Definisi dan Hukum Berdusta Menurut Ahlussunnah dan Fuqoha

Definisi dan Hukum Berdusta Menurut Ahlussunnah dan Fuqoha

Definisi dan Hukum Berdusta/Berbohong Menurut Ahlussunnah dan Fuqoha.

“Dusta” menurut Ahlussunnah adalah mengabarkan sesuatu yang bertentangan dengan kenyataannya, baik itu disengaja atau tidak disengaja. Baik dia menyadari kedustaannya, atau tidak menyadarinya. Yang pasti, kesengajaan dan kesadaran adalah syarat dalam berdusta yang mengandung dosa. Karena, perlu diketahui bahwa berdusta itu tidak selamanya mengandung dosa. Berdusta itu terkadang dibolehkan atau bahkan diwajibkan.

Kriteria berdusta :

1. Jika tujuan baik dapat dicapai dengan kejujuran dan kedustaan, maka berdusta hukumnya haram.

2. Jika tujuan baik hanya dapat dicapai dengan berdusta, maka:

- Jika tujuan tersebut dibolehkan, maka berdusta hukumnya mubah.

- Jika tujuan tersebut diwajibkan, maka berdusta hukumnya wajib.

Contoh berdusta yang diwajibkan:

1. Berdusta untuk menyelamatkan nyawa orang lain dari orang yang mendzoliminya atau hendak membunuhnya. Karena wajib hukumnya menjaga darah dari seorang muslim.

2. Berdusta untuk menjaga rahasia dan titipan orang lain. Karena wajib hukumnya menjaga rahasia dan sebuah titipan dari hal-hal yang membahayakan.

Contoh berdusta yang dibolehkan:

1. Berdusta untuk menghindari pertumpahan darah.

2. Berdusta untuk menenangkan hati orang yang terluka atau terkena sebuah tindakan kriminal.

3. Berdusta untuk menyenangkan hati sang istri.

4. Berdusta untuk menutupi dosa yang pernah dilakukannya. Jika ada seseorang yang bertanya tentang dosa yang pernah dilakukannya, maka dia diperbolehkan untuk mengingkarinya, dan menjawab “Saya tidak pernah melakukan itu.”

5. Berdusta untuk menutupi dosa dan aib orang lain.

Kalau dalam keadaan berdusta yang diperbolehkan, apakah harus disertai dengan “Tauriyah” (Metonimia, atau Majaz) dengan mengatakan sebuah diksi yang memiliki banyak ma’na dan arti?

Ibnu Hajar mengatakan: “Tidak wajib secara muthlaq. Namun Imam Ghazali menyarankan hal itu.” 

Imam Nawawi mengatakan: “Mengatakan lafadz yang mengandung Tauriyah, itu lebih berhati-hati.”

Refrensi :

(إرشاد العباد إلى سبيل الرشاد)

الكذب عند أهل السنة : هو الإخبار بالشيء على خلاف ما هو عليه؛ سواء أعلم ذلك وتعمَّده أم لا، وأما العلم والتعمد .. فإنَّهُما شرطان للإثم.

واعلم : أنَّه قد يُباح وقد يجب؛ فالضابط : أنَّ كل مقصود محمود يُمكن التوصل إليه بالصدق والكذب جميعاً .. فالكذب فيه حرام، وإن أمكن التوصل إليه بالكذب وحده .. فمباح إن أُبيح تحصيل ذلك المقصود، وواجب إن وجب تحصيل ذلك؛ كما لو رأى معصوماً اختفى من ظالم يُريد قتله أو إيذاءه .. فالكذب هنا واجب؛ لوجوب عصمة دم المعصوم.

وكذا لو سأل ظالم عن وديعة يُريد أخذها .. فيجب إنكارها وإن كذب ، بل لو استحلف .. جاز له الحلف ويُوري، وإِلَّا .. حَيْثُ ولزمَهُ الكفارة، وقيل : يلزم الحلف.

ومهما كانَ لا يَتِمُّ مقصود حرب ، أو إصطلاح ذات البين ، أو استمالة قلب المجني عليه ، أو إرضاء زوجته إلَّا بالكذب فيه .. فمباح .

ولو سأله السلطان عن فاحشة وقعت منه سراً ؛ كزناً أو شرب خمر ... فله أن يكذب ويقول : ما فعلت ذلك ، وله أن يُنكر أيضاً سرَّ أخيه. 

Sumber FB Ustadz : Hifdzil Aziz

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Definisi dan Hukum Berdusta Menurut Ahlussunnah dan Fuqoha". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait