Memusuhi Manhaj Salaf?
Tidak ada muslim sejati yang membenci manhaj Salaf. Bagaimana mungkin, sementara kita semua tahu bahwa untuk memahami agama Islam dengan baik dan benar, hanya bisa dilakukan dengan mengikuti manhaj (metodologi) mereka. Salaf yang dimaksud adalah ; Nabi dan tiga kurun setelahnya, yaitu ; Sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in. Membenci manhaj Salaf, secara tidak langsung membeci orang-orang yang menjadi ikon (pemeran utama) di dalamnya.
Fakta yang ada adalah kritik kepada pendapat atau pemahaman tertentu dari (oknum) yang menisbatkan diri kepada manhaj Salaf oleh pihak lain yang disinyalir keliru atau tidak sesuai dengan pemahaman terhadap dalil-dalil yang ada. Tradisi seperti ini merupakan warisan para ulama kita sejak zaman Salaf dan kurun setelahnya. Asal disampaikan dengan ilmiah dan beradab, tanpa ada upaya untuk mendegradasi pihak yang dikritik, maka sah-sah saja. Bahkan termasuk hal baik. Dengan demikian, ilmu akan berkembang.
Sejujurnya harus kita akui, banyak orang yang akhirnya merevisi pendapat atau cara pandangnya terhadap sesuatu, akibat terlibat diskusi semacam ini baik secara langsung atau tidak langsung. Banyak hal yang dulu diingkari demikian keras karena dianggap sebagai sesuatu yang haram atau bidah, bahkan dalam sebagian perkara dianggap sebagai parameter keahlussunahan seseorang, tapi kini diterima dan diamalkan.
Semua umat Islam dalam proses mengikuti manhaj Salaf. Namanya juga baru berproses, tentu masih belum sempurna. Masih ada kurang di sana-sini. Sejujurnya, belum ada dari kita yang mampu merepresentasikan manhaj Salaf secara kafah. Kritik dan diskusi ilmiah merupakan realisasi dari perintah amar ma'ruf dan nahi mungkar serta nasihat kepada sesama muslim. Jadi, tidak ada kelaziman bahwa mengkritik berarti memusuhi manhaj Salaf. Biasa saja, jangan suka berlebihan dalam menyikapi sesuatu.
Sering kali kita ini egois, kalau mengkritik pihak lain diatasnamakan "nasihat dan rasa cinta", sedang jika ada pihak lain mengkritik kita, dituduh dengan "kebencian dan permusuhan" kepada manhaj Salaf. Ini tidak fair namanya. Untuk menghadapi hal seperti ini, dibutuhkan kedewasaan dan sikap hikmah, bukan emosi. Semoga bermanfaat.
(Abdullah Al Jirani)
komentar Adito Budiono :
Kalau saya amati (dengan segala keterbatasan saya mendapatkan informasi), permasalahannya terletak pada sebagian (jika tidak ingin dikatakan rata2) asatidzahnya dalam memahami dan menyampaikan apa yang mereka pahami kepada para awwamnya, yakni:
1. Tidak sulit kita temui mereka dalam menjelaskan permasalahan terkait fikih itu seolah oleh "berijtihad"/"berfatwa"/"berpendapat sendiri" dan tidak cukup disitu, bahkan "dibumbui" kalimat seakan akan merepresentasikan Islam/sunnah/salaf itu sendiri, sehingga yang berbeda dianggap menyelisihi istilah2 tsb. Dari sini kita ketahui juga mereka relatif mudah mentahzhir seperti yang kita ketahui bersama. Ini yang pertama
2. Yang kedua, sering juga terjadi kasus dan ini sering juga dibantah oleh Asatidzah Asy Ariyyah, yaitu mengenai kejujuran dalam menyampaikan ibarat Ulama' secara utuh, sehingga menyalahi amanah ilmiah dan juga menyampaikan pendapat suatu madzhab tapi tidak memahami makna atau maksud sebenarnya dari suatu pendapat dari madzhab tertentu yang disampaikannya
Jadi yang paling bertanggung jawab itu, asatidzahnya, sedangkan para Awwam hanya terpengaruh saja sehingga ketika di kritik mereka bisa mendebat atau bisa mengelak dengan alasan menghindari debat, atau ketika mendebat, bahkan memberikan stigma negatif. Dari pengaruh ini juga dengan pola didik seperti itu, mereka juga seringkali menyebar meme di medsos yang dibalut sedemikian rupa, padahal isinya kontrofersial bahkan menimbulkan fitnah perpecahan
CMIIW Ust Abdullah Al Jirani 🙏
Sumber FB Ustadz : Abdullah Al Jirani