Nasab, Sufi dan Otoritas Keilmuan

NASAB, SUFI DAN OTORITAS KEILMUAN

NASAB, SUFI DAN OTORITAS KEILMUAN

Saya tidak memahami ilmu nasab. Juga tidak mengikuti perdebatan seputar nasab. Tapi sesekali saya nonton. Termasuk diskusi di Rabithah Alawiyyah hari ini. Sebagai orang yang tidak paham ilmu nasab, tentu saya hanya bisa bertaklid pada orang yang lebih paham. Siapa itu? Siapa lagi kalau bukan para ulama, yang mengafirmasi Ba'alawi sebagai keturunan Nabi Saw. 

Boleh nggak sih taklid dalam urusan keilmuan itu? Ya boleh aja lah. Nggak semua manusia punya waktu untuk mendalami segala hal. Yang punya waktu pun nggak selamanya memiliki kemampuan. Yang tidak boleh taklid itu menyangkut urusan akidah pokok. Semua Muslim wajib hukumnya mempelajari dasar-dasar ilmu akidah. Karena itu fondasi agama. Sisanya boleh bertaklid. 

Kecuali kalau Anda sudah selevel alim mujtahid. Tapi kan jarang orang kaya gitu di zaman sekarang. Maka dari itu, di sini kita perlu kearifan. Sadar diri dengan keahlian masing-masing. Serahkan urusan setiap ilmu kepada ahlinya. Mau bahas fikih ya tanyalah fuqaha. Ingin tahu akidah tanya ahli ilmu kalam. Cuma saya heran dengan satu kelompok, yang suka menghukumi para sufi tanpa memahami dan menyimak maksud mereka terlebih dulu.

Belajar tasawuf nggak, ngaji sama musryid nggak, tapi kok bisa bicara seenaknya tentang dunia orang lain, yang belum dia pahami sendiri. Maunya sufi itu dipandang sesat aja. Kalau ada ibarat yang terasa musykil, langsung dihukumi A B C dst. Tanpa memahami maksud mereka, dan menyimak takwilan dari para ahlinya terlebih dulu. Padahal, kalau persoalan yang musykil itu dipaparkan oleh ahlinya, masalah bisa selesai. Dan apa yang mereka maksud kadangkala berbeda dengan apa yang kita pahami.

Tadi saya melihat pemaparan salah satu narsum yang mengutip otoritas para ulama ahli nasab dalam soal itsbat nasab. Di sini suka muncul pertanyaan, boleh nggak sih sebenarnya kita merujuk pada otoritas keilmuan dalam mendiskusikan persoalan ilmiah? Apakah itu menyalahi aturan? Tidak. Apakah itu tergolong sebagai fallacy? Bisa iya, bisa nggak. Dan saya tertarik untuk menjawab pertanyaan terakhir ini.

Dalam logika informal dikenal istilah appeal to authority. Yakni suatu kecacatan berpikir di mana kita mengesampingkan argumen yang sahih dengan merujuk pada otoritas semata. Padahal otoritas itu sendiri nggak punya dalil. Pendeknya, kita hanya mengikuti apa kata orang banyak, lalu mengabaikan argumentasi sama sekali. Dengan alasan bertentangan dengan otoritas itu. 

Kalau ini jelas fallacy. Karena di situ ada pengabaian terhadap argumentasi. Tapi apakah merujuk pada otoritas itu salah secara mutlak? Ya nggak juga. Merujuk pada otoritas itu sah apabila terbukti bahwa otoritas yang dirujuk itu memiliki kesahihan argumentasi. Saya misalnya merujuk pada penelitian para dokter yang mengatakan penyakit A itu berbahaya. 

Perujukan itu saya lakukan, karena saya tahu bahwa para dokter pastilah bersepakat dengan landasan ilmu, argumentasi dan data yang valid. Manakala itu sudah terbukti benar, berasaskan dalil, dan kita jadikan rujukan, tentu itu sah-sah aja. Dan itulah sebetulnya logika yang bisa kita bangun ketika kita menerima ijma para ulama.

Ijma itu diterima bukan semata-mata karena disepakati orang banyak, atau diamini oleh ulama semata. Tapi dia diterima karena ia sudah pasti berlandaskan dalil. Karena ijma tidaklah disebut ijma kecuali ada dalilnya.  Kalau ijma itu diterima, maka penerimaan itu didorong karena adanya dalil di balik kesepakatan. Bukan hanya karena kesepakatan belaka. Ini yang kadang tidak dipahami oleh sebagian orang. 

Terlepas dari urusan nasab, saya kira ketentuan serupa berlaku dalam melihat dunia tasawuf. Sebagaimana perkara nasab perlu diserahkan kepada para pakarnya, yang mengetahui kaidah-kaidah keilmuannya dengan baik, ya bicara tasawuf dan para sufi juga harus begitu. Serahkan kepada yang ahlinya. Apalagi ilmu mereka melibatkan rasa dan pengalaman spiritual yang tidak dialami oleh semua orang. Dan kesalahpahaman kita boleh jadi disebabkan karena kita tidak memiliki pengalaman itu. 

Masalah muncul ketika ada orang-orang yang enggan menerima ketentuan tersebut. Ingin menilai suatu kaum dengan istilah yang dipahami oleh dirinya dan kaumnya sendiri. Maunya menyesatkan dan menyalahkan aja. Padahal otoritas dalam sebuah dunia keilmuan itu penting untuk dipertimbangkan. Meskipun dia bukan satu-satunya sandaran. Otoritas itu sah dijadikan pijakan kalau dia punya dalil yang sahih. Kalau tidak, maka dia sah untuk ditolak. Selama ada argumen pembanding yang jauh lebih kuat. Demikian. 

Baca juga kajian tentang Nasab berikut :

Sumber FB Ustadz : Muhammad Nuruddin

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Nasab, Sufi dan Otoritas Keilmuan". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait