๐ง๐๐ค๐๐๐ ๐๐ฃ๐๐๐๐ ๐๐ข๐๐๐ ?
Oleh Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq
Berikut ini uraian singkat kami tentang masalah taqlid kepada para ulama khususnya kepada pendapat ulama yang bersandar kepada fiqih madzhab yang empat.
๐ญ. ๐ฃ๐ฒ๐ป๐ด๐ฒ๐ฟ๐๐ถ๐ฎ๐ป๐ป๐๐ฎ
Secara bahasa taqlid diartikan dengan :
ูุถุน ุงูุดูุก ูู ุงูุนูู ู ุน ุงูุฅุญุงุทุฉ ุจู ููุณู ู ุฐูู ููุงุฏุฉ، ูุงูุฌู ุน ููุงุฆุฏ
“Meletakkan sesuatu di leher dengan mengitarinya (mengalungkannya). Dan hal itu disebut sebagai "kalung" (ููุงุฏุฉ), bentuk jamaknya adalah "kalung-kalung" (ููุงุฆุฏ).”[1]
Dari kata ini kemudian dimaknai bahwa orang yang bertaqlid itu seperti orang yang mengikuti pihak yang telah mengikat lehernya dengan tali.[2]
Taqlid artinya menerima pendapat orang lain tanpa mengetahui dalil dari pendapat tersebut. Seperti orang awam yang mengikuti pendapat seorang mujtahid dari ulama kaum muslimin. Adapun mengikuti perkataan Nabi Muhammad ๏ทบ tidak dianggap sebagai taqlid, begitu juga mengikuti ijma' tidak dianggap sebagai taqlid, karena keduanya merupakan sumber dalil yang pasti.[3]’
๐ฎ. ๐๐๐ธ๐๐บ๐ป๐๐ฎ
Dan tentang hukum melakukan taqlid kepada ahli ilmu, para ulama berbeda pendapat, sebagian ulama ada yang mutlak melarang, sedangkan jumhur ulama memilah masalah taqlid, ada yang boleh ada yang tidak boleh. Yang disepakati keharamannya adalah taqlid kepada yang bukan ahli ilmu.[4]
๐ฏ. ๐ฆ๐ฒ๐ฏ๐ฎ๐ด๐ถ๐ฎ๐ป ๐๐น๐ฎ๐บ๐ฎ ๐บ๐ฒ๐น๐ฎ๐ฟ๐ฎ๐ป๐ด ๐๐ฎ๐พ๐น๐ถ๐ฑ ๐๐ฒ๐ฐ๐ฎ๐ฟ๐ฎ ๐บ๐๐๐น๐ฎ๐ธ
Yang mutlak melarang taqlid adalah deretan nama seperti al imam asy Syaukani, Ibnu Qayyim dan beberapa ulama lainnya.[5] Dalam pandangan para ulama ini, wajib hukumnya bagi setiap orang berusaha sesuai batas kemampuannya untuk mengetahui dalil dari setiap pendapat dalam masalah agama yang ia ikuti.
Mereka berdalil bahwa Allah Ta'ala mencela taqlid dalam firman-Nya: "Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah" (QS. At-Taubah: 31) dan firman-Nya:
ََููุงُููุง ุฑَุจََّูุง ุฅَِّูุง ุฃَุทَุนَْูุง ุณَุงุฏَุชََูุง َُููุจَุฑَุงุกََูุง َูุฃَุถََُّูููุง ุงูุณَّุจَِููุง
"Dan mereka berkata: 'Wahai Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati para pemimpin dan pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar.'" (QS. Al-Ahzab: 67). Ayat-ayat semacam ini juga menunjukkan celaan terhadap taqlid.
Selain itu, para imam kaum muslimin juga melarang orang untuk bertaqlid buta kepada mereka. Abu Hanifah dan Abu Yusuf berkata:
ูุง ูุญู ูุฃุญุฏ ุฃู ูููู ุจููููุง ุญุชู ูุนูู ู ู ุฃูู ูููุงู
"Tidak halal bagi seseorang untuk mengatakan pendapat kami hingga ia mengetahui dari mana kami mengambilnya."[6]
Al imam Muzani rahimahullah juga berkata :
ุงุฎุชุตุฑุช ูุฐุง ู ู ุนูู ุงูุดุงูุนู، ูู ู ู ุนูู ูููู ู ุน ุฅุนูุงู ู ูููู ุนู ุชูููุฏู ูุชูููุฏ ุบูุฑู ูููุธุฑ ููู ูุฏููู ููุญุชุงุท ูููุณู
"Saya meringkas kitab ini (mukhtashar al Muzani) dari ilmu Imam Syafi'i, dan berdasarkan makna dari perkataannya, di mana ia memperingatkan agar tidak taqlid buta kepadanya atau kepada orang lain, supaya setiap orang memperhatikan agamanya dan berhati-hati untuk dirinya sendiri."[7]
Imam Ahmad juga berkata:
ูุง ุชููุฏูู، ููุง ุชููุฏ ู ุงููุง
"Jangan bertaqlid kepadaku, dan jangan pula bertaqlid kepada Malik."[8]
๐ฐ. ๐ ๐ฎ๐๐ผ๐ฟ๐ถ๐๐ฎ๐ ๐๐น๐ฎ๐บ๐ฎ ๐บ๐ฒ๐บ๐ฒ๐ฟ๐ถ๐ป๐ฐ๐ถ ๐ง๐ฎ๐พ๐น๐ถ๐ฑ
Sedangkan mayoritas ulama memerinci, untuk masalah Aqidah dan perkara ushul agama tidak boleh untuk melakukan takqlid. Dalam masalah Aqidah seperti keyakinan tentang keberadaan Allah Ta'ala, keesaan-Nya, kewajiban mengesakan-Nya dalam ibadah, dan mengetahui kebenaran Rasul-Nya ๏ทบ.
Dalam perkara ini seseorang harus menggunakan dalil dan nalar yang benar, guna merenungi dan berpikir secara mendalam yang mengarah pada pengetahuan dan ketenangan hati dalam mengimani perkara-perkara tersebut.
Diantara dalil yang digunakan oleh jumhur ulama adalah bahwa Allah Ta'ala mencela taqlid dalam masalah aqidah, sebagaimana firman-Nya: "Bahkan mereka berkata, 'Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami berada pada suatu ajaran, dan sesungguhnya kami mengikuti jejak mereka.'" (QS. Az Zukhruf: 22).
Dan ketika turun firman Allah Ta'ala:
ุฅَِّู ِูู ุฎَِْูู ุงูุณَّู ََูุงุชِ َูุงูุฃَْุฑْุถِ َูุงุฎْุชَِูุงِู ุงَّْูููู َูุงََّูููุงุฑِ ูุขََูุงุชٍ ูุฃُِููู ุงูุฃَْูุจَุงุจِ
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal" (QS. Ali Imran: 190)
Nabi ๏ทบ bersabda:
ََููุฏْ َูุฒََูุชْ ุนَََّูู ุงََّْููููุฉَ ุขَูุฉٌ. ٌَْููู ِูู َْู َูุฑَุฃََูุง ََููู ْ َูุชَََّููุฑْ َِูููุง
"Tadi malam telah diturunkan kepadaku sebuah ayat. Celaka bagi orang yang membacanya namun tidak merenungkannya." (HR. Ibnu Hibban)
Maka tidak boleh dalam masalah pokok-pokok keimanan seperti ini hanya mengikuti dogma, mengandalkan ketenangan hati, atau kata orang . Karena jika demikian, apa bedanya cara beragama yang seperti ini orang-orang Nasrani, Yahudi, dan musyrikin yang mengikuti nenek moyang mereka. Di mana hati mereka konon sudah merasa tenang terhadap apa yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Dan jelas Allah ta’ala telah mencela perilaku yang seperti itu.[9]
َูุฅِุฐَุง َِููู َُููู ُ ุงุชَّุจِุนُูุง ู َุง ุฃَูุฒََู ุงَُّููู َูุงُููุง ุจَْู َูุชَّุจِุนُ ู َุง ุฃَََْْููููุง ุนََِْููู ุขุจَุงุกََูุง ۚ ุฃَََْููู َูุงَู ุขุจَุงุคُُูู ْ َูุง َูุนَُِْูููู ุดَْูุฆًุง ََููุง َْููุชَุฏَُูู
"Dan apabila dikatakan kepada mereka, 'Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,' mereka menjawab, 'Tidak! Kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami.' Apakah mereka akan tetap mengikuti walaupun nenek moyang mereka tidak menggunakan akalnya dan tidak mendapat petunjuk?"(QS. Al Baqarah : 170)
Al Imam Khattabi rahimahullah berkata :
ููุง ูุฌูุฒ ุงูุชูููุฏ ูู ุฃุฑูุงู ุงูุฅุณูุงู ุงูุฎู ุณ ููุญููุง، ู ู ุง ุงุดุชูุฑ، ูููู ًูููุง ู ุชูุงุชุฑًุง؛ ูุฃู ุงูุนุงู ุฉ ุดุงุฑููุง ุงูุนูู ุงุก ูู ุฐูู، ููุง ูุฌู ููุชูููุฏ"
"Tidak boleh bertaqlid dalam masalah rukun Islam yang lima dan perkara yang semisalnya, yang sudah masyhur dan diriwayatkan secara mutawatir, karena orang awam turut serta bersama para ulama dalam pengetahuan tentang hal tersebut, sehingga tidak ada alasan untuk bertaqlid."[10]
๐ฑ. ๐ง๐ฎ๐ธ๐น๐ถ๐ฑ ๐๐ฎ๐ป๐ด ๐ฑ๐ถ๐ต๐ฎ๐ฟ๐ฎ๐บ๐ธ๐ฎ๐ป ๐บ๐ฒ๐ป๐๐ฟ๐๐ ๐ท๐๐บ๐ต๐๐ฟ
Demikian juga tidak dibenarkan melakukan taqlid dalam hal yang sudah diketahui secara pasti sebagai bagian dari agama (ma'lum min ad-din bi ad-darurah), karena pengetahuan tentang hal tersebut diperoleh melalui tawatur (riwayat yang mutawatir) dan ijma' (kesepakatan ulama). Contohnya adalah mengikuti rukun Islam yang lima, kewajiban shalat lima waktu, puasa Ramadhan, haji, keharaman judi, khamar, zina dan semisalnya.[11]
Taqlid seperti inilah yang dimaksudkan oleh para imam dan ulama ketika mereka mencelanya. Seperti apa yang dikatakan oleh sayidina Abdullah bin Mas’ud radhiayllahu’anhu :
ุฃูุง ูุง ูููุฏู ุฃุญุฏูู ุฏููู ุฑุฌูุง ุฅู ุขู ู ุขู ู ูุฅู ููุฑ ููุฑ ูุฅูู ุฃุณูุฉ ูู ุงูุดุฑ
"Janganlah salah seorang dari kalian menjadikan agamanya taqlid kepada seseorang. Jika orang itu beriman, dia beriman, dan jika orang itu kafir, dia ikut kafir. Karena hal itu adalah contoh dalam keburukan."[12]
๐ฒ. ๐๐ฎ๐น๐ฎ๐บ ๐บ๐ฎ๐๐ฎ๐น๐ฎ๐ต ๐ณ๐๐ฟ๐ (๐ฐ๐ฎ๐ฏ๐ฎ๐ป๐ด ๐ฎ๐ด๐ฎ๐บ๐ฎ) ๐ฏ๐ผ๐น๐ฒ๐ต ๐บ๐ฒ๐น๐ฎ๐ธ๐๐ธ๐ฎ๐ป ๐๐ฎ๐พ๐น๐ถ๐ฑ
Sedangkan dalam masalah furu’ atau cabang agama, terlebih bila itu masalah pelik yang susah untuk dipelajari oleh orang-orang awam, maka mayoritas ulama madzhab membolehkan untuk bertaqlid.[13]
Mayoritas ulama membolehkan karena Orang awam itu tetap dibebani kewajiban untuk melaksanakan hukum-hukum syariat, tetapi dalam banyak kasus, dalil-dalil yang mendasarinya mungkin tidak mereka ketahui secara pasti karena memerlukan penelaahan dan ijtihad. Sedangkan yang bisa melakukan itu tentu hanyalah kalangan orang-orang yang berilmu.
Membebankan kepada orang awam harus mengetahui dalil dari setiap masalah tersebut maka akan menyebabkan terhentinya aktivitas mereka dari kerja mencari nafkah, dan ini bisa menimbulkan kekacauan dalam tatanan Masyarakat. Sedangkan mereka tidaklah mungkin dibebani sesuatu yang diluar batas kemampuan, karenanya Allah Ta'ala juga memerintahkan mereka untuk bertanya kepada para ulama, sebagaimana firman-Nya:
َูุงุณْุฃَُููุง ุฃََْูู ุงูุฐِّْูุฑِ ุฅِْู ُْููุชُู ْ َูุง ุชَุนَْูู َُูู
"Maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui." (QS. An-Nahl: 43)
๐ณ. ๐๐ป๐ถ ๐ฝ๐ฒ๐ป๐ฑ๐ฎ๐ฝ๐ฎ๐ ๐๐๐บ๐ต๐๐ฟ ๐ฏ๐ฎ๐ต๐ธ๐ฎ๐ป ๐ฎ๐ฑ๐ฎ ๐ธ๐น๐ฎ๐ถ๐บ ๐๐ท๐บ๐ฎ’
Melakukan taqlid dalam masalah furu’ ini kebolehannya telah dinyatakan oleh banyak ulama, bahkan ada yang mengklaim sebagai Ijma’. Mari kita simak diantaranya :
Al imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata :
ููู ุชุฎุชูู ุงูุนูู ุงุก ุฃู ุงูุนุงู ุฉ ุนูููุง ุชูููุฏ ุนูู ุงุฆูุง ูุฃููู ุงูู ุฑุงุฏูู ุจููู ุงููู ุนุฒ ูุฌู ูุงุณุฃููุง ุฃูู ุงูุฐูุฑ ุฅู ููุชู ูุง ุชุนูู ูู
“Para ulama tidak berselisih bahwa orang awam harus bertaqlid kepada ulama mereka, dan mereka adalah yang dimaksud dalam firman Allah Ta'ala: "Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui" (QS. An-Nahl: 43)
Al Imam Qurthubi rahimahullah berkta :
ููุฐูู ู ู ูุง ุนูู ูู ููุง ุจุตุฑ ุจู ุนูู ู ุง ูุฏูู ุจู ูุง ุจุฏ ูู ู ู ุชูููุฏ ุนุงูู ู، ููุฐูู ูู ูุฎุชูู ุงูุนูู ุงุก ุฃู ุงูุนุงู ุฉ ูุง ูุฌูุฒ ููุง ุงููุชูุง، ูุฌูููุง ุจุงูู ุนุงูู ุงูุชู ู ููุง ูุฌูุฒ ุงูุชุญููู ูุงูุชุญุฑูู
“Demikian pula orang yang tidak memiliki ilmu dan pemahaman tentang agamanya, ia harus bertaqlid kepada ulama yang ia percayai. Para ulama juga sepakat bahwa orang awam tidak boleh memberikan fatwa, karena ketidaktahuannya terhadap makna-makna yang menjadi dasar dalam menetapkan halal dan haram.”[14]
Al imam Abu Yusuf rahimahullah berkata :
ูุฃู ุนูู ุงูุนุงู ู ุงูุงูุชุฏุงุก ุจุงููููุงุก ูุนุฏู ุงูุงูุชุฏุงุก ูู ุญูู ุฅูู ู ุนุฑูุฉ ุงูุฃุญุงุฏูุซ
“Karena orang awam wajib mengikuti para ahli fiqih, sebab ia tidak memiliki kemampuan untuk memahami hadis-hadis dengan benar.”[15]
Syaikh Muafaquddin al Hanbali rahimahullah berkata :
ูุฃู ุง ุงูุชูููุฏ ูู ุงููุฑู: ููู ุฌุงุฆุฒ ุฅุฌู ุงุนًุง
“Adapu taqlid dalam masalah furu’ maka hal tersebut dibolehkan berdasarkan ijma’.[16]
๐ด. ๐๐๐ธ๐๐บ ๐ฏ๐๐ธ๐ฎ๐ป ๐ฝ๐ฎ๐ฑ๐ฎ ๐ป๐ฎ๐บ๐ฎ, ๐๐ฎ๐ฝ๐ถ ๐ฝ๐ฎ๐ฑ๐ฎ ๐ฒ๐๐ฒ๐ป๐๐ถ๐ป๐๐ฎ
Maka hari ini ada dua kubu yang terus berseteru, antara yang mengaku tidak bertaklid atau pun bertaklid, sebaiknya tidak usah terus menerus membuang waktu dengan terus terlibat perdebatan yang tidak produktif seperti itu. Jika ada yang merasa mampu untuk berijtihad, ya tidak perlu kita suruh untuk taklid.
Sebagaimana juga jangan memaksa orang awam yag nggak ngerti apa-apa untuk berijtihad, memiih mengikuti “kebodohannya” dalam mengggali hukum dengan meninggalkan pendapat dari para ulama madzhab, itu aneh bin Ajaib.
Ada sebagian orang yang dengan ketawadhua’annya mengaku sebagai muqallid padahal ia mampu untuk berijthad, sebagaimana ada yang ngaku mujtahid atau bahasa lainnya ittiba’ padahal dia juga taklid kepada guru-gurunya. Dia menamai orang-orang yang mengikuti madzhab yang empat sebagai tukang taklid, lalu menamai dirinya dan kelompoknya yang mengikuti guru-guru masa kini sebagai muttabi’ (mengikuti dengan tahu dail). Padahal hukum itu bukan pada penamaannya, tapi pada esensinya.
Tapi ya begitulah hidup di zaman ini, selama ada yang bisa dibuat alasan untuk ribut, untuk apa damai ? Duh…
๐Wallahu a’lam.
___________________
[1] Al Muhith (1/329)
[2] Al A’lam (6/109)
[3] Raudhah an Nadzir (2/450), Syarah Muslim (2/400), Syarh ath Thufi (3/652)
[4] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (13/160)
[5] I’lam al Muwaqi’in (4/187), Irsyad al Fukhul hlm. 266
[6] Iqhadz Himam hlm. 175
[7] Mukhtashar al Muzani hlm. 75
[8] Subulussalam (1/29)
[9] Kasyf al Qina (6/306), Ulin Nuha (6/441)
[10] At Tamhid (4/398)
[11] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (13/160)
[12] Shifah ash Shafwah (1/159)
[13] Raudhah an Nadzir (2/451), Irsyad al Fukhul hal. 266
[14] Tafsir al Qurthubi (11/272)
[15] Hasyiah Ibnu Abidin (2/411)
[16] Raudhah an Nadzir (2/382)
Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq