Pendapat para ahli sudah saya kemukakan. Mengutip pendapat ahli itu sah dalam kajian ilmiah. Bahkan itu diperlukan demi menunjukkan bahwa klaim yang kita suguhkan itu memiliki pijakan keilmuan yang jelas. Bukan pendapat yang asing, syadz, nyeleneh dan lain-lain. Buktinya banyak ahli mengamini itu. Termasuk ahli akidah dan tafsir. Bukan hanya para sufi.
Bagi saya pribadi, klaim keberawalan Nur Muhammad itu nggak memerlukan dalil banyak2. Banyaknya wali dan ulama besar yang menganut itu sudah cukup untuk menjadi bukti bahwa akidah itu ada landasannya. Sebagian dalil itu bisa kita tahu. Tapi sebagian yang lain mungkin nggak kita ketahui. Yang jelas, kalau kepakaran sudah teruji, nggak mungkin lah banyak ahli menyuguhkan akidah yang nihil argumentasi.
Kamu pergi ke dokter nih untuk berobat. Kira-kira kalau dokter memberikan penjelasan, sambil memberi resep, itu kamu masih perlu nanya dalil nggak sih? Andai kata kamu nggak puas, kamu akan menerima resep dia kan? Karena nalar manusia normal itu bisa percaya dengan keahlian. Boleh kamu kritik, kalau kamu seorang dokter. Dan tahu ilmu kedokteran.
Kalau orang awam, nggak tahu apa2 tentang kedokteran, apa pantas bersikap kritis kepada dokter? Dokter itu ya pasti menyampaikan sesuatu berdasarkan ilmu. Ada landasannya. Perkara dia nggak bilang, ya itu bukan berarti alasan itu nggak ada! Sebagai orang awam, kalau kita percaya sama mereka, kepercayaan dan penerimaan terhadap mereka itu hal yang wajar dan masuk akal.
20 dokter bilang penyakit itu berbahaya. Tapi ada mahasiswa kedokteran S1 bilang, "oh nggak itu. Itu batil itu!" Kira-kira kamu percaya yang mana? Pantas nggak kira-kira pendapat mahasiswa S1 itu diambil. Lalu pernyataan 20 dokter itu diabaikan begitu saja, dengan alasan kita harus bersikap kritis? Apakah itu sikap yang ilmiah? Mempertimbangkan perkataan ahli itu bagian dari sikap ilmiah.
Itu bisa kita amini dalam konteks kodekteran. Kenapa logika yang sama nggak kita bangun ketika membaca pendapat para ulama, yang benar-benar ulama, dan terbukti keulamannya? Dalam tradisi kepesantrenan biasanya ada Bahsul Masail. Ada sosok-sosok yang kalau disebut pendapatnya itu orang langsung taslim (menerima). Di samping dalil2 tentunya.
Bukan karena fanatik, tapi karena penerimaan itu dibangun di atas kesadaran bahwa tokoh tertentu itu, kalau sudah bicara, pasti ada dalilnya. Dalam setiap disiplin ilmu biasanya ada sosok-sosok yang ditokohkan semacam itu. Bahwa dalam kajian ilmiah itu harus ada argumen, betul. Tapi kajian ilmiah juga yang menuntut kita untuk bicara sesuai dengan metode dan mempertimbangkan pendapat para ahli.
Dengan logika yang sama, saya berharap para pelajar Muslim mampu bersikap serupa terhadap kearifan para wali. Dan akidah yang mereka anut seputar Nur Muhammad itu. Betul, ustadz, kasyaf dan pengetahuan para wali itu harus diukur dengan al-Quran dan Sunnah. Tapi apakah Anda lupa bahwa mereka itu sudah jauh lebih lama membaca sekaligus meresapi al-Quran dan Sunnah sebelum kita?
Betul pengetahuan mereka itu harus diukur dengan al-Quran dan Sunnah. Tapi kita nggak bisa mengabaikan maksud dan penjelasan mereka juga. Jangan dengan alasan itu kemudian kita membatilkan akidah mereka, dengan dalil al-Quran dan Sunnah. Padahal itu al-Quran dan Sunnah versi pemahaman dangkal kita saja. Dan kita sendiri belum seutuhnya mengetahui penjelasan mereka. Bahkan bisa jadi kita salah paham. Dan maksud mereka benar.
Para sufi itu mestinya ditempatkan pada penghormatan yang tinggi. Kalau ada perkataan mereka yang zahirnya bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah, kita bisa mentakwilnya. Karena terkadang maksud yang mereka inginkan itu berbeda dengan apa yang kita pahami. Pengalaman spiritual itu bukan perkara yang ringkan. Untuk mengkespresikannya, kadang-kadang bahasa tidak cukup untuk menampung.
Karena itu, kita tidak perlu heran dengan syathahat (ekspresi teofanik) yang kerap kita jumpai dari para sufi itu. Tinggal diberikan takwilan saja. Sebagai penghormatan kita atas kedudukan mereka. Anda boleh tidak setuju dengan sikap semacam ini. Tapi inilah prinsip yang saya tempuh. Para wali itu adalah mutiara. Mutiara dan batu kali itu sama-sama batu. Kita dan mereka sama-sama manusia. Tapi maqam kita nggak sebanding dengan mereka.
Sebagai bentuk kajian ilmiah, di tulisan selanjutnya kita akan paparkan dalil-dalil itu. Tidak bermaksud untuk memaksa. Yang mau percaya, silakan. Tidak juga nggak apa-apa. Tapi kalau bersikukuh memandang akidah itu batil, nanti dulu. Kebatilan akidah itu harus dibuktikan bahwa dia menyalahi teks al-Quran, hadits mutawatir, atau hukum akal yang bersifat pasti. Dan para pengingkar akidah Nur Muhammad, sejauh yang saya lihat, tak ada yang berhasil membuktikan itu.
Kadang-kadang mereka merujuk pada konsep akidah yang salah, dan mengabaikan konsep yang tepat. Mereka membuktikan kepalsuan hadits. Padahal sandaran kita bukan hanya hadits. Tapi juga al-Quran dan isyarat beberapa hadits lain. Mana itu? Baru saya tulis 5 halaman. Dan insya Allah akan disebarkan ketika sudah selesai. Demikian.
Baca juga kajian tentang Nur Muhammad Berikut:
Yang Pro tentang Nur Muhammad :
- Mengakui Kenabian Ruhani
- Hadits Jabir dan Akidah Muhaqqiqin
- Mereka Merujuk Pada Konsep Akidah Yang Salah
- Pengakuan Syekh Ali dan Imam Al-Bushiri
- Nur Nabi Muhammad
- Nur Muhammad Dalam Pengakuan Para Ulama Sunni
- Menakar Keilmiahan AST
- Haditsnya Palsu, Tapi Maknanya Boleh Jadi Benar
- Pengakuan Mawlana Al-Ghumar
- Berhati-hatilah Dalam Menyalahkan Pendapat Para Ulama
Yang Kontra tentang Nur Muhammad :
- Sumber Ajaran Nur Muhammad
- Ajaran Nur Muhammad Dari Mana Asalnya?
- Kitab Yang Membantah Konsep Akidah Nur Muhammad
- Yang Akan Segera Dituduh Wahabi
- Pilih Pendapat Yang Mana?
- Ragam Pendapat Tentang Nur Muhammad
- Intermezo Sejenak Bahasan Nur Muhammad
- Hadits-Hadits Tentang Nur Muhammad
- Benarkah Nur Muhammad Dihukumi Qadim Karena Berasal Dari Allah?
- Makna Qadim Untuk Nur Muhammad
Sumber FB Ustadz : Muhammad Nuruddin
Paling jauh yang bisa dikatakan cuma lemah, adapun mengeluarkan pendapat ini dari qaul ahlussunah itu sangat jauh, separuh ahlusunnah beritiqad dg itikad tidak sunny setelah era? Apalagi mengatakan syaz dan batil, jumhur ahlusunnah syaz dan batil, apa lagi yang tersisa dr aljamaah? Apalagi setelah era tahqiq, melihat kalam rijal hanya sebagai rijal itu bermasalah, apalagi dengan alasan ini lagi ngebahas ilmiyah, seolah ulama mu'tabarin tidak ilmiyah dan kita ilmiyah. Jika perdebatan diluar ahlusunnah mgkin mereka bisa mengatakan bahwa kalam rijal bukan hujjah, begitu juga jika yang berbicara sesama aimmah, tp bg kita, dan umumnya orang, kalam rijal jelas hujjah, terutama kalau jumlahnya besar, yang bisa kita katakan manakah yang menurut kita lebih kuat, dg tidak membuang pendapat lain. Jangan sampai kebiasaan memandang perkara khilafiyah ulama seperti madrasah tarjihy, ala wahabi, ngebuang semua pendapat berbeda
by Ustadz : Fauzan Inzaghi