๐๐ฃ๐ ๐ฆ๐๐๐๐ก๐๐ฅ๐ก๐ฌ๐ ๐๐จ๐๐จ๐ ๐๐๐ฅ๐ข๐๐๐ง ?
๐๐ป๐ช๐ฏ ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ต๐ข๐ฏ๐บ๐ข ๐ฌ๐บ๐ข๐ช, ๐ข๐ฑ๐ข ๐ฉ๐ถ๐ฌ๐ถ๐ฎ ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ฐ๐ฃ๐ข๐ต ๐ฅ๐ข๐ญ๐ข๐ฎ ๐๐ด๐ญ๐ข๐ฎ ? ๐๐ฑ๐ข๐ฌ๐ข๐ฉ ๐ธ๐ข๐ซ๐ช๐ฃ ๐ซ๐ช๐ฌ๐ข ๐ต๐ช๐ฅ๐ข๐ฌ ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ฐ๐ฃ๐ข๐ต ๐ฉ๐ถ๐ฌ๐ถ๐ฎ๐ฏ๐บ๐ข ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ฅ๐ฐ๐ด๐ข ๐ข๐ต๐ข๐ถ ๐ด๐ฆ๐ฌ๐ฆ๐ฅ๐ข๐ณ ๐ฃ๐ฐ๐ญ๐ฆ๐ฉ ๐ข๐ต๐ข๐ถ ๐ด๐ถ๐ฏ๐ฏ๐ข๐ฉ ?
Jawaban
Oleh Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq
Sebelum kita menjawab pertanyaan di atas mengenai hukum berobat dalam Islam, kita perlu mendefinisikan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan "berobat". Agar jangan sampai dipahami aktivitas yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan bahasan ini ikut kebawa-bawa.
Karena di masyarakat kita banyak hal yang sebenarnya tidak masuk kepengertian berobat dianggap sebagai bagaian dari mencari kesembuhan /berobat, contohnya berobat dengan obat kuat.
๐ฃ๐ฒ๐ป๐ด๐ฒ๐ฟ๐๐ถ๐ฎ๐ป ๐ฏ๐ฒ๐ฟ๐ผ๐ฏ๐ฎ๐
Dalam bahasa arab berobat diantaranya diistilahkan dengan tadawa dan juga Thabib yang secara bahasa artinya adalah pengobatan dan perawatan. Dikatakan, "Fulan melakukan thabib kepada Fulan," yaitu dia mengobatinya.[1]
Sedangkan secara istilah berobat adalah mencari kesembuhan dari penyakit dengan obat-obatan. Berobat dilakukan ketika dalam keadaan sakit atau keadaan yang semisalnya.[2]
๐๐๐ธ๐๐บ ๐ฏ๐ฒ๐ฟ๐ผ๐ฏ๐ฎ๐
Para ulama bersepakat bahwa berobat dari penyakit adalah disyariatkan berdasarkan nash ayat dan hadits berikut ini :
َูุฅِุฐَุง ู َุฑِุถْุชُ ََُููู َูุดِِْููู
“๐๐ข๐ฏ ๐ข๐ฑ๐ข๐ฃ๐ช๐ญ๐ข ๐ข๐ฌ๐ถ ๐ด๐ข๐ฌ๐ช๐ต, ๐๐ช๐ข๐ญ๐ข๐ฉ ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐บ๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ถ๐ฉ๐ฌ๐ข๐ฏ๐ฌ๐ถ.” (๐๐. ๐๐ด๐บ ๐๐บ๐ถ'๐ข๐ณ๐ข: 80)
ู َุง ุฃَْูุฒََู ุงَُّููู ุฏَุงุกً ุฅَِّูุง ุฃَْูุฒََู َُูู ุดَِูุงุกً
"Allah tidak menurunkan penyakit kecuali Dia juga menurunkan obatnya."(HR. Bukhari dan Muslim)
ุฅَِّู ุงََّููู ุฃَْูุฒَู ุงูุฏَّุงุกَ َูุงูุฏََّูุงุกَ، َูุฌَุนَู ُِููู ุฏَุงุกٍ ุฏََูุงุกً
“Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit beserta obatnya, dan Dia jadikan setiap penyakit ada obatnya.’’ (HR. Abu Dawud)
Hanya kemudian para ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya, manakah yang lebih utama : Berobat atau bersabar dengan penyakitnya. Sehingga paling tidak ada 2 pendapat yang masyhur di kalangan ulama madzhab tentang hukum berobat, sebagian menghukumi sunnah sedangkan yang lain berpendapat hukumnya mubah.[3]
๐ญ. ๐๐๐ธ๐๐บ๐ป๐๐ฎ ๐บ๐๐ฏ๐ฎ๐ต
Kalangan ulama dari madzhab Hanafiyyah dan Malikiyyah berpendapat bahwa hukum asal dari berobat itu hanyalah mubah. Berkata al imam Badruddin al Aini al Hanafi rahimahullah :
ูุฃู ุงูุชุฏุงูู ู ุจุงุญ
“Bahwa sesungguhny berobat itu adalah mubah.”[4]
Demikian juga fatwa yang kurang lebih sama juga dinyatakan oleh ulama-ulama madzhab Maliki.[5]
Kalangan ini mengkompromikan adanya riwayat anjuran untuk berobat yang telah disebutkan sebelumnya dengan hadits-hadits tentang sabar terhadap penyakit seperti hadits berikut ini :
ุนَْู ุฃُู ِّ ุงูุนَูุงَุกِ َูุงَูุชْ : ุนَุงุฏَِْูู ุฑَุณُُْูู ุงَِّููู ุตََّูู ุงَُّููู ุนََِْููู َูุณََّูู َ َูุฃََูุง ู َุฑِْูุถَุฉً، ََููุงَู : ุงَุจْุดِุฑِْู َูุง ุฃُู ِّ ุงูุนَูุงَุกِ، َูุฅِِّู ู َุฑَุถَ ุงูู ُุณِْูู ِ ُูุฐْ ِูุจُ ุงَُّููู ุจِِู ุฎَุทَุงَูุงُู َูู َุง ุชُุฐْ ِูุจُ ุงَّููุงุฑُ ุฎَุจุจَุซَ ุงูุฐََّูุจِ َูุงِููุถَّุฉِ
"Dari Ummu Al-Ala', dia berkata :"Rasulullah ๏ทบ menjengukku tatkala aku sedang sakit, lalu beliau berkata. 'Gembirakanlah wahai Ummu Al-Ala'. Sesungguhnya sakitnya orang Muslim itu membuat Allah ta'la menghilangkan kesalahan-kesalahan, sebagaimana api yang menghilangkan kotoran emas dan perak". (HR. Abu Dawud)
Dalam sebuah riwayat yang masyhur, Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya pada Rasulullah ๏ทบ. “Wahai Rasulullah, apakah balasan bagi seseorang yang terkena demam?” Rasulullah ๏ทบ menjawab: “Kebaikan akan mengalir padanya.” Beliaupun berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepadamu penyakit demam yang tidak menghalangiku untuk jihad kepadamu.”
๐ฎ. ๐๐๐ธ๐๐บ๐ป๐๐ฎ ๐บ๐๐ฏ๐ฎ๐ต ๐ฏ๐ฒ๐ฟ๐๐ฎ๐ฏ๐ฎ๐ฟ ๐น๐ฒ๐ฏ๐ถ๐ต ๐ฏ๐ฎ๐ถ๐ธ
Mayoritas ulama madzhab Hanabilah berpendapat hukum berobat itu boleh, namun meninggalkannya lebih afdhal. Al imam Buhuti al Hanbali rahimahullah berkata :
ุชุฑู ุงูุฏูุงุก ุฃูุถู، ูุต ุนููู؛ ูุฃูู ุฃูุฑุจ ุฅูู ุงูุชููู
“Berpendapat beliau (imam Ahmad) meninggalkan berobat adalah lebih baik, karena hal tersebut mendekatkan kepada tawakal.”[6]
Diantara dalil yang digunakan adalah hadits Ibnu Abbas ada seorang wanita yang ditimpa penyakit epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi ๏ทบagar mendoakannya, lalu beliau menjawab: “Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga; dan jika engkau mau, akan saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.`
Wanita itu menjawab, aku akan bersabar. Sebenarnya saya tadi ingin dihilangkan penyakit saya. Oleh karena itu doakanlah kepada Allah agar saya tidak minta dihilangkan penyakit saya. Lalu Nabi ๏ทบ mendoakan orang itu agar tidak meminta dihilangkan penyakitnya.” (mutafaqqin ‘alaih)
๐ฏ. ๐๐๐ธ๐๐บ๐ป๐๐ฎ ๐๐๐ป๐ป๐ฎ๐ต.
Sedangkan ulama kalangan madzhab Syafi’iyyah dan sebagian ulama Hanabilah berpendapat bahwa berobat hukumnya dianjurkan (sunnah). Berkata al imam Ibnu Hajar al Haitami rahimahullah :
ููุณู ุงูุชุฏุงูู ููุฎุจุฑ ุงูุตุญูุญ
“Dan disunnahkan berobat berdasarkan dalil yang shahih.”[7]
Ibnul Qayim al Jauziyyah dari kalangan Hanafiyyah secara khusus bahkan mengcounter pendapat yang mengatakan bahwa berobat itu bisa menjauhkan dari tawakal. Ia berkata,
ูู ุงูุฃุญุงุฏูุซ ุงูุตุญูุญุฉ ุงูุฃู ุฑ ุจุงูุชุฏุงูู، ูุฃูู ูุง ููุงูู ุงูุชููู، ูู ุง ูุง ููุงููู ุฏูุน ุงูุฌูุน ูุงูุนุทุด ูุงูุญุฑ ูุงูุจุฑุฏ ุจุฃุถุฏุงุฏูุง، ุจู ูุง ุชุชู ุญูููุฉ ุงูุชูุญูุฏ ุฅูุง ุจู ุจุงุดุฑุฉ ุงูุฃุณุจุงุจ ุงูุชู ูุตุจูุง ุงููู ู ูุชุถูุงุช ูู ุณุจุจุงุชูุง ูุฏุฑุง ูุดุฑุนุง، ูุฃู ุชุนุทูููุง ููุฏุญ ูู ููุณ ุงูุชููู، ูู ุง ููุฏุญ ูู ุงูุฃู ุฑ ูุงูุญูู ุฉ، ููุถุนูู ู ู ุญูุซ ูุธู ู ุนุทููุง ุฃู ุชุฑููุง ุฃููู ูู ุงูุชููู، ูุฅู ุชุฑููุง ุนุฌุฒ ููุงูู ุงูุชููู ุงูุฐู ุญูููุชู ุงุนุชู ุงุฏ ุงูููุจ ุนูู ุงููู ูู ุญุตูู ู ุง ูููุน
"Dalam hadis-hadis yang sahih terdapat perintah untuk berobat, dan hal itu tidak bertentangan dengan tawakal (berserah diri kepada Allah), sebagaimana tidak bertentangan pula dengan menolak rasa lapar, haus, panas, dan dingin dengan lawannya (makanan, minuman, pakaian, dan perlindungan).
Bahkan, hakikat dari tauhid tidak sempurna kecuali dengan menjalankan sebab-sebab yang Allah ta’ala tetapkan sebagai penyebab bagi akibat-akibatnya, baik dari sisi takdir maupun syariat. Meninggalkan sebab-sebab tersebut merusak hakikat tawakal, sebagaimana juga merusak perintah dan hikmah.
Meninggalkan sebab justru memperlemah tawakal, padahal orang yang meninggalkan sebab-sebab itu menyangka bahwa hal tersebut menguatkan tawakal. Sebenarnya, meninggalkan sebab adalah kelemahan yang bertentangan dengan tawakal, yang hakikatnya adalah bergantungnya hati kepada Allah untuk mendapatkan manfaat yang diinginkan.”[8]
Dalil yang digunakan oleh kalangan ini di antaranya adalah :
1. Dari Abu Darda berkata, Nabi ๏ทบ bersabda:
ุฅَِّู ุงََّููู ุฃَْูุฒَู ุงูุฏَّุงุกَ َูุงูุฏََّูุงุกَ، َูุฌَุนَู ُِููู ุฏَุงุกٍ ุฏََูุงุกً
“Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit beserta obatnya, dan Dia jadikan setiap penyakit ada obatnya, maka berobatlah kalian, tetapi jangan berobat dengan yang haram.’’ (HR.Abu Dawud )
2. Dari Usamah bin Syarik berkata, ada seorang arab baduwi berkata kepada Nabi ๏ทบ : “Wahai Rasulullah, apakah kita berobat?’ Nabi ๏ทบ bersabda, ‘berobatlah, karena sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit, kecuali pasti menurunkan obatnya, kecuali satu penyakit (yang tidak ada obatnya),’’ mereka bertanya,’’apa itu’’ ? Nabi bersabda,’’penyakit tua.’’ (HR.Tirmidzi )
๐๐ต๐ฎ๐๐ถ๐บ๐ฎ๐ต
Pendapat ulama klasik tentang hukum berobat ketika sakit berputar diantara hukum sunnah dan mubah. Sedangkan sebagian ulama syafi’iyyah dan ulama kontemporer merinci hukum berobat itu menjadi beberapa bagian[9] yaitu :
๐ญ. ๐ช๐ฎ๐ท๐ถ๐ฏ
Diantara berobat yang dihukumi wajib contohnya adalah berobatnya seseorang dari penyakit yang menyebabkan ia meninggalkan perkara wajib padahal dia mampu untuk berobat, dan juga diduga kuat penyakitnya bisa sembuh. Maka berobat semacam ini adalah untuk perkara wajib, sehingga dihukumi wajib.
Al imam Mawardi rahimahullah berkata :
ุจุฃู ููุง ูุฌูุง ุจูุฌูุจู ุฅุฐุง ูุงู ุจู ุฌุฑุญ ูุฎุงู ู ูู ุงูุชูู
“Bahwa ada pendapat yang menyatakan wajibnya berobat jika seseorang memiliki luka yang dikhawatirkan akan menyebabkan kematian.”[10]
๐ฎ. ๐๐ฒ๐ฟ๐ผ๐ฏ๐ฎ๐ ๐๐๐ป๐ป๐ฎ๐ต/ ๐บ๐๐๐๐ฎ๐ต๐ฎ๐ฏ
Jika tidak berobat berakibat lemahnya badan tetapi tidak sampai membahayakan diri dan orang lain, tidak membebani orang lain, tidak mematikan, dan tidak menular, maka berobat menjadi sunnah baginya.
๐ฏ. ๐๐ฒ๐ฟ๐ผ๐ฏ๐ฎ๐ ๐บ๐ฒ๐ป๐ท๐ฎ๐ฑ๐ถ ๐บ๐๐ฏ๐ฎ๐ต/ ๐ฏ๐ผ๐น๐ฒ๐ต
Jika sakitnya tergolong ringan, tidak melemahkan badan dan tidak berakibat seperti kondisi hukum wajib dan sunnah untuk berobat, maka boleh baginya berobat atau tidak berobat.
๐ฐ. ๐๐ฒ๐ฟ๐ผ๐ฏ๐ฎ๐ ๐บ๐ฒ๐ป๐ท๐ฎ๐ฑ๐ถ ๐บ๐ฎ๐ธ๐ฟ๐๐ต ๐ฑ๐ฎ๐น๐ฎ๐บ ๐ฏ๐ฒ๐ฏ๐ฒ๐ฟ๐ฎ๐ฝ๐ฎ ๐ธ๐ผ๐ป๐ฑ๐ถ๐๐ถ
๐ข. ๐๐ช๐ฌ๐ข ๐ฑ๐ฆ๐ฏ๐บ๐ข๐ฌ๐ช๐ต๐ฏ๐บ๐ข ๐ต๐ฆ๐ณ๐ฎ๐ข๐ด๐ถ๐ฌ ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ด๐ถ๐ญ๐ช๐ต ๐ฅ๐ช๐ด๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ถ๐ฉ๐ฌ๐ข๐ฏ, ๐ด๐ฆ๐ฅ๐ข๐ฏ๐จ๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฐ๐ฃ๐ข๐ต ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฅ๐ช๐จ๐ถ๐ฏ๐ข๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฅ๐ช๐ฅ๐ถ๐จ๐ข ๐ฌ๐ถ๐ข๐ต ๐ต๐ช๐ฅ๐ข๐ฌ ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ฎ๐ข๐ฏ๐ง๐ข๐ข๐ต, ๐ฎ๐ข๐ฌ๐ข ๐ญ๐ฆ๐ฃ๐ช๐ฉ ๐ฃ๐ข๐ช๐ฌ ๐ต๐ช๐ฅ๐ข๐ฌ ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ฐ๐ฃ๐ข๐ต ๐ฌ๐ข๐ณ๐ฆ๐ฏ๐ข ๐ฉ๐ข๐ญ ๐ช๐ต๐ถ ๐ฅ๐ช๐ฅ๐ถ๐จ๐ข ๐ฌ๐ถ๐ข๐ต ๐ข๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ฃ๐ถ๐ข๐ต ๐ด๐ช๐ข- ๐ด๐ช๐ข ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ถ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฉ๐ข๐ณ๐ต๐ข.
๐ฃ. ๐๐ช๐ฌ๐ข ๐ด๐ฆ๐ฐ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ด๐ข๐ฃ๐ข๐ณ ๐ฅ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ฑ๐ฆ๐ฏ๐บ๐ข๐ฌ๐ช๐ต ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฅ๐ช๐ฅ๐ฆ๐ณ๐ช๐ต๐ข, ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ฉ๐ข๐ณ๐ข๐ฑ ๐ฃ๐ข๐ญ๐ข๐ด๐ข๐ฏ ๐ด๐ถ๐ณ๐จ๐ข ๐ฅ๐ข๐ณ๐ช ๐ถ๐ซ๐ช๐ข๐ฏ ๐ช๐ฏ๐ช, ๐ฎ๐ข๐ฌ๐ข ๐ญ๐ฆ๐ฃ๐ช๐ฉ ๐ถ๐ต๐ข๐ฎ๐ข ๐ต๐ช๐ฅ๐ข๐ฌ ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ฐ๐ฃ๐ข๐ต, ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ฑ๐ข๐ณ๐ข ๐ถ๐ญ๐ข๐ฎ๐ข ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ข๐ธ๐ข ๐ฉ๐ข๐ฅ๐ช๐ต๐ด ๐๐ฃ๐ฏ๐ถ ๐๐ฃ๐ฃ๐ข๐ด ๐ฅ๐ข๐ญ๐ข๐ฎ ๐ฌ๐ช๐ด๐ข๐ฉ ๐ด๐ฆ๐ฐ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ ๐ธ๐ข๐ฏ๐ช๐ต๐ข ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ด๐ข๐ฃ๐ข๐ณ ๐ข๐ต๐ข๐ด ๐ฑ๐ฆ๐ฏ๐บ๐ข๐ฌ๐ช๐ต๐ฏ๐บ๐ข ๐ฌ๐ฆ๐ฑ๐ข๐ฅ๐ข ๐ฎ๐ข๐ด๐ข๐ญ๐ข๐ฉ ๐ช๐ฏ๐ช.
๐ค. ๐๐ช๐ฌ๐ข ๐ด๐ฆ๐ฐ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ ๐ง๐ข๐ซ๐ช๐ณ/๐ณ๐ถ๐ด๐ข๐ฌ, ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ด๐ฆ๐ญ๐ข๐ญ๐ถ ๐ฅ๐ป๐ข๐ญ๐ช๐ฎ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ซ๐ข๐ฅ๐ช ๐ด๐ข๐ฅ๐ข๐ณ ๐ฅ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ฑ๐ฆ๐ฏ๐บ๐ข๐ฌ๐ช๐ต ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฅ๐ช๐ฅ๐ฆ๐ณ๐ช๐ต๐ข, ๐ต๐ฆ๐ต๐ข๐ฑ๐ช ๐ซ๐ช๐ฌ๐ข ๐ด๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ถ๐ฉ ๐ช๐ข ๐ข๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฌ๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ข๐ญ๐ช ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ซ๐ข๐ฅ๐ช ๐ณ๐ถ๐ด๐ข๐ฌ, ๐ฎ๐ข๐ฌ๐ข ๐ด๐ข๐ข๐ต ๐ช๐ต๐ถ ๐ญ๐ฆ๐ฃ๐ช๐ฉ ๐ฃ๐ข๐ช๐ฌ ๐ต๐ช๐ฅ๐ข๐ฌ ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ฐ๐ฃ๐ข๐ต.
๐ฅ. ๐๐ฆ๐ฐ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ต๐ฆ๐ญ๐ข๐ฉ ๐ซ๐ข๐ต๐ถ๐ฉ ๐ฌ๐ฆ๐ฑ๐ข๐ฅ๐ข ๐ฑ๐ฆ๐ณ๐ฃ๐ถ๐ข๐ต๐ข๐ฏ ๐ฎ๐ข๐ฌ๐ด๐ช๐ข๐ต, ๐ญ๐ข๐ญ๐ถ ๐ฅ๐ช๐ต๐ช๐ฎ๐ฑ๐ข ๐ด๐ถ๐ข๐ต๐ถ ๐ฑ๐ฆ๐ฏ๐บ๐ข๐ฌ๐ช๐ต, ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ฅ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ฑ๐ฆ๐ฏ๐บ๐ข๐ฌ๐ช๐ต ๐ช๐ต๐ถ ๐ฅ๐ช๐ข ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ฉ๐ข๐ณ๐ข๐ฑ ๐ฌ๐ฆ๐ฑ๐ข๐ฅ๐ข ๐๐ญ๐ญ๐ข๐ฉ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฎ๐ฑ๐ถ๐ฏ๐ช ๐ฅ๐ฐ๐ด๐ข๐ฏ๐บ๐ข ๐ฅ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ด๐ฆ๐ฃ๐ข๐ฃ ๐ฌ๐ฆ๐ด๐ข๐ฃ๐ข๐ณ๐ข๐ฏ๐ฏ๐บ๐ข.
Dan semua kondisi ini diisyaratkan jika penyakitnya tidak mengantarkan kepada kebinasaan, jika mengantarkan kepada kebinasaan dan dia mampu berobat, maka hukum berobat menjadi wajib atasnya.
๐ฑ. ๐๐ฒ๐ฟ๐ผ๐ฏ๐ฎ๐ ๐๐ฎ๐ฟ๐ฎ๐บ
Jika berobat dengan sesuatu yang haram atau cara yang haram maka hukumnya haram, seperti berobat dengan khomer/minuman keras, atau sesuatu yang haram lainnya.
๐Wallahu a’lam.
__________
[1] Lisan al ‘Arab (bahasan ุทุจุจ)
[2] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (11/116)
[3] Kasyaful Qina (2/76), al Adab asy Syar’iyyah (2/359), Hasyiah Ibn Abidin (5/215), al Hidayah Takmilah al Fath Qadir (8/134).
[4] Al Banayah Syarh al Hidayah (12/267)
[5] At Taudhih (1/355)
[6] Kasyf al Qina (4/7)
[7] Tuhfatul Muhtaj (3/182)
[8] Zaadul Ma’ad (4/15)
[9] Ahkamul Tadwiyah fisy Syari’atil Islamiyah hlm.27-28.
[10] Al Hawi al Kabir (2/251)
Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq