Bila seseorang beragama di level Abu Jahal; level orang yang cuma taklid buta pada dogma alih-alih beragama karena pertimbangan rasional yang kokoh, maka ketika menemukan hal yang tidak cocok dengan pikirannya, seketika itu juga dia akan ingkar. Ini wajar sebab memang kepercayaannya tidak punya landasan apa pun kecuali ikut-ikutan.
Lihat misalnya Alma'arif Arif ini, karena islamnya masih taklid, maka ketika dia melihat doktrin empirisme barat sebagai hal yang lebih menarik baginya, maka dia pun akhirnya taklid pada empirisme tersebut hingga secara terang-terangan tidak mempercayai adanya sihir. Padahal keberadaan sihir dikabarkan oleh al-Qur'an sendiri. Secara implisit, al-Qur'an mengatakan bahwa sihir bukan sugesti sebab sugesti tidak akan sampai membuat suami istri bercerai (al-Baqarah: 106), para penonton duel Nabi Musa dan para penyihir juga tidak sedang disugesti sebab sugesti tidak akan bisa membuat tali dan tongkat terlihat bergerak dan menyerang bagaikan ular dalam pandangan banyak orang (al-Thaha: 66). Dan kalau sihir cuma sugesti, tidak ada gunanya al-Qur'an mengajari untuk meminta perlindungan dari penyihir yang meniup buhul-buhulnya (al-Falaq: 4). Apalagi kalau kita melihat hadis-hadis, jelas sekali bahwa sihir bukanlah sekedar sugesti sebab sugesti tidak bisa membuat orang sakit parah.
Bila sudah tidak percaya sebagian dari pernyataan sharih al-Qur'an dan hadis, maka dia sudah kehabisan dasar untuk mempercayai Allah dan Rasulullah lagi. Bila konsisten, kepercayaannya pada kebangkitan setelah mati, keberadaan surga dan neraka, bahkan kepada Islam secara umum patut diragukan sebab konten al-Qur'an dan hadis sudah ditolak mentah-mentah.
Masalah yang sama tidak hanya ada pada cara pandangnya terhadap isi al-Qur'an. Pada caranya membaca sejarah tokoh Islam juga taklid pada non-muslim. Akhirnya Imam al-Ghazali sang Sufi yang terkenal Zuhud itu disebut mengajar di Nidhamiyah sebab pengen jabatan dan hidup mewah. Tentu tidak akan ada referensi yang dapat mendukung pernyataan ini.
Namun bisa saja masalahnya tidak sekompleks ini hingga sebesar itu dampaknya. Bisa saja semua ini hanya karena orangnya masih tidak tahu. Tentu bukan pak Bahlil saja kan yang meski bergelar doktor tapi dipertanyakan kualitasnya.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad