Ilmu, Kewibawaan Dan Tuduhan Picik Pada al-Ghazali

Ilmu, Kewibawaan Dan Tuduhan Picik Pada al-Ghazali

Ilmu, Kewibawaan Dan Tuduhan Picik Pada al-Ghazali

Sudah maklum bahwa Allah meninggikan derajat orang yang berilmu di atas orang lain. Semakin seseorang menguasai suatu ilmu, maka dia akan semakin berwibawa di depan manusia lain. Ayat dan hadis tentang ini sangat populer, bahkan kita tidak perlu dalil untuk mengetahuinya sebab kita dapat melihat faktanya selalu demikian. Untuk itulah lembaga pendidikan di seantero dunia didirikan, yakni untuk mengangkat derajat para pelajar dari sekedar orang biasa menjadi orang yang terpandang dan sukses.

Imam Ghazali adalah seorang jenius Islam yang dulunya  punya visi untuk mengangkat wibawa kaum muslimin sehingga ia mengajar berbagai ilmu yang berkembang saat itu semisal ilmu fikih, ilmu kalam dan kelemahan-kelemahan para filsuf. Dia berkata tentang masa lalunya sebagai berikut:

وكنت في ذلك الزمان أنشر العلم الذي به يكتسب الجاه، وأدعو إليه بقولي وعملي، وكان ذلك قصدي ونيتي.

"Dulu aku di masa itu menyebarkan ilmu yang dengannya seseorang dapat meraih kewibawaan (al-jah). Aku mengendorse ilmu tersebut dengan perkataan dan perbuatanku. Mengajar ilmu tersebut menjadi motif dan niatku." 

Imam Ghazali mengatakan hal itu dalam konteks ketika dirinya merenungkan segalanya kembali dalam masa pengasingan diri (uzlah) yang berlangsung bertahun-tahun. Karena pertimbangan yang panjang, ia saat itu memilih untuk berhenti mengajar untuk mengasingkan diri guna memperbaiki kualitas dirinya yang ia anggap belum mampu memperbaiki kerusakan masyarakat. Tapi kemudian ia sampai pada suatu fase di mana ia merasa bahwa alasan untuk terus mengasingkan diri sudah tidak relevan lagi. Ia bercerita tentang pertimbangannya hatinya di masa akhir uzlah tersebut sebagai berikut:

فخطر لي أن سبب الرخصة قد ضعف، فلا ينبغي أن يكون باعثك على ملازمة العزلة الكسل والاستراحة، وطلب عز النفس وصونها عن أذى الخلق، ولم ترخص لنفسك عسر معاناة الخلق

"Maka terbesit di dalam hatiku bahwa alasan itu sudah melemah hingga tidak layak menjadikan motivasimu untuk tetap menyendiri sebagai kemalasan, istirahat, mencari kemuliaan diri dan menjaga diri dari keburukan masyarakat, sedangkan dirimu tidak beralasan untuk menempuh kesulitan untuk membantu masyarakat." 

Itulah yang kemudian membuat al-Ghazali berubah sekali lagi dari berhenti mengajar untuk kepentingan uzlah menjadi kembali mengajar lagi setelah sebelumnya ragu. Ia sempat ragu sebab kembali ke langkah lama (mengajar kembali) sama saja dengan kembali ke posisi lama sebelum uzlah yang menurutnya tidak ideal. Namun kemudian ia punya tekad baru yang membuatnya kembalinya ke dunia pendidikan berbeda dari sebelumnya sebagaimana di atas. Ia berkata:


 أما الآن فأدعو إلى العلم الذي به يترك الجاه، ويعرف به سقوط رتبة الجاه. هذا هو الآن نيتي وقصدي وأمنيتي، يعلم الله ذلك مني وأنا أبغي أن أصلح نفسي وغيري

"Adapun sekarang, maka aku mengendorse ilmu yang dengannya seseorang meninggalkan kewibawaan dan dengannya seseorang bisa tahu jatuhnya derajat kewibawaan dirinya. Inilah yang sekarang menjadi tujuan dan goalku. Allah mengetahui hal itu dariku dan aku berusaha memperbaiki diriku sendiri dan orang lain". 

Jadi, pada kematangannya setelah uzlah sekian lama, Imam Ghazali bertekad untuk tidak lagi fokus mengajarkan ilmu yang menjadi jalan bagi seseorang untuk meraih kewibawaan dan derajat yang tinggi di dunia, justru ia hendak mengajarkan sebuah ilmu lain yang dengannya seseorang bisa meruntuhkan kewibawaan yang telah ia bangun sekian lama agar ia tidak menjadi pribadi yang congkak dan berakhir celaka. Ilmu baru ini adalah ilmu yang ditekuni di akhir hayat beliau dan membuat namanya harum sepanjang masa dengan karyanya yang berjudul Ihya' Ulumiddin. Ya, ilmu tersebut adalah ilmu tasawuf. Di dalamnya, al-Ghazali kemudian menjelaskan tentang al-muhlikat (hal-hal yang membuat seseorang celaka), yang di antaranya adalah mengejar ilmu demi meraih kewibawaan (al-jah) di depan makhluk. 

Dalam Ihya' yang merupakan misi barunya, al-Ghazali menyinggung bahwa Ihya' dikarang sebagai pedoman untuk para ulama terkemuka (fuhul al-Ulama'). Ia sama sekali bukan diperuntukkan bagi orang awam, tapi untuk orang-orang besar yang notabene memang sudah mempunyai derajat dan level sosial yang tinggi di masyarakat. Dalam banyak bagiannya, Sang Imam menekankan pentingnya keikhlasan dalam mencari dan menyebarkan ilmu, pentingnya merendah, bersikap zuhud dan hidup sederhana, bersikap curiga pada diri sendiri, larangan mencari pengikut dan pangkat, pentingnya menata dan membersihkan hati dan seterusnya. Sang Imam mengakui bahwa ilmu yang tinggi akan menjadikan seseorang meraih posisi yang prestis, tapi ia juga mengingatkan para ulama bahwa larut dalam prestis tersebut justru bisa membuat ahli ilmu jatuh dan terhijab dari wushul kepada Allah. Memberikan pencerahan tentang hal-hal semacam ini merupakan misi Sang Imam setelah sebelumnya melihat banyak ulama lebih fokus untuk menjadi "intelektual murni" yang cenderung "kering" dari sentuhan tasawuf.

Sang Imam menceritakan perubahan orientasi pengajaran ilmu itu  dalam risalahnya yang berjudul al-Munqidz Min al-Dhalal. Kitab ini dikarang di fase akhir yang menjadi semacam otobiografi perjalanan akademis dan spiritualnya. Namun kitab ini bukan kitabnya yang terakhir. 

Sayangnya, ada saja pihak yang malah salah membaca perubahan orientasi pengajaran ilmu tersebut. Bukannya memahami secara utuh, ia malah menuduh al-Ghazali sebelumnya pergi mengajar sebab ingin jabatan dan hidup mewah dan menurutnya itu diakui oleh al-Ghazali sendiri. Ketika saya desak dia berulang kali untuk menukil teks pernyataan Sang Imam yang membuatnya menyimpulkan seperti itu, ternyata kisah perubahan orientasi pengajaran ilmu di atas dari al-Munqidz yang ia artikan sebagai pengakuan bahwa sebelumnya Sang Imam ingin jabatan dan hidup mewah. Kalau bukan kepicikan, maka kesimpulan semacam ini namanya kebodohan. Dan dari tangkapan layar yang ia bagikan, terlihat jelas bahwa ia tidak membaca risalah al-Munqidz Min al-Dhalal secara langsung tapi dari buku sekunder yang mengutip sepotong-sepotong karya Sang Imam. Sudah mengutip dari sumber sekunder yang entah menyimpulkan apa, salah menerjemah pula. La hawla wala quwwata illa billah.  

Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Ilmu, Kewibawaan Dan Tuduhan Picik Pada al-Ghazali". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait