Hukuman Dalam Bentuk Denda, Bolehkah?

Hukuman Dalam Bentuk Denda, Bolehkah?

Hukuman Dalam Bentuk Denda, Bolehkah?

Ada dua jenis hukuman dalam syariat Islam. Pertama, hukuman yang sudah jelas ketentuannya. Ini disebut hudud. Hukuman jenis ini tidak boleh ditambah, dikurangi dan diganti. Kedua, hukuman yang tidak dijelaskan secara rinci jenis dan kadarnya. Hukuman ini diserahkan pada kebijaksanaan seorang hakim atau pemerintah melihat tingkat kesalahan, motif terjadinya kejahatan dan latarbelakang si pelaku. Ini disebut dengan ta’zir.

Para ulama sepakat bahwa seorang hakim atau penguasa punya hak untuk memilih dan menentukan jenis hukuman tertentu yang sesuai dan berimbang pada seorang pelaku kejahatan selama tidak masuk dalam kategori hudud. Hukuman itu bisa berupa penahanan (penjara), pemukulan (cambuk), pengasingan, dipermalukan dan sebagainya.

Yang menjadi pertanyaan, bolehkah hakim, penguasa atau pimpinan sebuah lembaga memberikan hukuman pada seseorang dalam bentuk denda? Artinya, ketika seseorang melakukan kesalahan atau pelanggaran, hukuman yang diberikan terhadapnya adalah ia didenda dengan mengambil sejumlah uang miliknya.

Perlu diketahui bahwa untuk memiliki atau menguasai suatu harta, syariat Islam sudah menggariskan cara-cara tertentu yang halal yaitu melalui jual-beli (atas dasar suka sama suka/taradhin), hibah atau hadiah, dan warisan. Menguasai dan memiliki harta orang lain di luar dari ketiga cara tersebut berarti memakannya dengan cara yang batil. Dan itu haram.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا  [ النساء:29]

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesama kamu dengan jalan yang batil, kecuali dalam bentuk perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.”

Dalam sebuah hadits riwayat Imam al-Hakim, Rasulullah Saw bersabda:

إِنَّ كُلَّ مُسْلِمٍ أَخٌ مُسْلِمٌ، الْمُسْلِمُونَ إِخْوَةٌ، وَلَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ مِنْ مَالِ أَخِيهِ إِلَّا مَا أَعْطَاهُ ‌عَنْ ‌طِيبِ ‌نَفْسٍ وَلَا تَظْلِمُوا

“Sesungguhnya setiap muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Orang-orang muslim itu bersaudara. Tidak halal bagi seseorang dari harta saudaranya kecuali apa yang diberikannya dengan hati yang suci, dan janganlah kalian menzalimi.”

Sekarang bagaimana dengan memakan harta orang lain melalui denda? Baik denda itu nantinya menjadi milik personal orang yang mendenda, atau lembaga yang dikelolanya, maupun diserahkan ke kas negara (yang dulu disebut baitul mal).

Para ulama lintas mazhab sepakat tidak membolehkan pemberian hukuman dalam bentuk denda. Kesepakatan (ijma’) ini diantaranya dinukilkan oleh Imam ad-Dasuqi dari kalangan Malikiyyah. 

Dalam Hasyiyah-nya terhadap Syarh Kabir karya Imam ad-Dardiri, pada kalimat:

وقد يكون أي التعزير بغير ذلك

“Bisa jadi ta’zir dengan cara selain itu...”

Imam ad-Dasuqi berkomentar:

أي كإتلافه لما يملكه كإراقة اللبن على من غشه حيث كان يسيرا ، ولا يجوز التعزير بأخذ المال إجماعا ، وما روي عن الإمام أبي يوسف صاحب أبي حنيفة من أنه جوز للسلطان التعزير بأخذ المال فمعناه كما قال البزازي من أئمة الحنفية أن يمسك المال عنده مدة لينزجر ثم يعيده إليه لا أن يأخذه لنفسه أو لبيت المال كما يتوهمه الظلمة إذ لا يجوز أخذ مال مسلم بغير سبب شرعي أي كشراء وهبة

“Maksudnya seperti memusnahkan apa yang dimilikinya (dengan cara batil) seperti menumpahkan susu milik seseorang yang mencampurkannya dengan yang lain karena hal itu masih tergolong sedikit. Tidak boleh menta’zir dengan cara mengambil harta. Ini sudah ijma’. 

Adapun yang diriwayatkan dari Imam Abu Yusuf, sahabat Abu Hanifah, bahwa ia membolehkan seorang penguasa melakukan ta’zir dengan cara mengambil harta maka itu maksudnya -seperti dijelaskan al-Bazzazi salah seorang ulama Hanafiyyah- adalah menahan harta orang itu beberapa saat agar ia jera, kemudian dikembalikan lagi kepadanya, bukan untuk diambil untuk dirinya sendiri atau diserahkan ke baitul mal seperti yang mungkin diduga oleh orang-orang yang berlaku zalim, karena tidak boleh mengambil harta seorang muslim tanpa sebab syar’iy seperti jual beli dan hibah.”

Imam Ibnu Qudamah dari kalangan Hanabilah juga menegaskan dalam kitabnya al-Mughni:

والتعزير يكون بالضرب والحبس والتوبيخ ، ولا يكون قطع أي شيء منه ولا أخذ ماله

“Ta’zir itu bisa dalam bentuk pukulan, penahanan, dan kecaman. Tapi tidak boleh dengan memotong apapun bagian tubuhnya, tidak boleh juga dengan mengambil hartanya.”

Diantara tujuan pemberian hukuman adalah untuk menimbulkan efek jera, baik bagi si pelaku maupun orang lain yang berpotensi melakukannya. 

Karena itu hukuman mesti berlaku merata bagi semua orang dan menimbulkan efek jera dari semua sisi. Adapun hukuman dalam bentuk denda, ia hanya akan membuat jera si pelaku, tapi tidak bagi pihak yang memberlakukannya, karena ia akan mendapatkan keuntungan dari hukuman tersebut. 

Ini bisa saja membuat pihak yang memberlakukan hukuman tidak benar-benar berharap sebuah pelanggaran atau kejahatan akan berakhir. Bahkan mungkin saja sebaliknya. Ia berharap pelanggaran ‘tetap’ ada agar keuntungan dari pelanggaran itu tetap mengalir. Ini tentu saja bertolak-belakang dengan tujuan diberlakukannya sebuah sangsi.

Bahkan tak jarang ketika terjadi sebuah pelanggaran, pihak berwenang tidak serius dan sungguh-sungguh mendalami kasus tersebut untuk memastikan apakah pelaku benar-benar bersalah atau tidak. Langsung saja diputuskan orang itu bersalah untuk kemudian dikenai denda yang jadi uang masuk bagi lembaga atau bahkan pribadi.

***  

Tapi kenapa ada sebagian ulama yang membolehkan hukuman dalam bentuk denda?

Syekh Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam Fiqih Muqaran-nya mensinyalir, hal itu karena sebagian besar dari mereka bersandar pada pendapat Ibnu al-Qayyim dalam Thuruq Hukmiyyah. Padahal sebenarnya Ibnu al-Qayyim keliru ketika tidak membedakan antara ‘hukuman bersifat harta’ (العقوبة المالية) dengan ‘hukuman dengan mengambil harta’ (العقوبة بأخذ المال). Yang pertama dibolehkan, sementara yang kedua tidak. 

Ada juga sebagian ulama yang membolehkan hal itu dengan berpijak pada hadits yang diriwayatkan Imam Abu Dawud dan Nasa`i dari Bahz bin Hakim bahwa siapa yang enggan membayar zakat maka zakat itu akan diambil secara paksa darinya ditambah dengan setengah hartanya sebagai hukuman atas keengganannya. Tapi hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah dalam hal ini karena lemah, bahkan munkar. 

والله تعالى أعلم وأحكم

[YJ]

Sumber FB Ustadz : Yendri Junaidi

Maka tak boleh hukuman berbentuk denda menurut jumhur ulama. Tidak boleh menghancurkan benda yang bermanfaat sebagai hukuman. Kecuali barang-barang haram seperti miras dan ganja.

by FB Ustadz : Fakhry Emil Habib


©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Hukuman Dalam Bentuk Denda, Bolehkah?". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait