Apakah Wahhabi Benar-benar Mengikuti Salaf?
Wahhabi mengklaim bahwa mereka mengikuti salafus saleh, dan mereka biasanya berkata: "Al-Qur'an dan Sunnah dengan pemahaman salaf umat, dan meyakini akidah salaf, dan dengan manhaj salaf..." dll.
Saya menyatakan bahwa Wahhabi hanya mengikuti hawa nafsu mereka, dan mengikuti apa yang mereka anggap benar menurut ukuran akal mereka.
Apa yang mereka anggap sebagai Aqidah menurut ukuran akal mereka itulah yang benar, dan apa yang mereka anggap sebagai kesyirikan menurut ukuran akal mereka adalah syirik, meskipun jika anda datang kepada mereka dengan seribu dalil dari para sahabat, tabi'in, atau imam yang mujtahid, mereka tidak akan menerimanya.
Berikut beberapa contoh yang menunjukkan kebenaran dari apa yang saya katakan:
قال ابن عثيمين: وبناء على هذه العقيدة؛ لا نعارض قول رسول الله ﷺ بقول أحد من الناس كائناً من كان حتى لو جاءنا قول لأبي بكر، وهو خير الأمة، وقول لرسول الله ، أخذنا يقول رسول الله ﷺ
Ibn Utsaimin seorang da'i wahhabi berkata: Berdasarkan atas akidah ini; kami tidak menentang perkataan Rasulullah ﷺ dengan perkataan siapa pun dari manusia, betapapun tingginya kedudukan mereka, bahkan jika sampai kepada kami perkataan (sayyidina) Abu Bakar, yang merupakan orang terbaik di antara umat ini, dan perkataan dari Rasulullah, maka kami akan mengambil perkataan Rasulullah ﷺ.
[Majmu' Fatawa wa Rasail 8/645]
Ini adalah sebuah kesombongan yang tidak seharusnya diucapkan oleh Ibn Utsaimin. Bagaimana mungkin Abu Bakar radhiyallahu 'anhu menentang Rasulullah ﷺ dalam hal akidah, bahkan jika itu hanya untuk memberikan contoh, itu adalah tindakan yang tidak beradab terhadap para sahabat yang mulia.
Kemudian, apa yang dikatakan oleh Ibn Utsaimin ini adalah menghidupkan kembali manhaj (metode) Khawarij, yang meninggalkan perkataan dan pemahaman para sahabat dengan alasan "Allah berfirman" dan "Rasulullah ﷺ bersabda"!
Jika Anda merenungkan tindakan para Khawarij, Anda akan menemukan bahwa itu sepenuhnya sesuai dengan apa yang dikatakan Ibn Utsaimin, mereka berpegang pada teks langsung sebagaimana pemahaman mereka sendiri.
Ketika kaum Khawarij menerapkan faham mereka ini, dan menolak perkataan dan perbuatan para sahabat dengan dalih Al-Qur'an dan Sunnah, mereka menganggap para sahabat kafir dan salah, serta terjerumus ke dalam kesesatan dan penyimpangan.
Dan ini sama dengan apa yang dilakukan oleh Wahhabi ketika mereka menganggap para sahabat salah, mereka menggambarkan tindakan para sahabat itu sebagai kekufuran dan bid'ah juga.
Jika Wahhabi memahami sesuatu dari Al-Qur'an atau Sunnah yang bertentangan dengan apa yang ditetapkan oleh Abu Bakar dan Umar radhiyallahu 'anhuma, Wahhabi akan lebih mengutamakan pemahaman mereka terhadap teks Al-Qur'an atau Sunnah daripada perkataan Abu Bakar dan Umar radhiyallahu 'anhuma!. Ini merupakan metode yang jelas yang ada dalam pemikiran Khawarij baik dahulu maupun sekarang.
Adapun Ahlus Sunnah, mereka lebih mengutamakan pemahaman para sahabat terhadap apa yang muncul dari teks Al-Qur'an atau Sunnah, karena mereka mengakui bahwa para sahabat radhiyallahu 'anhum lebih mengetahui tentang teks Al-Qur'an atau Sunnah dan lebih berpengalaman dengannya dibandingkan yang lain.
Dengan alasan seperti yang telah disebutkan diatas, maka Ibn Utsaimin dan pengikutnya mengingkari bahwa sunnah tarawih dua puluh rakaat, yang disepakati oleh para sahabat mulia pada masa kekhalifahan Sayyidina Umar radhiyallahu 'anhu, dan tidak dapat dimengerti bagaimana mereka bisa mengingkari sesuatu yang disepakati oleh semua sahabat dengan alasan bahwa itu bertentangan dengan sunnah!
Apakah Ibn Utsaimin melihat dirinya lebih peduli dan lebih berusaha menjaga sunnah daripada para sahabat Nabi kita ﷺ?!
Anda dapat merenungkan perkataan Ibn Utsaimin berikut ini hingga anda memahami kebenaran apa yang saya katakan, dia berkata:
ثم إن فرض ثبوت تعيينها بثلاث وعشرين ركعة عن عمر رضي الله عنه لم يكن ذلك حجة على فعل رسول الله ، ولا معارضًا له لدلالة الكتاب والسنة وأقوال الصحابة، والإجماع على أنه لا يُعدل بسنة رسول الله ﷺ سنة غيره كائناً من كان، ولا تعارض بها أبدا
"Kemudian, anggapan bahwa telah valid ditetapkannya (sunnah tarawih) dengan dua puluh tiga raka'at oleh Umar radhiyallahu 'anhu, itu tidak menjadi hujjah untuk menentang tindakan Rasulullah, dan tidak ada penentangan terhadapnya berdasarkan petunjuk Al-Qur'an dan Sunnah, perkataan para Sahabat, dan konsensus bahwa Sunnah Rasulullah ﷺ tidak dapat digantikan oleh Sunnah siapa pun, betapapun tingginya kedudukan mereka, dan tidak boleh menentang sunnah Rasulullah sama sekali".
[Majmu' Fatawa wa Rasail 14/253]
Perkataan Ibn Utsaimin ini adalah kesalahpahaman dan tadlis yang jelas. Sayyidina Umar radhiyallahu 'anhu yang memulainya, dan inovasinya tersebut sesuai dengan teks eksplisit dari syariat yang mulia. Kita dituntut untuk berpegang pada sunnah khulafa' al-Rasyidin, lalu bagaimana ini bisa digambarkan sebagai penyimpangan dari sunnah, padahal hal itu terjadi dengan kesepakatan para sahabat, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang pernah menolak hal itu.
Kemudian mengapa Ibn Utsaimin menggambarkan ini sebagai tindakan Sayyidina Umar sendiri, padahal itu terjadi dengan kesepakatan para sahabat tanpa ada yang menolak atau mengingkarinya, bukankah kesepakatan dan persetujuan mereka terhadap apa yang dilakukan Umar radhiyallahu 'anhu adalah hujjah? Atau apakah konsensus para sahabat tidak bisa dijadikan hujjah karena bertentangan dengan teks menurut pemahaman Wahhabi?!
Sebagian besar Wahabi mengklaim bahwa shalat tarawih terdiri dari dua puluh rakaat bertentangan dengan sunnah, padahal tiga masjid yang menjadi tujuan perjalanan, dilakukan shalat tarawih dua puluh rakaat hingga zaman kita; seperti masjid haramain dan Masjid Al-Aqsa yang diberkahi, serta masjid-masjid besar lainnya.
Ini adalah contoh yang jelas dalam pemikiran Ibn Utsaimin, yang menunjukkan kepada kita cara pemahaman Wahhabi yang mengharuskan meninggalkan pendapat para sahabat dan pengikut mereka dari empat imam demi pemahaman Wahhabi terhadap teks Al-Qur'an atau teks Nabi.
Berikut ini adalah contoh lain tentang mufti besar mereka, Abdul Aziz bin Baz, dalam masalah perluasan Masjid Nabawi.
Ketika perluasan Masjid Nabawi selesai pada masa pemerintahan Al-Walid bin Abdul Malik (98 H) dan makam Abu Bakar dan Umar radhiyallahu 'anhuma berada di samping Nabi Muhammad ﷺ, hal itu dilakukan di hadapan para sahabat dan seluruh tabi'in, dan umat sepakat untuk menerimanya, serta tidak ada larangan dalam hal itu. Namun, Ibn Baz tidak menyukainya; ia berkata:
عمل الوليد لا يصلح حجة لأحد في ذلك، وإنما الحجة في الكتاب والسنة، وفي إجماع سلف الأمة رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ، وجعلنا من أتباعهم بإحسان
Tindakan Al-Walid tidak dapat dijadikan hujah bagi siapa pun dalam hal itu, karena hujjah terletak pada Al-Qur'an dan Sunnah, serta konsensus para salaf umat semoga Allah meridhoi mereka, dan menjadikan kita termasuk pengikut mereka dalam kebaikan.
[Majmu' Fatawa Ibn Baz 13/231]
Ini aneh karena ini bukan tindakan personal al-Walid; tetapi ini terjadi dengan konsensus dan kehadiran para tabi'in di Madinah, dan tidak ada satu pun dari mereka yang mengatakan: Ini bertentangan dengan sunnah atau syirik. Apakah seluruh umat ini telah tersesat dan menyimpang selama empat belas abad sampai Ibn Baz datang untuk memperbaiki kesalahan ini?! ini adalah fitnah yang besar!
Dan hal itu merupakan seruan jahat yang sama dari Albani ketika dia menyerukan untuk mengeluarkan makam dari masjid dan memisahkannya dengan dinding, dia berkata:
فالواجب الرجوع بالمسجد النبوي إلى عهده السابق، وذلك بالفصل بينه وبين القبر النبوي بحائط يمتد من الشمال إلى الجنوب بحيث أن الداخل إلى المسجد لا يرى فيه أي مخالفة لا ترضي مؤسسه صلى الله عليه وسلم، اعتقد أن هذا من الواجب على الدولة السعودية إذا كانت تريد أن تكون حامية التوحيد حقا
"Maka wajib mengembalikan Masjid Nabawi ke keadaan sebelumnya, yaitu dengan memisahkannya dari makam Nabi dengan dinding yang membentang dari utara ke selatan sehingga orang yang masuk ke masjid tidak melihat adanya pelanggaran yang tidak disukai oleh pendirinya (Nabi Muhammad) ﷺ. Saya percaya bahwa ini adalah kewajiban bagi negara Saudi jika mereka benar-benar ingin menjadi pelindung tauhid."
[Mausu'ah al-Albani fi al-Aqidah 2/333]
Kemudian menurut Ibn Baz bahwa Ibn Umar melakuakan ijtihad yang menyelisihi sunnah. Ibn Baz jmengatakan:
واجتهاده خالف السنة؛ كما فعل بالأخذ من اللحية
"Ijitihadnya (yakni Ibn Umar) menyelisih sunnah, seperti yang dia lakukan dengan mencukur jenggot"
[Masail Ibn Baz h.192]
Ibn Baz tidak tahu bahwa Imam Ibn Abi Syaibah telah menyusun bab dalam Mushannafnya yang berjudul:
باب ما قالوا في الأخذ من اللحية
"Bab: Apa yang mereka katakan tentang mencukur janggut", dan dia meriwayatkan perbuatan ini dengan sanadnya dari sejumlah sahabat dan tabi'in: seperti Ali, Abu Hurairah, Ibn Umar, Ibn Sirin, Al-Nakha'i, Tawus, Al-Hasan, dan Al-Qasim.
[Mushannaf Ibn Abi Syaibah 5/ 225 - 226]
Kemudian Ibn Baz mengatakan bahwa praktik tawassul sahabat dengan makam Nabi yang mulia adalah perbuatan syirik.
Ketika al-Hafiz Ibn Hajar meriwayatkan kisah dari Malik al-Dar tentang tawassul dengan makam Nabi yang mulia dan menyebutkan bahwa itu adalah kisah yang sahih dan tsabit.
Kemudian Ibn Baz berkata:
ليست حجة؛ لأن السائل مجهول، والصحابة لم يفعلوا ذلك،
"Kisah Ini tidak bisa dijadikan hujjah karena si penanya tidak dikenal (majhul), dan para sahabat tidak melakukannya".
Hingga ia berkata:
ما فعله هذا الرجل منكر، ووسيلة إلى الشرك، بل جعله بعض أهل العلم من أنواع الشرك
"Apa yang dilakukan oleh orang ini adalah perbuatan yang munkar dan merupakan jalan menuju syirik, bahkan beberapa ulama (yakni Wahhabi) menganggap perbuatan tersebut sebagai salah satu jenis syirik."
[Ta'liq Ibn Baz ala Fathu al-Bari 2/575]
Seolah-olah - menurut Ibn Baz- para sahabat dan tabi'in yang menyaksikan perbuatan tawassul dengan makam Nabi itu tidak mengingkari perbuatan syirik dan ridho pada kesyirikan, seolah-olah al-Hafizh Ibn Hajar dan sebelumnya al-Hafizh Ibn Katsir serta ahli hadits lainnya yang meriwayatkan kisah tersebut dan menilai keshahihannya, menyetujui jenis kesyirikan ini? ini adalah fitnah yang besar!
Kami tidak tahu siapa dari para ulama yang menganggap tawassul ini sebagai salah satu bentuk kesyirikan? Bisakah Ibn Baz atau salah satu pengikutnya memberi tahu kami siapa dari para ulama yang meriwayatkan kisah tawassul Sahabat dengan Makam Nabi dan mengatakan bahwa tindakan ini adalah syirik?!!
Telah diriwayatkan kisah Tawassul dari Malik al-Dar ini oleh Ibn Abi Syaibah dalam "Mushannaf", Ibn Abi Khaytsamah dalam "Tarikh al-Kabir", Abu Ya'la al-Khalili dalam "Irsyad", Ibn Abd al-Barr dalam "Al-Isti'ab", Ibn Asakir dalam "Tarikh Dimasyq", Ibn Katsir dalam "Musnad al-Faruq", al-Dzahabi dalam "Tarikh al-Islam" dan "Siyar A'lam al-Nubala", Ibn Hajar dalam "Fath" dan "Al-Isabah", al-Suyuti dalam "Al-Jami' al-Kabir", al-Hindi dalam "Kanz al-'Ummal", dan banyak lainnya.
Apakah wahhabi menganggap bahwa para ulama ini meriwayatkan kesyirikan tanpa mengomentari atau menjelaskan penolakannya?! Akal mu mana Wahhabi?
Dalam fatwa lajnah Daimah (Komite Fatwa Wahhabi) disebutkan:
ليست الحجة في عمل العلماء وأقوالهم؛ لأنهم يخطئون ويصيبون، وكثير منهم مبتدع، وإنما الحجة في كلام الله تعالى، وفي سنة رسول الله الثابتة
Tidak ada hujah dalam tindakan dan ucapan para ulama; karena mereka bisa salah dan benar, dan banyak dari mereka adalah pelaku bid'ah, akan tetapi hujjah ada di dalam firman Allah Ta'ala, dan didalam sunnah Rasulullah yang sahih.
[Fatawa al-Lajnah al-Daimah 1/426]
Komite Fatwa Wahhabi ini seolah-olah menempatkan diri mereka sebagai Nabi yang maksum (tidak mungkin salah) dan merekalah yang memiliki wewenang untuk mengkoreksi kesalahan semua ulama yang bertentangan dengan Hawa nafsu mereka. Semua Ulama yang bertentangan dengan Hawa nafsu Wahhabi akan disebut sebagai Ahli Bid'ah penentang sunnah, baik itu salaf maupun khalaf, bahkan para Sahabat Nabi tidak lepas dari tuduhan Wahhabi.
Ketika al-Albani ditanya tentang takwil Imam Bukhari dalam Shahihnya mengenai takwil wajah sebagai kekuasaan, dia menyatakan bahwa itu adalah kebohongan meskipun itu ada dalam semua naskah Shahih bukhari, kemudian dia berkata:
هذا ما يقوله مسلم مؤمن... وهو عين التعطيل
"Ini (takwil Imam Bukhari) tidak sepantasnya dikatakan seorang Muslim yang beriman...Dan itu adalah bentuk dari ta'thil (mengingkari sifat Allah)"
[Mausu'ah al-Albani Fi al-Aqidah 6/326]
Albani tidak menerima takwil Imam Bukhari; karena itu bertentangan dengan keyakinan sesatnya dan membatalkan mazhab yang diyakininya.
Al-Albani melarang tabarruk meskipun ada riwayat dari beberapa sahabat, dan ia berpendapat bahwa apa yang diriwayatkan dari beberapa sahabat dalam hal itu hanyalah kasus-kasus individu yang tidak seharusnya digeneralisasi. Ia berkata:
وإن كان قد وقع شيء من التبرك من بعض الصحابة، وإن صح ذلك من بعض ما جاء من بعده فهذه قضايا فردية؛ لا يبنى عليها حكم عام يُذاع بين المسلمين؛ لأن العاقبة ستكون الغلو في رسول الله ، وهذا مما نهى عنه هو مباشرة
"Meskipun ada beberapa sahabat yang melakukan tabarruk, dan jika hal itu benar dari beberapa yang datang setelahnya, maka ini adalah kasus-kasus individu; tidak boleh dibangun diatasnya hukum umum yang disebarkan di antara umat Muslim; karena akibatnya akan menjadi ghuluw kepada Rasulullah, dan ini adalah sesuatu yang dilarangnya secara langsung."
[Mausu'ah al-Albani Fi al-Aqidah 3/914]
Menurut al-Albani tabarruk adalah sesuatu yang terlarang meskipun pernah dilakukan oleh beberapa sahabat dan orang-orang setelah mereka, karena mengkibatkan ghuluw dan Rasulullah ﷺ melarang kita dari ghuluw.
Maka para Wahhabi dan para pemimpin mereka, seperti yang telah kita sebutkan diatas, tidak akan berhujjah dengan atsar (jejak) salaf kecuali ketika sesuai dengan pendapat mereka. Namun, atsar salaf yang membantah mazhab mereka dan pemikiran mereka yang menyimpang, tidak ada masalah bagi Wahhabi untuk mendustakan dan menolaknya tanpa ilmu, atau menilai kesalahan dari pengucap atau pelakunya. Dan tidak ada masalah bagi mereka untuk menilai kesalahan dari pelakunya meskipun dia adalah seorang sahabat, tabi'in, atau imam mujtahid.
Dr. Abdul Rahman Abdul Qahir Hijazi berkata:
ثبت بالإسناد أن أبا أيوب الأنصاري رضى اللهُ عَنْهُ وضع وجهه على قبر الرسول ﷺ بعد موته"، وقد قال أحد المجسمة من أدعياء السلفية في مدينة الزرقاء بالأردن لما سمع هذا قال: «لقد فعل شركا، فقال له الأستاذ الذي هو من أهل السنة: أقول لك أبو أيوب الأنصاري وتقول: فعل شركا !!، فقال له المجسم: لو كان محمد بن عبد الله فعل شركا
"Telah tsabit dengan sanadnya bahwa Abu Ayyub Al-Ansari radhiallahu 'anhu meletakkan wajahnya di atas makam Rasulullah ﷺ setelah wafatnya" dan salah satu mujassimah dari kalangan pendaku salafi di kota Zarqa, Yordania, ketika mendengar ini dia berkata: "Dia (yakni sahabat Abu Ayyub Al-Ansari) telah melakukan syirik," maka seorang ustadz yang merupakan ahlus Sunnah berkata: "yang Aku katakan kepadamu adalah Abu Ayyub Al-Ansari dan kamu berkata: Dia melakukan syirik !!," maka mujassim itu berkata kepadanya: "Seandainya (Nabi) Muhammad bin Abdullah melakukan itu maka syirik."
[Al-Anwaru al-Imaniyyah fi thamsi Dholalat al-Wahhabiyyah h.177]
Lihatlah kebodohan Wahhabi dalam beragama, mereka menuduh perbuatan sahabat sebagai syirik; dan mereka juga menganggap perbuatan itu tetap syirik; meskipun Nabi Muhammad ﷺ melakukannya.
Semua ini menunjukkan bahwa Wahabi tidak mengikuti salaf kecuali dalam hal yang sesuai dengan hawa nafsu mereka. Pemimpin mereka, Ibnu Taimiyah, menggambarkan tindakan Sayyidina Ibnu Umar ketika dia bertabaruk dengan shalat di tempat-tempat yang pernah dipakai shalat oleh Rasulullah ﷺ sebagai bid'ah, dia berkata:
فأما قصد الصلاة في تلك البقاع التي صلى فيها اتفاقا، فهذا لم ينقل عن غير ابن عمر من الصحابة... وتحري هذا ليس من سنة الخلفاء الراشدين، بل هو مما ابتدع، وقول الصحابي إذا خالفه نظيره، ليس بحجة، فكيف إذا انفرد به عن جماهير الصحابة
"Adapun niat shalat di tempat-tempat tersebut yang kebetulan pernah dipakai shalat oleh Rasulullah, hal ini tidak diriwayatkan dari selain Ibnu Umar dari kalangan sahabat...mencari-cari tempat-tempat yang pernah dipakai shalat oleh Rasulullah untuk bertabarruk bukan dari sunnah para khulafa' Rasyidin, melainkan merupakan sesuatu yang diada-adakan (bid'ah), dan perkataan seorang sahabat jika bertentangan dengan sahabat lainnya, tidak bisa dijadikan hujjah, apalagi jika ia sendiri yang berbeda dengan mayoritas para sahabat".
[Iqridha' al-Shirat al-Mustaqim 2/278-279]
Dengan kesombongan dan tidak beradabnya Ibn Taimiyyah mengatakan perbuatan Sahabat sebagai bid'ah, dan mengklaim bahwa mayoritas sahabat menentangnya, padahal yang benar adalah bahwa para sahabat bertabarruk dengan tempat shalat Nabi, seperti Bilal bin Rabah, Salamah bin al-Akwa', dan 'Itban bin Malik yang meminta kepada Rasulullah yang mulia agar melakukan shalat di rumahnya agar bisa ia jadikan sebagai tempat shalatnya
قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهَا تَكُونُ الظُّلْمَةُ وَالسَّيْلُ وَأَنَا رَجُلٌ ضَرِيرُ الْبَصَرِ فَصَلِّ يَا رَسُولَ اللَّهِ فِي بَيْتِي مَكَانًا أَتَّخِذُهُ مُصَلَّى فَجَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيْنَ تُحِبُّ أَنْ أُصَلِّيَ فَأَشَارَ إِلَى مَكَانٍ مِنْ الْبَيْتِ فَصَلَّى فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
[H.R Bukhari]
semua ini telah terbukti dalam hadits sahih.
Begitu juga, Ibn Taimiyah menuduh para salaf yang tidak menetapkan bahwa Allah duduk di atas 'Arsy sebagai orang-orang yang sesat dan bid'ah; bahkan mereka adalah Jahmiyah menurut Ibn Taimiyah. Ibn Taimiyah berkata:
وَكُرْسِيُّهُ جِسْمٌ وَالْأَرْضُونَ السَّبْعُ وَالسَّمَوَاتُ السَّبْعُ عِنْدَ الْكُرْسِي كَحَلْقَةٍ فِي أَرْضِ فَلَاةٍ وَلَيْسَ كُرْسِيُّهُ عِلْمُهُ كَمَا قَالَتْ الجَهْمِيَّة
"Dan kursi-Nya adalah benda, dan tujuh bumi serta tujuh langit di bandingkan kursi seperti cincin di padang pasir, dan kursi-Nya bukanlah ilmu-Nya seperti yang dikatakan oleh Jahmiyah."
[Majmu' Fatawa 5/60]
Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya dari Sayyidina Sa'id bin Jubair menafsirkan Kursi-Nya adalah Ilmu-Nya.
باب قوله عز وجل فإن خفتم فرجالا أو ركبانا فإذا أمنتم فاذكروا الله كما علمكم ما لم تكونوا تعلمون وقال ابن جبير كرسيه علمه
Dan ini adalah beberapa contoh yang menunjukkan bahwa Wahhabi dan Imam mereka Ibnu Taimiyah tidak menerima ucapan-ucapan para salaf kecuali yang sesuai dengan hawa nafsu mereka, sedangkan yang bertentangan dengan hawa nafsu dan keyakinan mereka adalah bid'ah dan kesesatan meskipun berasal dari para Pembesar sahabat dan tabi'in.
Sumber FB : Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Riau : Aqidah Asy'ariyyah wal Maturidiyyah