๐๐๐ก๐๐ฅ๐๐๐ ๐๐จ๐ฅ๐จ ๐ง๐๐๐๐ ๐๐ข๐๐๐ ๐ ๐๐ก๐๐ฅ๐๐ ๐ ๐๐๐๐๐๐ ?
Oleh Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq
Dalam bahasan fiqih klasik tidak akan kita temukan adanya seorang ulama pun dari madzhab manapun yang mengharamkan seorang guru dari menerima hadiah. Justru kalau masalah menerima gaji ada perselisihan pendapat, antara yang membolehkan dan yang mengharamkan.
Tapi kalau urusan hadiah ulama tidak ada yang mempermasalahkan. Bahkan umumnya mereka mengatakan di antara bentuk amal harta terbaik adalah memberikan hadiah kepada para guru dan ulama.
Imam Suyuthi rahimahullah misalnya sampai menyatakan bahwa hadiah kepada para ulama atau guru akan dibalas dengan balasan paling tinggi bahkan di atas balasan sedekah kepada siapapun termasuk kepada fakir miskin.[1]
Lalu bagaimana kalau seorang guru telah menerima gaji rutin seperti hari ini, bolehkah ia menerima hadiah ? Jawabannya mungkin bisa dipilah, jika gajinya itu mencukupi bahkan cenderung berlebih, maka boleh para guru dilarang dari menerima hadiah dan pemberian apapun.
Tapi kalau mereka selama ini hanya sekedar dapat gaji yang layaknya disebut "bisyarah" atau penggembira, gembiranya hanya satu hari sakit perut plus peningnya sebulanan, maka itu kembali ke hukum asal kebolehan menerima hadiah.
Nah kalau sebuah lembaga merasa telah memberi gaji yang mencukupi, bisa saja membuat aturan yang melarang dengan pertimbangan kemaslahatan tertentu. Jika ada aturan ini, maka wajib bagi para guru tersebut untuk mematuhinya, bukan karena keharaman hadiah, tapi karena hukum mematuhi kesepakatan adalah wajib adanya.
Namun jika tidak ada larangannya, maka boleh saja para guru menerima hadiah dari siapapun termasuk dari para muridnya, meskipun ia telah menerima gaji yang lebih dari cukup.
Pertanyaannya, jika guru yang digaji tetap boleh menerima hadiah, lalu bagaimana memaknai hadits berikut ini ?
ู َِู ุงุณْุชَุนْู ََْููุงُู ุนََูู ุนَู ٍَู َูุฑَุฒََْููุงُู ุฑِุฒًْูุง، َูู َุง ุฃَุฎَุฐَ ุจَุนْุฏَ ุฐََِูู ََُููู ุบٌُُููู
"Siapa saja yang telah kami pekerjakan dan telah kami beri upah tetap, maka semua harta yang dia dapatkan di luar hal itu adalah harta ghulul (khianat)." (HR. Abu Daud)
Jika ingin paham maksud hadits tersebut lihat dengan seksama penjelasan ulama tentang maksud sebenarnya dari hadits ini. Seperti penjelasan imam Shan'ani dalam At Tanwir (11/19), Syarah Sunan Abu Daud li Ibn Ruslan (12/554 - 556), al Hawi al Kabir (16/285) karya imam Mawardi dan yang lainnya.
Hadits tersebut lebih tepatnya dialamatkan kepada para aparatur negara, yakni mereka yang memiliki jabatan tinggi, gaji dan juga tunjangan yang besar, tapi masih berlagak mau mengemis "hadiah" dari berbagai pihak. Maka mereka diancam dengan hadits tersebut.
Al imam Mardawi rahimahullah berkata :
ูุง ูุฌูุฒ ุฅุนุทุงุก ุงููุฏูุฉ ูู ู ูุดูุน ุนูุฏ ุงูุณูุทุงู
"Tidak boleh memberikan hadiah kepada siapapun yang bisa memberi bantuan di sisi penguasa (yakni para pejabat negara)."[2]
Maksimal jika mau diperluas, ya hanya untuk para guru yang telah diangkat resmi oleh negara dan mendapatkan jaminan kehidupan yang layak, bukan untuk para ustadz, atau pengajar yang hanya diberi upah ala kadarnya.
Lagian kalau makna "pegawai" dalam hadits di atas dimaknai pegawai secara umum, maka bisa jadi hari ini tidak ada orang yang boleh menerima hadiah sama sekali, karena hampir sebagian besarnya kita berprofesi sebagai pegawai atau karyawan atau buruh yang menerima upah. Kalau sudah demikian, matilah sunnah untuk saling memberi hadiah.
Maka kepada para guru dan ulama dari zaman dulu hingga hari ini, hukum asal memberi hadiah kepada mereka adalah mustahab (dianjurkan), sebagaimana keumuman perintah hadits :
ุชََูุงุฏُูุง ุชَุญَุงุจُّูุง
"Salinglah kalian memberi hadiah, maka kalian akan saling mencintai." (HR. Baihaqi)
Wallahu a'lam.
_______
1. Bughyah al Mustarsyidin hlm. 221
2. Al Inshaf (28/359)
Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq