๐ฆ๐จ๐๐ ๐ ๐ ๐๐ ๐๐ก๐จ๐ ๐๐ฆ๐ ๐๐ฆ๐ง๐ฅ๐ ; ๐๐ข๐๐๐๐๐๐ ?
๐๐ช๐บ๐ข๐ช ๐ด๐ข๐บ๐ข ๐ฎ๐ข๐ถ ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ต๐ข๐ฏ๐บ๐ข ๐ต๐ฆ๐ฏ๐ต๐ข๐ฏ๐จ ๐ฉ๐ถ๐ฌ๐ถ๐ฎ ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ช๐ฏ๐ถ๐ฎ ๐๐ด๐ช ๐ฃ๐ข๐จ๐ช ๐ด๐ถ๐ข๐ฎ๐ช.
Jawaban
Oleh Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq
Sebagaimana yang kita ketahui dalam islam, ada hukum persusuan, di mana bayi yang meminum susu seorang perempuan, ia bisa menjadi anak susuan. Yang mana hukum susuan menyebabkan hukum mahram, diantaranya yang mengharamkan pernikahan sebagaimana haramnya sebab hubungan darah.
Namun fiqih telah mengatur tidak semua aktivitas menyusu itu bisa menyebabkan terjadinya hukum susuan. Seorang bayi atau anak hanya bisa menjadi anak susuan dari ibu susuannya bila memenuhi ketentuan diantaranya :
Pertama, yang menyusu di bawah usia dua tahun.[1] Hal ini berdasarkan dalil firman Allah ta’ala :
َูุงْููุงِูุฏุงุชُ ُูุฑْุถِุนَْู ุฃَْููุงุฏََُّูู ุญََِْْูููู ูุงู َِِْููู
“๐๐ข๐ฏ ๐ฌ๐ข๐ถ๐ฎ ๐ช๐ฃ๐ถ ๐ช๐ต๐ถ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐บ๐ถ๐ด๐ถ๐ช ๐ข๐ฏ๐ข๐ฌ-๐ข๐ฏ๐ข๐ฌ๐ฏ๐บ๐ข ๐ด๐ฆ๐ญ๐ข๐ฎ๐ข ๐ฅ๐ถ๐ข ๐ต๐ข๐ฉ๐ถ๐ฏ ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ด๐ฆ๐ฎ๐ฑ๐ถ๐ณ๐ฏ๐ข.” (๐๐. ๐๐ญ ๐๐ข๐ฒ๐ข๐ณ๐ข๐ฉ : 233)
Ketika menjelaskan ayat tersebut al imam Qurthubi rahimahullah berkata :
ููุง ุฑุถุงุนุฉ ุจุนุฏ ุงูุญูููู ู ุนุชุจุฑุฉ
“Tidak ada penyusuan yang dianggap setelah lewat dua tahun.”[2]
Dan juga hadits Nabi ๏ทบyang berbunyi :
َูุง ุฑَุถَุงุนَ ุฅَّูุง ู َุง َูุชََู ุงْูุฃَู ْุนَุงุกَ ََููุงَู َูุจَْู ุงْูุญََِْْูููู
"Tidak ada penyusuan yang menyebabkan pengharaman kecuali yang membuka usus dan terjadi sebelum dua tahun." (HR. tirmidzi)
Al imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata :
ููุฐุง ููู ุฃูุซุฑ ุฃูู ุงูุนูู ุฑูู ูุญู ุฐูู ุนู ุนู ุฑ ูุนูู ูุงุจู ุนู ุฑ ูุงุจู ู ุณุนูุฏ ูุงุจู ุนุจุงุณ ูุฃุจู ูุฑูุฑุฉ ุฑุถู ุงููู ุนููู ูุฃุฒูุงุฌ ุงููุจู ุตูู ุงููู ุนููู ูุณูู ุณูู ุนุงุฆุดุฉ ุฑุถู ุงููู ุนููู
“Dan ini adalah pendapat kebanyakan ahli ilmu. Diriwayatkan ini adalah pendapat dari Umar, Ali, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah radhiyallahu’anhum, istri-istri Nabi ๏ทบ selain Aisyah radhiyallahu’anhunna.”[3]
Demikian juga disebutkan dalam kitab al Mausu’ah :
ูุฑู ุฌู ููุฑ ุงููููุงุก: ุงูู ุงูููุฉ ูุงูุดุงูุนูุฉ ูุงูุญูุงุจูุฉ ูุฃุจู ููุณู ูู ุญู ุฏ ู ู ุงูุญูููุฉ، ุฃู ู ุฏุฉ ุงูุฑุถุงุน ุงูุชู ุฅุฐุง ููุน ุงูุฑุถุงุน ูููุง ุชุนูู ุจู ุงูุชุญุฑูู ุณูุชุงู
“Mayoritas fuqaha (ahli fiqih), yaitu ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi'iyah, Hanabilah, serta Abu Yusuf dan Muhammad dari Hanafiyah, berpendapat bahwa masa penyusuan yang apabila terjadi penyusuan di dalamnya maka menyebabkan pengharaman adalah dua tahun.”[4]
Sedangkan pendapat resmi dari kalangan Hanafiyah menyatakan bahwa masa penyusuan lebih lama sedikit, yakni dua tahun setengah.[5]
Yang kedua, aktivitas menyusu tersebut mengenyangkan.
[6] Hal ini berdasarkan dalil hadits :
َูุง ุฑَุถَุงุนَ ุฅَِّูุง ู َุง َูุชََู ุงْูุฃَู ْุนَุงุกَ
"Tidak ada penyusuan kecuali yang membuka usus (mengenyangkan).” (HR. Ibnu Majah)
Al imam Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan batasan mengenyangkan bagi bayi yang menyusu berkata :
ูู ุดุฑุท ุงูุฑุถุงุน ูุง ุชุซุจุช ุญุฑู ุชู ุฅูุง ุจุฎู ุณ ุฑุถุนุงุช ูุฐุง ูู ุงูุตุญูุญ ุงูู ูุตูุต
“Dalam syarat penyusuan, pengharaman tidak berlaku kecuali dengan lima kali persusuan. Ini adalah pendapat yang benar menurut nash.”[7]
Selain dua syarat di atas, sebenarnya masih ada syarat lainnya yang ditetapkan oleh para ulama seperti : Berasal dari wanita yang dimungkinkan melahirkan, susu tersebut berasal dari susu wanita yang masih hidup dan lainnya.[8]
Sehingga dari apa yang ditetapkan dari syarat-syarat di atas, seorang suami ketika bercumbu dengan istrinya lalu tertelan sebagian asinya, maka tidak lah berarti si suami menjadi anak susuan bagi istrinya.
Jika kita buka kitab hadits, ternyata apa yang ditanyakan ini pernah terjadi dan telah diberikan fatwa tentang hukumnya. Disebutkan dalam sunan Baihaqi, dari salah satu anaknya Abdullah bin Mas’ud ia berkata :
ุฃََّู ุฑَุฌُูุง َูุงَู ู َุนَُู ุงู ْุฑَุฃَุชُُู ََُููู ِูู ุณََูุฑٍ َََูููุฏَุชْ َูุฌَุนََู ุงูุตَّุจُِّู ูุง َูู ُุตُّ َูุฃَุฎَุฐَ ุฒَْูุฌَُูุง َูู ُุตُّ َูุจَََููุง ََููู ُุฌُُّู ุญَุชَّู َูุฌَุฏَ ุทَุนْู َ َูุจََِููุง ِูู ุญَِِْููู َูุฃَุชَู ุฃَุจَุง ู ُูุณَู َูุฐََูุฑَ ุฐََِูู َُูู ََููุงَู ” ุญُุฑِّู َุชْ ุนَََْููู ุงู ْุฑَุฃَุชَُู َูุฃَุชَู ุงุจَْู ู َุณْุนُูุฏٍ ََููุงَู: ุฃَْูุชَ ุงَّูุฐِู ุชُْูุชِู َูุฐَุง ุจَِูุฐَุง ََููุฐَุง ََููุฏْ َูุงَู ุฑَุณُُูู ุงِููู ุตََّูู ุงُููู ุนََِْููู َูุณََّูู َ: ” ูุงَ ุฑَุถَุงุนَ ุฅِูุงَّ ู َุง ุดَุฏَّ ุงْูุนَุธْู َ َูุฃَْูุจَุชَ ุงَّููุญْู َ “؟
“Ada seorang suami membawa istrinya dalam sebuah perjalanan, dan istrinya melahirkan. Namun si bayi itu tidak mau menyusu, maka sang suami menyedot susu istrinya dan memberikannya untuk si bayi, hingga ia mendapatkan ada rasa susu di tenggorokannya.
Dia lalu datang dan bertanya kepada Abu Musa al Asy’ari, maka Abu Musa mengatakan, “Istrimu menjadi haram atas dirimu.” Kemudian sang suami datang kepada Abdullah bin Mas’ud, dan Abdullah berkata kepada Abu Musa, “Engkau yang berfatwa demikian, sedangkan Rasulullah ๏ทบ telah bersabda, ‘Persusuan tidak berpengaruh kecuali jika menguatkan tulang dan menumbuhkan daging.”
Demikian, wallahu a’lam.
๐________
[1] Fiqh Ala Madzhab al Arba’ah (1/626)
[2] Tafsir al Qurthubi (3/162)
[3] Al Mughni (11/319)
[4] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (2/11)
[5] Ibnu Abidin (2/402)
[6] Fiqh Ala Madzhab al Arba’ah (1/626)
[7] Raudhah ath Thalibin (9/7)
[8] Tahrir al Kalam hal. 341, Hasyiah al Qalyubi (4/64)
Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq