Itu Makna Hakikat Atau Majas?
Banyak pertengkaran dalam pembahasan akidah yang bertumpu pada perdebatan apakah makna tertentu hakikat atau majas? Misalnya: Apakah perbuatan manusia itu sebenarnya adalah fi'il (tindakan) Allah secara hakikat atau majas? Apakah yang didengar dari bacaan manusia terhadap al-Qur'an adalah kalamullah secara hakikat atau secara majas? Apakah kata yadullah (diterjemah sebagai tangan Allah) adalah secara hakikat atau majas?
Di kalangan Ahlussunnah wal Jama'ah (Asy'ariyah-Maturidiyah) sendiri, penyebutan bahwa sebuah makna disebut hakikat atau majas setahu saya tidak pernah menjadi masalah sebab ini hanya soal klasifikasi dalam ilmu bahasa, bukan masalah akidah. Kalau pun beda klasifikasi, maka itu sekedar beda pendapat bukan merupakan masalah serius yang menimbulkan celaan.
Tapi di kalangan Wahabi-Taymiy, sering kita dapati mereka meributkan soal makna hakikat atau majas ini. Mereka sering berkata bahwa ini adalah makna hakikat, sesuai hakikat, secara hakikat dan sebagainya sembari mencela siapa pun yang tidak mengatakan bahwa itu adalah majas (bukan hakikat).
Untuk mereka yang suka meributkan persoalan makna hakikat atau majas ini, perlulah diingat perkataan Ibnu Qayyim berikut:
أَنَّ تَقْسِيمَ الْأَلْفَاظِ إِلَى حَقِيقَةٍ وَمَجَازٍ لَيْسَ تَقْسِيمًا شَرْعِيًّا وَلَا عَقْلِيًّا وَلَا لُغَوِيًّا فَهُوَ اصْطِلَاحٌ مَحْضٌ، وَهُوَ اصْطِلَاحٌ حَدَثَ بَعْدَ الْقُرُونِ الثَّلَاثَةِ الْمُفَضَّلَةِ بِالنَّصِّ
"Bahwa pembagian kata-kata menjadi hakikat dan majas bukanlah pembagian secara syariat, bukan pembagian secara rasional atau secara bahasa. Itu hanya istilah belaka. Itu adalah istilah yang baru muncul setelah abad ketiga yang diutamakan oleh nash" (Ibnu al-Mushili, Mukhtashar al-Shawa'iq al-Mursalah, 287)
Kalau konsisten dengan itu, maka tidak ada urgensinya meributkan apakah istilah tertentu adalah hakikat atau majas. Kalau masih meributkan, maka itu hanya meributkan soal istilah belaka yang bisa diabaikan sebab tidak urgen dan jelas bertentangan dengan dengan pernyataan Ibnu Qayyim di atas.
NB:
Ibnu Qayyim, sebagaimana gurunya, menafikan adanya makna majas. Kalau konsisten, maka seharusnya juga menafikan makna hakikat sebab pembagian makna ini sama-sama bid'ah menurutnya. Kalau menetapkan yang hakikat, maka harus menetapkan yang majas juga sebab keduanya berpasangan satu paket. Tanpa majas, maka otomatis tidak ada hakikat. Sama seperti ketika anda menyebut bahwa ada masyarakat yang baik, maka anda harus mengakui adanya masyarakat yang tidak baik. Ketika menyebut bahwa ada produk yang asli, otomatis anda harus mengakui adanya produk yang tidak asli, dan seterusnya.
Tapi bagaimana pun hasilnya, ini hanya soal istilah baru belaka. Yang penting adalah substansinya, bukan istilahnya.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad