𝗦𝗘𝗟𝗘𝗞𝗧𝗜𝗙 𝗗𝗔𝗟𝗔𝗠 𝗠𝗘𝗡𝗚𝗔𝗠𝗕𝗜𝗟 𝗜𝗟𝗠𝗨 𝗙𝗜𝗤𝗜𝗛
Oleh Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq
Di antara bentuk kecerobohan beragama yang sering terlihat di masyarakat saat ini adalah kebiasaan mengambil atau menyalin informasi mengenai hukum agama tanpa memperhatikan akurasi dan konteksnya. Ada juga yang merasa cukup percaya diri karena memiliki banyak pengikut atau kemampuan retorika yang baik, lalu langsung berperan sebagai motivator sekaligus mufti.
Padahal, para ulama sepakat bahwa pembahasan fiqih seharusnya disampaikan oleh orang-orang yang berkompeten dalam bidangnya, atau setidaknya mereka yang menukil pendapat para ahli dengan jujur, baik secara lisan maupun tulisan. Begitu pula saat membagikan tulisan yang berkaitan dengan hukum, sebaiknya dilakukan berdasarkan rekomendasi dari pihak yang memahami fiqih dengan baik.
Diantara sebab dari kerusakan ilmu agama hari ini, karena terlalu banyak orang yang kepedean merasa sudah layak bicara hukum halal dan haram, padahal tidak pernah belajar secara benar jalur-jalur fiqih yang seharusnya. Yang lebih parahnya lagi bahkan kemudian ada yang menyalah-nyalahkan para ulama sekelas para imam madzhab.
Padahal urusan fiqih itu bukan hanya karena punya paket data dan rajin browsing internet, tapi terkait banyak hal yang sangat rumit termasuk apakah suatu pendapat yang dishare itu benar atau tidak, manfaat atau mudharat.
Berikut ini adalah nasehat para ulama kaum muslimin agar seseorang berhati-hati dalam mengambil ilmu fiqih, karena ilmu yang berkaitan dengan hukum halal dan haram, boleh dan tidak boleh, itu berbeda dengan ilmu lainnya.
Sayidina Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata :
لا يزال الناس بخير ما أخذوا العلم عن أكابرهم وعن علمائهم وأمنائهم، فإذا أخذوه من أصاغرهم وشرارهم هلكوا
"Selama manusia mengambil ilmu dari para tokoh dan ulama, maka mereka akan dalam keadaan baik. Namun, jika mereka telah mengambil ilmu dari orang-orang kecil dan jahat, maka mereka akan binasa."[1]
Al imam Ibnu Sirin rahimahullah berkata :
إن هذا العلم دين فانظروا عن من تأخذونه
“Sesungguhnya ilmu ini adalah bagian dari agama, maka perhatikan dengan baik dari mana engkau mengambilnya.”[2]
Berkata al imam Sufyan ats Tsauri rahimahullah :
لا يؤخذ الحلال والحرام إلا عن الرؤساء المشهورين بالعلم الذين يعرفون الزيادة والنقصان، ولا بأس بما سوى ذلك من المشايخ
"Hukum halal dan haram tidak boleh diambil kecuali dari para ulama yang terkemuka dan dikenal luas akan ilmunya, yang ia mengetahui tentang perkara yang berlebih-lebihan dan juga perkara yang kurang (dalam agama). Sedangkan untuk ilmu selain itu, tidak mengapa diambil dari setiap guru.”[3]
Al imam Musa bin Sulaiman rahimahullah berkata :
كانوا يقولون لا تأخذوا العلم عن الصحفيين.
“Dahulu orang-orang (shalih) mengingatkan : Jangan kalian mengambil ilmu dari lembaran-lembaran ( belajar tanpa guru).”[4]
Al imam Abdurrahman bin Yazid rahimahullah berkata :
لا يؤخذ العلم إلا عمن شهد له بطلب العلم
"Ilmu tidak diambil kecuali dari orang yang telah disaksikan dahulu pernah mencari ilmu."[5]
Wallahu a’lam.
______________
[1] Al Adab Asy Syar’iyyah (2/148)
[2] Tabaqat al Kubra (7/144)
[3] Al Adab Asy Syar’iyyah (2/148)
[4] Difa’ an as Sunnah (1/33)
[5] Al Adab Asy Syar’iyyah (2/147)
Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq