Makna Dharuri dan Tidak Dharuri

Makna Dharuri dan Tidak Dharuri

Makna Dharuri dan Tidak Dharuri

Seringkali orang jatuh pada kesimpulan fatal hanya karena salah terjemah pada kata yang sederhana. Misalnya bila kata dharuri diterjemah sebagai tidak lagi dibutuhkan, maka kesimpulannya akan jauh menyimpang.

Dharuri (ضروري) artinya mencapai kondisi darurat atau sangat penting hingga tidak bisa ditawar lagi. Contohnya makan dan minum, keduanya dharuri bagi tubuh sebab tanpa keduanya kita bisa mati. Terjemah lain bagi kata dharuri adalah kebutuhan primer. 

Dengan demikian, tidak dharuri artinya bukan kebutuhan primer. Misalnya membeli perabotan rumah tangga dan alat transportasi. Tanpa perabotan dan alat transportasi, kita tetap bisa hidup tapi sulit. Meski tidak berhubungan dengan nyawa, tapi ini merupakan hal yang penting. Kita menyebutnya sebagai kebutuhan sekunder. 

Nah, begitulah maksudnya ketika Ibnu Khaldun, seorang sosiolog yang sekaligus seorang mutakallim ternama, berkata bahwa ilmu kalam di masanya sudah tidak dharuri lagi sebab ahli bid'ah sudah tiada. Artinya di masanya aliran sesat sudah habis tinggal sejarah sehingga ilmu kalam bukan lagi kebutuhan primer yang fardhu ain dipelajari setiap orang tapi turun menjadi fardhu kifayah yang cukup dipelajari beberapa orang saja. Sebagai fardhu kifayah tentu statusnya masih sangat penting. Bila konteksnya kita balik, berarti sekarang di zaman kita ini di mana ahli bid'ah (aliran sesat) sangat menjamur, maka menurut Ibnu Khaldun, ilmu kalam justru dharuri kembali. 

Bila hal sederhana seperti makna dharuri dan non-dharuri--yang sejatinya pelajaran anak SD--ini disalahpahami, maka akan muncul kesimpulan yang aneh semisal bahwa ilmu kalam sudah tidak lagi dibutuhkan. Ini kesimpulan yang sama dengan orang yang berkata bahwa perabot rumah tangga dan alat transportasi tidak lagi dibutuhkan. Sebab kesimpulan ini merupakan dasar argumen bagi pernyataan berikutnya, maka ketika dasar argumennya salah maka tentu pernyataan selanjutnya juga salah.

Sesederhana itu pelajaran anak SD yang kita bahas kali ini.  Semoga bermanfaat 

Sumber FB Ustadz :  Abdul Wahab Ahmad

Kajian terkait ilmu kalam :

Makna Dharuri dan Tidak Dharuri

Saya perhatikan Prof Mun'im Sirry dalam status ini ingin merendahkan ilmu kalam melalui Ibnu Khaldun, apakah benar Ibnu Khaldun seperti dugaan Prof? 

Benar memang Ibnu Khaldun mengatakan bahwa ilmu kalam dimasanya tidak lagi dharuri untuk dipelajari, karena kaum heretil dan ahli bid'ah telah lenyap. Melalui karya dan tulisan para ahli sunnah telah memberi proteksi menghadapi mereka.

Ibnu Khaldun sebagai ahli sosiologi melihat fitnah ahli bid'ah kala itu sudah punah, maka ilmu kalam tidak wajib untuk dipelajari.

Adapun zaman sekarang, syubhatnya sangat banyak seperti Al-Quran berpolemik, merendahkan Mu'jizat, dan syubhat lain yang antaranya sering prof tuangkan, maka ilmu kalam dharuri untuk dipelajari zaman ini, andai Ibnu Khaldun masih hidup dan melihat fenomena pemikiran sarjana muslim sekarang sungguh beliau akan mewajibkan mempelajari ilmu kalam. 

Perlu dicermati Ibnu Khaldun memakai kalimat "gairu dharuri", bukan "gairu muhim". Jauh sekali perbedaan dua diksi tersebut. Ibnu Khaldun mengatakan tidak dharuri alias tidak wajib, ini terbenar kepada sunnah atau bagus untuk di pelajari, kenapa saya menafsirkan begini ? karena Ibnu Khaldun menegaskan setelah itu "dalil-dalil akal dibutuhkan saat membela akidah". Bagaimana membela akidah dengan dalil akal kalau bukan sudah ada persiapan terlebih dahulu, jadi belajar ilmu kalam dalam arti persiapan sangat lah penting.

Kemudian yang dikritik oleh Ibnu Khaldun bukan ilmu kalamnya tapi corak dan gaya penulisan yang dilakukan oleh sebagian mutakalimin seperti yang dilakukan oleh Imam Al-Baidhawi. Kritikan seperti ini bukan hanya Ibnu Khaldun, juga disampaikan oleh Imam Sanusi dalam bukunya syarah Ummul Barahain, dan Ibnu subki dalam bukunya Mu'id An-Ni'am. Para ulama ini melihat ilmu kalam yang ditulis oleh mutakaddimin lebih dekat dengan ruh syariat, dan mereka tidak menafikan ada faedah pada ilmu kalam yang bercorak filsafat.

Setelah mengurai ilmu kalam mutakaddimin dan mutaakhirin, Ibnu Khaldun menyimpulkan bahwa fungsi ilmu kalam adalah menjaga akidah dari ahli bid'ah.

Mari prof dalam membaca wacana ulama klasik, pelajari sosial mereka, lihat kenapa mereka mecampuraduk kalam dengan filsafat, bukankah Prof sering mengajak mereaktualisasi ilmu? Pakailah kacamata ini saat membaca turast.

Terakhir, Prof berpandangan bahwa ilmu kalam sudah usang, sekarang zamannya membahas ilmu kalam dari sisi kemanusian, apakah beliau lupa bahwa tuhan dulu dengan sekarang masih sama? Tuhan nabi adam dengan tuhan manusia abad ini hingga seterusnya sama, Nabi Muhammad di masa salaf dengan sekarang sama, Al-qur'an dan hadist masih sama seperti dulu dan akan selalu begini, jika ini tidak ada perubahan, maka ilmu yang membahasnya juga tidak berubah.

Ilmu kalam singkatnya adalah ilmu yang membahas ketuhanan dan sifat-sifatnya, nabi dan sifat-sifatnya, dan tentang kejadian-kejadian setelah hari akhirat. Maka selama yang dibahas itu ada maka ilmu yang membahasnya tetap ada.

Adapun uslub ilmu kalam, tema yang harus ditambah dalam buku ilmu kalam, jika ini yang dimaksud tajdid, saya sepakat.

Sumber FB Ustadz : Muhammad Zulfa

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Makna Dharuri dan Tidak Dharuri". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait