
  19. Syarat Sah Ibadah Puasa : Pada Hari Yang Tidak Diharamkan
  20. Rukun Puasa Ramadhan : Niat
  21. Rukun Puasa Ramadhan : Imsak
  22. Imsak Yang Bukan Puasa
  23. Sunnah Dalam Puasa : Makan Sahur
  24. Sunnah Dalam Puasa : Berbuka Puasa (Ifthor)
  25. Sunnah Dalam Puasa Ramadhan : Memperbanyak Ibadah Sunnah Lainnya
  26. Sunnah Dalam Puasa : Menahan Diri Dari Perbuatan Yang Dapat Merusak Pahala Puasa dan Mandi Janabah Bagi Yang Berhadats Besar
  27. Pembatal Puasa : Empat Kondisi Seputar Pembatal Puasa
  28. Pembatal Puasa : Pembatal-pembatal Puasa Secara Global
  29. Pembatal Puasa : Batalnya Syarat Sah Puasa
  30. Pembatal Puasa : Makan Minum (Pertama)
  31. Pembatal Puasa : Makan Minum (2)
  32. Pembatal Puasa : Jima’
  33. Pembatal Puasa : Muntah Dengan Sengaja
  34. Pembatal Puasa : Mengeluarkan Mani Dengan Sengaja
  35. Pembatal Puasa: Apakah Berbekam & Mengeluarkan Darah Dari Tubuh Membatalkan Ibadah Puasa?
  36. Ibadah Ramadhan : Shalat Witir di Bulan Ramadhan
  37. Ibadah Ramadhan : Shalat Tarawih di Bulan Ramadhan
  38. Rukhshoh Puasa : Orang-orang Yang Mendapatkan Keringanan Untuk Boleh Tidak Berpuasa Ramadhan Serta Konsekwensinya
  39. Rukhshoh Puasa Ramadhan : Sakit
  40. Rukhshoh Puasa Ramadhan : Musafir (1)
  41. Rukhshoh Puasa Ramadhan : Musafir (2)

Sumber FB Ustadz : Isnan Ansory MA

3 Mei 2021 

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Rukhshoh Puasa Ramadhan : Musafir (ii)". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait