Pengkritik Ibnu Arabi Bukan Ahli Tasawuf

Pengkritik Ibnu Arabi Bukan Ahli Tasawuf

Grand Syekh al-Azhar, Ahmad at-Thayyib adalah orang ahli tarekat. Beliau berasal dari tarekat khalwatiyyah. Seperti saya katakan sebelumnya, para pembesar ahli tarekat itu umumnya mengagungkan Ibnu Arabi. Dan yang suka mengkritik itu biasanya bukan dari orang tarekat. 

Yang perlu Anda ketahui, Grand Syekh al-Azhar ini termasuk ulama Sunni. Bahkan beliau lah salah satu imam orang sunni di era sekarang. Mazhab akidahnya Asy'ari. Risalah disertasinya tentang Ibnu Arabi. Artinya beliau ini bicara dari sudut kepakaran. Ahli akidah iya. Tasawuf juga iya. 

Apakah beliau menyebut Ibnu Arabi sebagai ulama yang sesat, atau menyebutnya dengan perkataan yang merendahkan? Beliau malah menyanjungnya. Dan menyebutnya sbg as-Syaikh al-Akbar. Ibnu Arabi, tutur beliau, dinisbatkan kepadanya lebih dari 1000 kitab. Yang sudah terverifikasi sekitar 400-an lebih! 

Futuhat Makkiyyah dan Fushus hanyalah beberapa di antara ratusan kitab itu. Apakah pantas manusia sebesar itu disesatkan melalui satu-dua kitabnya, sementara para ahli tasawuf sendiri, yang sudah pasti lebih paham, menempatkannya pada posisi tertinggi?

Di halaman-halaman awal kitab Futuhat, papar Grand Syekh, Ibnu Arabi sudah menjelaskan akidahnya sesuai dengan ajaran Ahlussunnah waljama'ah. Jika setelah itu ditemukan penjelasan yang tidak dapat Anda cerna, maka anggaplah itu sebagai hal yang mungkin. Jangan buru-buru mendustakan. 

Yang diperlukan dari kita adalah kesadaran diri dan kerendahan hati. Kalau mau tahu tentang Ibnu Arabi, jangan dengarkan penjelasan dari ulama Ahli akidah aja. Tapi dengar dari ulama sufi yang sekaligus pakar akidah. Contohnya seperti Grand Syekh al-Azhar ini.

Grand Syekh pasti sudah tahu teks-teks yang bisa dipermasalahkan dari karya Ibnu Arabi itu. Tapi, di tangan seorang ahli, teks itu bisa diberikan penjelasan yang tepat. Kalau ada hal yang baru, yang belum kita pahami, letakkanlah dia pada lingkaran kemungkinan (fi dairat al-imkan). 

Intinya jangan gampang mendustakan. Pengetahuan kita hanya butiran pasir di pinggiran pantai. Mereka udah masuk laut. Para sufi berkata bukan hanya berdasarkan ilmu zahir. Tapi juga ilmu batin yang tidak semua orang tahu. Pengalaman mereka adalah pengalaman religius tingkat tinggi. 

Lihatlah setiap ulama, atau sosok, yang mengkritik Ibnu Arabi. Rata-rata memang bukan ahli tasawuf kok. Walaupun terkadang ahli dalam bidang akidah. Dokter gigi jangan disuruh bicara tentang penyakit kulit. Walau sama-sama dokter, tapi itu beda spesialisasi. Melihat ulama juga begitu. 

Dengarkan omongan ulama jika mereka sedang bicara pada bidang keahliannya. Yang nggak ahli tasawuf nggak usah didengerin kalau bicara tokoh sufi. Tapi simaklah penjelasan tasawuf dari para ahlinya. Dan ini tuntutan yang sangat masuk akal. Karena setiap ilmu pasti akan menghormati kepakaran. 

Pengkritik Ibnu Arabi Bukan Ahli Tasawuf

Pandangan kami tentang tasawuf dan para sufi sudah kami tuangkan dalam buku ini. Termasuk beberapa contoh takwil terhadap ungkapan mereka yang secara zahir--sekali lagi secara zahir--menyalahi dasar-dasar akidah. Sufi yang beneran sufi itu nggak mungkin lah menentang syariat apalagi akidah. Wong standar paling minimal jadi sufi/wali itu harus paham akidah. Juga menjalankan syariat.  

"Allah tidak akan mengambil wali yang bodoh. Kalaupun bodoh, Dia pasti akan mengajarinya." (mattakhadzallahu waliyyan jahilan, wa lau ittakhadzahu, la 'allamahu). Begitu ungkapan yang populer. Karena itu, kalau ada orang menuduh sufi besar menyalahi syariat, atau melabrak dasar akidah, itu mirip kaya orang bilang koki handal nggak bisa masak sayur kangkung. 

Rata-rata orang yang mengkritik ungkapan dan ajaran para sufi itu berasal dari "orang luar." Tidak bernasab pada tarekat tasawuf, tidak punya mursyid, dan belum (atau enggan) memahami penjelasan mereka. Lalu memaksakan pemahamannya sendiri untuk menghukumi pemahaman mereka. Akhirnya, mereka berada di satu lembah. Yang mengkritik berada di lembah yang lain. 

Menghukumi akidah para sufi itu nggak cukup hanya dengan merujuk awraq dan suhuf (lembaran kertas). Kita harus belajar dan menyimak langsung kepada ahlinya. Yang ahli ini harus terbukti sebagai syekh yang bersanad. Dan sanadnya bersambung kepada Rasulullah Saw. Sebagaimana ahli hadits mengenal istilah sanad riwayat, para sufi juga mengenal istilah sanad ruhani. 

Nggak sembarang orang bisa jadi mursyid. Ini kalau kita bicara mursyid sungguhan. Dan dunia tarekat dalam arti yang lurus. Orang yang jadi mursyid itu harus paham syariat, paham dasar-dasar akidah, paham ilmunya para sufi, menempuh jalan mereka, hafal banyak hadits, kecintaan mendalam kepada nabi, dan memiliki sanad ruhani dari para sufi sebelumnya. 

Itu ketentuan standar bagi para mursyid yang ada di era kita sekarang. Apalagi sekelas Ibnu Arabi, yang disebut oleh para pembesar tarekat sebagai Syekh al-Akbar itu. Nasihat kami, beradablah kepada para wali Allah dengan menuduh pemahaman Anda. Bukan menyesatkan dan merendahkan kedudukan mereka. Itulah ajaran yang kami terima dari para guru kami di al-Azhar. 

Baca juga kajian tentang Ibnu Arabi berikut :

Sumber FB Ustadz : Muhammad Nuruddin

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Pengkritik Ibnu Arabi Bukan Ahli Tasawuf". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait