𝗦𝗔𝗟𝗔𝗙 𝗔𝗡𝗧𝗔𝗥𝗔 𝗞𝗟𝗔𝗜𝗠 𝗗𝗔𝗡 𝗞𝗘𝗡𝗬𝗔𝗧𝗔𝗔𝗡 𝗯𝗮𝗴𝗶𝗮𝗻 𝗜
Oleh Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq
𝘏𝘢𝘵𝘪-𝘩𝘢𝘵𝘪 𝘈𝘚𝘛 𝘪𝘵𝘶 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘶𝘴𝘵𝘢𝘥𝘻 𝘚𝘢𝘭𝘢𝘧, 𝘴𝘺𝘶𝘣𝘩𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯.
𝘑𝘢𝘸𝘢𝘣 : 𝘓𝘢𝘩, 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘯𝘨𝘢𝘬𝘶 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘚𝘢𝘭𝘢𝘧 (𝘻𝘢𝘮𝘢𝘯 1- 250 𝘏). 𝘠𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘪𝘯 𝘥𝘢𝘩 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘸𝘢𝘧𝘢𝘵 𝘳𝘢𝘵𝘶𝘴𝘢𝘯 𝘵𝘢𝘩𝘶𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘭𝘶, 𝘴𝘦𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘮𝘢𝘮𝘱𝘶 𝘨𝘦𝘯𝘵𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘮𝘱𝘢𝘪 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨 ? 𝘉𝘦𝘯𝘢𝘳² 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯.
•┈┈•••○○❁༺αѕт༻❁○○•••┈┈•
A : “ Kiyai, yang dimaksud dengan ustadz salaf itu bukan berarti yang hidup di masa salaf, tapi yang bermanhaj salaf. Cara beragamanya mengikuti generasi salaf terdahulu.
AST : “Ya saya paham saja maksudnya. Tapi Kalau salaf dengan pengertian itu, memang NU, Persis, Muhammadiyah dan umumnya pemahaman umat Islam itu tidak mengikuti salaf ? Cara beragama mereka itu mengikuti madzhab fiqih yang empat. Dan semua madzhab dilahirkan di masa generasi salaf.
Sekarang saya tanya balik, anda mengaku mengikuti salaf, salaf yang mana yang anda jadikan pegangan dalam beragama dari empat madzhab tersebut ?”
A : “Yang dimaksud bermanhaj salaf itu tidak harus bermadzhab, tapi cara beragamanya sesuai dengan metode orang-orang salaf dari generasi shahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in.”
AST : “Berarti anda tidak terikat dengan satu madzhab ? Kalau demikian klaim anda tentang mengikuti manhaj salaf, itu juga bukan tanpa koreksi. Karena siapapun yang belajar agama, dulu sampai hari ini, pasti akan mengikuti ulama madzhab. Karena madzhab itu mata rantai keilmuan yang bersambung dari guru ke guru hingga sampai kepada ilmu para shahabat.
Sekarang saya tanya lagi, kalau anda tidak mengikut madzhab yang empat, anda dapat dari mana ilmu kaum salaf terdahulu ?
A : “ Ya dari masyaikh dan ustadz-ustadz kami yang mengajarkan tentang manhaj salaf.”
AST : “Artinya anda mendapatkan “manhaj salaf” bukan langsung dari para shahabat nabi, tapi dari orang-orang sekarang yang mengaku ilmunya itu diambil dari sahabat Nabi dan kaum salaf terdahulu. Nah di sini anda harus membedakan mana fakta, mana klaim semata. Klaim tersebut memang belum tentu salah, tapi juga belum pasti benar. Tinggal dibuktikan saja akan kebenaran klaim itu, bukan begitu ?
Sebagaimana kami yang cara beragamanya mengikuti madzhab, itu juga sangat meyakini bahwa ilmu yang kami pelajari adalah diambil dari ilmunya para salaf. Berarti sebenarnya persamaan kita ya sama-sama hendak mengikuti salaf, cuma memang mungkin ada perbedaannya, semisal situ mengklaim, sedangkan kami tidak mengklaim.
A : “Kami sebenarnya bukan tidak bermadzhab, hanya kami tidak fanatik terhadap satu madzhab. Dari kami ada yang bermadzhab Hanbali, Maliki dan juga ada yang Syafi’i tapi jika pendapat itu bertentangan dengan al Qur’an dan as Sunnah kami akan tinggalkan. Bukankah tidak ada kewajiban untuk harus terikat dengan satu madzhab ?
AST : “ Benar, tidak ada kewajiban untuk terikat dengan satu madzhab, bahkan bermadzhab itu juga bukanlah kewajiban. Kita hanya diwajibkan untuk beragama dengan cara mengikuti tuntunan agama dengan benar. Dan cara beragama yang benar, yakni mengikuti kitabullah dan sunnah RasulNya adalah dengan jalan mengikuti ilmu ulama bukan ?
Dan bicara ulama siapa lagi yang paling otoritatif melebihi ulama madzhab yang empat ? Yang merupakan madrasah keilmuan terbesar sepanjang zaman, sambung menyambung sanad ilmunya sampai kepada sang pembawa risalah ?
A : “Tapi faktanya terkadang kalian meninggalkan pendapat madzhab, seperti contohnya dalam masalah musik dan mengirim pahala Qur’an kepada orang yang meninggal dunia.”
AST : “Nah disitu anda salah pahamnya. Anda mengira – dan itu yang sering anda tuduhkan- bermadzhab itu jumud, hanya taklid kepada satu pendapat. Padahal jelas bahwa fiqih madzhab itu open source. Sangat terbuka dengan perbaikan dan menerima pembaharuan.
Mengikuti madzhab Syafi’i itu bukan berarti hanya mengikuti pendapat imam Syafi’i, atau imam Nawawi dan imam-imam lainnya. Karena dalam satu madzhab saja akan kita temukan sekian ragam pendapat dalam satu masalah. Bahkan dalam bermadzhab itu sudah sangat biasa bahkan pendapat imamnya malah tidak dipakai.
Contoh kasus seperti yang anda katakan itu, jelas diakui bahwa dalam madzhab Syafi’i ada deretan ulama yang berbeda dengan imam Syafi’i dalam menghukumi musik dan bacaan Qur’an kepada orang yang meninggal dunia. Dan itu bukan berarti dikatakan meninggalkan madzab.
A : “ Ya apapun namanya itu berarti tidak konsisten, plin plan namanya. Beragama dijadikan hidangan prasmanan, yang enak diambil yang nggak disukai ditinggal. Bukan begitu ?”
AST : “Tentu saja tidak demikian. Dalam bermadzhab yang diikuti itu metodenya, bukan pendapat pribadi dari pendiri madzhab. Bukankah itu yang sebenarnya the real salaf, mengambil metode mereka tanpa taqlid buta terhadap siapapun yang memang tidak ma’shum.
Cuma bedanya anda sebut dengan istilah berbeda : perilaku anda meninggalkan ulama satu dengan mengambil ulama lain anda katakan mengikuti yang rajih, yang benar bahkan mengikuti Qur’an dan hadits. Sedangkan kami yang melakukan hal yang sama anda tuduh plin plan dan beragama dengan cara makan ala prasmanan.
Sebenarnya kalau urusan sekedar melempar tuduhan, kami juga bisa, semisal dengan mengatakan : Justru cara beragama anda itu yang arogan, merasa paling paham Qur’an dan Hadits di atas para ulama-ulama madzhab.
Tapi apakah kita hendak menyamakan antara fakta dengan tuduhan ? Tidak kan ? Pada akhirnya tuduhan itu harus diuji dan dibuktikan kebenarannya. Tapi bagaimana mau dibuktikan kalau anda sudah bersikap apatis dan skeptis duluan terhadap perbedaan ?”
A : “Ya bukan begitu kan semua tinggal dilihat mana dalilnya. Kalau dalilnya kuat ya itu yang diikuti.”
AST : “Beragama mengikuti dalil itu fakta, sedangkan perilaku kita mengatakan mengikuti dalil yang paling benar atau yang paling kuat itu klaim. Dan terbukti tidak semua klaim itu benar dalam kenyataannya. Termasuk klaim kami dan juga klaim anda.”
A : “Apa contohnya ?”
AST : “Sangat banyak. Misalnya sebagian anda berpendapat bahwa turun sujud yang benar itu mendahulukan lutut baru tangan. Sedangkan faktanya tidak demikian, justru pendapat yang anda ikuti itu hanya dipegang oleh madzhab Maliki, sedangkan mayoritas dengan dalil yang tak kalah jelas mengatakan sebaliknya.
Contoh lainnya sebagian anda mengatakan bahwa pendapat yang kuat masalah perceraian, bila thalaq tiga diucapkan sekali maka hanya jatuh satu thalaq. Padahal ini adalah pendapat menyendiri dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang menyelisihi kesepakatan pendapat resmi dari 4 madzhab yang secara pendalilan juga lebih kuat.
Cuma ya gitu, ketika anda pindah-pindah pendapat bahkan ke yang lebih Syadz (asing) akan diklaim mengikuti Qur’an dan Hadits, sedangkan kami yang melakukan itu akan dituduh beragama mengikuti hawa nafsu.
Bersambung...
Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq
Cara berdialog dan mematahkan dalih2 Wahabi-Taimi yang mengaku ikut Salaf...
by Jon Kanedi Asy-Syafi'i Al-Asy'ari