Memahami Perbuatan Allah Dalam Perspektif Asy'ariyah Dan Maturidiyah; Pembahasan Sifat Takwin
Oleh Ustadz : Abdul Wahab Ahmad
Sebenarnya ini adalah tema yang selama ini hanya saya jelaskan di forum kajian offline atau di kelas saya mengajar di Ma'had Aly Jurusan Akidah-Filsafat di mana saya dapat menjelaskannya sesuai dengan kemampuan para hadirin, ada papan tulis dan proyektor serta ada sesi tanya jawab yang memadai. Kalau ditulis untuk umum, butuh ruang agak panjang agar pembaca umum tidak salah paham. Tapi berhubung isu ini telah dimunculkan oleh sebagian ahli bid'ah untuk mengesankan penalaran Asy'ariyah konyol, maka akan saya bahas dengan bahasa yang saya usahakan semudah mungkin dalam poin-poin terpisah disertai contoh-contoh yang jelas. Meski disederhanakan, persoalan ini tetap butuh banyak pendahuluan agar dipahami secara utuh.
Berikut poin-poin bahasannya:
1. Pada tulisan sebelumnya telah kita bahas mengenai bagaimana perbuatan Allah itu terjadi di mana prosesnya sama sekali berbeda dengan proses perbuatan manusia. Perbuatan manusia (makhluk) pasti meniscayakan adanya perubahan yang terjadi pada diri manusia itu sendiri selaku fa'il atau pelaku, seperti ketika manusia menciptakan sesuatu, maka tubuh manusia itu bergerak ke sana kemari melakukan ini dan itu sebagai wujud perbuatannya. Kenapa demikian, sebab manusia itu jisim yang pastinya untuk melakukan sesuatu harus bergerak dan berubah. Tetapi kasusnya berbeda ketika yang dibahas adalah Allah yang memang bukan jisim. Ketika Allah memberi rizki pada seseorang, Allah sama sekali tidak mengalami perubahan atau pergerakan apa pun, namun orang itulah yang mengalami perubahan dari sebelumnya tidak punya rizki menjadi punya rizki. Ketika Allah mematikan seseorang, Allah sendiri tidak berubah atau bergerak, tapi manusia itu sendiri yang berubah kondisinya dari awalnya hidup menjadi mati. Dalam hal ini, seluruh Asy'ariyah mau pun Maturidiyah sepakat 100%.
Semua Ahlussunnah sepakat bahwa perbuatan Allah tidak membuat Allah mengalami perubahan kondisi sebab hanya membuat makhluk berubah kondisi. Inilah yang mereka istilahkan dengan kalimat bahwa perbuatan Allah melekat di makhluk dalam arti perubahannya terjadi di makhluk, bukan di Allah sendiri.
Yang tidak sepakat soal ini hanya aliran mujassimah yang meyakini Allah sebagai jisim sehingga mekanisme perbuatan Allah dianggap sama dengan perbuatan manusia di mana Allah-nya sendiri dianggap bergerak dan berubah kondisi ketika melakukan sesuatu. Mereka berkata bahwa Allah mengalami perubahan sehingga perbuatannya juga melekat pada diri Allah sendiri. Kalau memakai perspektif aliran sesat mujassimah ini, tentu saja tidak berlaku ayat "laisa kamitslihi syai'un".
2. Lalu perbuatan Allah yang perubahannya hanya terjadi pada makhluk ini berkaitan dengan sifat apa saja? Di sinilah Asy'ariyah dan Maturidiyah berbeda dalam hal klasifikasinya. Menurut Asy'ariyah hanya melibatkan dua sifat, sedangkan menurut Maturidiyah melibatkan tiga sifat, seperti akan dibahas dalam poin berikutnya.
Perbedaan klasifikasi hanya perbedaan perspektif ilmiah sehingga hal ini tidak menyebabkan Asy'ariyah mau pun Maturidiyah saling membid'ahkan satu sama lain. Ada saling kritik antara dua kelompok Aswaja ini, seperti halnya akan terlihat nanti, tapi itu hanya perdebatan ilmiah dalam hal-hal yang memang dapat ditolerir, bukan dalam hal pokok (ushul) akidah.
3. Dalam perspektif Asy'ariyah, perbuatan Allah hanya terkait dengan dua sifat saja, yakni sifat Qudrah (kuasa) dan sifat Iradah (kehendak). Sifat iradah terkait dengan karakter dan ciri-ciri yang dikehendaki untuk diwujudkan, sedangkan sifat Qudrah terkait dengan kemampuan untuk mewujudkan apa yang dikehendaki tersebut. Misalnya, ketika Allah berkehendak menciptakan planet bumi yang bentuknya bulat, letaknya di antara Venus dan Mars, permukaannya memuat banyak air, terbentuknya di waktu tertentu setelah tahapan big-bang yang panjang, dan seterusnya, maka dalam hal ini sifat iradah yang berperan. Adapun sisi kemampuan Allah untuk mewujudkan semua iradah itu di waktu yang dikehendaki, maka ini peran sifat qudrah.
Bagi Asy'ariyah, sama sekali tidak diperlukan klasifikasi sifat ketiga yang terlibat dalam perbuatan Allah sebab dengan kedua sifat ini saja sudah cukup sebuah perbuatan Allah dapat terlaksana. Desain dan detailnya bagian sifat iradah, sedangkan penciptaannya dari tiada menjadi ada adalah bagian dari qudrah Allah yang tidak terbatas.
4. Baik qudrah dan iradah adalah qadim dalam arti tidak mempunyai awal mula sehingga sudah ada sebelum semesta tercipta. Ini adalah poin yang disepakati semua Ahlussunnah.
Namun sampai poin ini ada pertanyaan, bagaimana bisa sifat qudrah dan iradah disebut qadim, padahal kan perbuatannya punya awalan? Jawabannya, yang punya awalan hanya sisi eksekusinya (tanjizi) saja. Sedangkan secara potensial (shuluhi) sifat qudrah dan iradah tetap tidak punya awal mula. Maksudnya, Allah sejak semesta belum tercipta sudah punya kemampuan untuk mencipta, memberi, menghidupkan, mematikan dan seterusnya, tapi eksekusi penciptaan, pemberian dan seterusnya itu belum dilaksanakan dan otomatis objeknya juga belum ada. Kehendak Allah untuk kapan akan terjadi waktu penciptaan, pemberian dan seterusnya itu juga sudah ada sejak semesta belum tercipta sehingga tidak ada kehendak yang baru kepikiran oleh Allah. Semua tentang Allah sudah sempurna tanpa awal mula (qadim), tidak ada kemampuan baru atau kehendak baru sebab kebaruan menunjukkan keterbatasan.
Akhirnya, menurut Asy'ariyah sifat qudrah dan iradah dibagi menjadi sisi, yaitu sisi potensial yang qadim (shuluhi qadim) dan sisi eksekusi yang hadits (tanjizi hadits). Sisi yang qadim tentu bukan makhluk dan melekatnya di Allah sendiri. Sedangkan sisi yang hadits (punya awal mula) dan melekat pada diri makhluk.
Saya ulang contohnya agar lebih memudahkan, misalnya Allah berkehendak agar Fulan lahir tahun 1980, diberi rezeki istri tahun 2005 dan mati tahun 2040, maka kehendak tersebut sudah ada sebelum semesta tercipta dan kuasa untuk mewujudkannya juga sama sudah ada sebelum semesta tercipta. Ini yang dimaksud sisi potensial yang qadim (shuluhi qadim). Sedangkan perwujudan kelahiran si Fulan di tahun 1980, pernikahannya di tahun 2005 dan kematiannya di tahun 2040 adalah sisi eksekusi yang hadits (tanjizi hadits). Sisi tanjizi ini meniscayakan perubahan pada kondisi si Fulan, dan ini semua ada awal mulanya.
5. Sampai poin ini muncul masalah teknis soal penyebutan Allah. Apakah bisa Allah disebut sebagai Maha Pencipta (al-Khaliq), Maha Pemberi (ar-Razzaq), Maha Menghidupkan (al-Muhyi), Maha mematikan (al-Mumit) dan seterusnya sebelum semesta tercipta yang tentu saja perbuatan itu belum terlaksana? Asy'ariyah tegas menjawab: Bisa, sebab gelar ini adalah tentang sisi shuluhi qadim di atas. Penyebutan ini seringkali disebut sebagai Asma' atau nama-nama Allah, sebagian lagi menyebutkannya sebagai al-washfu atau gelar.
Lalu bisakah Allah sebelum semesta tercipta disebut sebagai mencipta (khalaqa), memberi (razaqa), menghidupkan (ahya), mematikan (amata) dan seterusnya? Jawaban Asy'ariyah tegas: tidak bisa, sebab sudah jelas bahwa itu semua belum terjadi. Perbuatan ini adalah sisi tanjizi hadits yang seringkali disebut sebagai al-sifat al-fi'liyah (sifat-sifat perbuatan Allah). Penjelasan soal ini dalam versi paling sederhana yang mudah dipahami dapat dibaca dalam uraian Imam Abu Ishaq asy-Syairazi dalam Syarh al-Luma'.
Dengan kata lain, Asy'ariyah membedakan antara mengatakan "Allah Maha Pencipta" dengan mengatakan "Allah menciptakan". Sebelum alam semesta tercipta, Allah sudah Maha Pencipta tapi belum melakukan penciptaan; Allah juga sudah Maha Pemberi, tapi belum melakukan pemberian, dan seterusnya. Makna shuluhi ini dicontohkan oleh Abu Adzabah al-Maturidi dalam ar-Raudlah al-Bahiyyah dengan contoh tukang tenun tetaplah disebut tukang tenun dalam arti orang yang mempunyai kemampuan menenun kain, meskipun saat itu dia tidak sedang menenun apa pun. Contoh lainnya adalah dokter tetaplah disebut dokter meskipun tidak sedang memeriksa pasien, guru tetaplah guru meskipun tidak sedang mengajar dan seterusnya sehingga kita dapat memahami bahwa Maha Pencipta tetaplah Maha Pencipta meskipun tidak sedang mencipta.
6. Kesimpulannya, menurut Asy'ariyah sisi penciptaan suatu kejadian dari tidak ada menjadi ada (takwin) adalah hal yang baru atau makhluk. Disebut baru sebab penciptaan (takwin) jelas punya awal mula. Dengan kata lain, berarti ada dua hal yang baru atau makhluk, yaitu: tindakan penciptaannya (takwin) dan objek yang diciptakan itu (mukawwan).
Dengan redaksi yang berbeda lagi, takwin dan mukawwan adalah satu paket yang sama-sama baru. Sebab satu paket, maka takwin dan mukawwan pasti tidak dapat dipisahkan, di mana ketika ada penciptaan fulan, maka di situ otomatis ada si fulan itu sendiri, seperti ketika ada pukulan (dlarb) maka otomatis ada objek yang dipukul (madlrub). Inilah yang dimaksud tokoh-tokoh Asy'ariyah ketika mengatakan bahwa takwin adalah mukawwan itu sendiri (at-takwin huwa al-mukawwan atau at-takwin 'ain al-mukawwan) sebab dalam realitasnya tidak dapat dibayangkan adanya takwin tanpa adanya mukawwan dan keduanya adalah hadits (tidak qadim).
Bagaimana bisa dibayangkan ada pukulan kalau yang dipukul belum ada? Kalau penciptaan dianggap sudah ada sejak tanpa awal mula, maka konsekuensinya objeknya akan qadim pula, sedangkan keberadaan yang qadim selain Allah adalah mustahil. Inilah perspektif Asy'ariyah yang akhirnya melahirkan kesimpulan bahwa antara takwin dan mukawwan mustahil dipisah berdiri sendiri dengan hukum yang berbeda.
7. Akan tetapi Maturidiyah punya perspektif yang sedikit berbeda. Menurut mereka, perbuatan Allah tidak hanya terkait dengan sifat qudrah dan iradah, tapi juga satu lagi sifat makna yang mereka sebut sebagai takwin. Menurut mereka, takwin berarti penciptaan sesuatu dari tidak ada menjadi ada. Ini berarti takwin dalam versi Maturidiyah bukan sub dari Qudrah seperti perspektif Asy'ariyah namun sesuatu yang setara dengan qudrah dan iradah.
Menurut Maturidiyah, seperti misalnya dijelaskan oleh an-Nasafi dalam kitab Aqaidnya atau al Farhari dalam al-Nibras, sifat Takwin harus ada di samping qudrah dan iradah sebagai sifat wajib yang azali sebab tidak bisa Allah disebut Mukawwin (Sang Pencipta) apabila Dia tidak punya sifat takwin (penciptaan). Ditambah lagi, dalam kalamullah yang qadim Allah sudah menyebut dirinya sebagai al-Khaliq yang berarti pencipta, dengan demikian maka pasti ada sifat khalq (penciptaan) yang qadim juga sebab mustahil Allah mempunyai sifat yang hadits (tidak qadim).
al-Farhari al-Maturidi dalam al-Nibras menjelaskan bahwa orang terdahulu menghindar dan merasa tidak enak untuk menyebut Allah sebagai al-Khaliq (Maha Pencipta) secara mutlak dan lebih memilih sekedar menyebutnya sebagai al-mujid (yang menjadikan ada) atau al-mukhtari' (desainer awal), padahal al-Qur'an sudah menyebut Allah sebagai al-Khaliq secara mutlak.
Perlu diketahui, sebagaimana dijelaskan oleh al-Farhari dalam al-Nibras, istilah takwin adalah sama dengan istilah fa'l, khalq, takhliq, ijad, ihdats, ikhtira', shan', dan ibda'. Semuanya bermakna membuat sesuatu menjadi ada dari semula tidak ada. Jadi, jangan bingung dengan perbedaan istilah ini.
8. Bagi Maturidiyah, sifat qudrah Allah hanyalah tentang sisi yang oleh Asy'ariyah disebut sebagai sisi shuluhi qadim. Adapun sisi yang tanjizi, oleh Maturidiyah disebut sebagai sifat takwin. Contohnya demikian: Sejak sebelum semesta tercipta, Allah sudah punya kehendak yang qadim dan juga punya kemampuan yang qadim untuk membuat Fulan lahir pada tahun 1980. Namun untuk benar-benar menciptakan Fulan di tahun 1980 tersebut, ada satu sifat lagi yang berperan, yakni sifat takwin atau sifat penciptaan. Dengan demikian, ketika Fulan betul-betul tercipta pada tahun 1980, ada tiga sifat Allah yang terlibat, yakni sifat iradah (kehendak), qudrah (kuasa) dan takwin (penciptaan).
Skemanya adalah sebagai berikut: Sifat iradah menentukan bentuk dan detail, sifat qudrah merupakan kemampuan umum untuk mencipta atau tidak, sedangkan sifat takwin merupakan sifat yang memastikan bahwa Allah benar-benar mencipta sesuatu dari tiada menjadi ada.
9. Sampai poin ini ada satu pertanyaan penting. Kalau takwin posisinya setara dengan qudrah dan iradah, lalu berarti takwin juga qadim (tidak punya awal mula), bagaimana bisa disebut qadim padahal penciptaan Fulan dalam contoh di atas baru dimulai 1980? Bukankah takwin seharusnya tidak dapat dipisah dari mukawwan?
Untuk menjawabnya, Maturidiyah akhirnya membagi istilah takwin menjadi dua makna, seperti halnya Asy'ariyah membagi qudrah menjadi dua sisi; Abu Adzabah al-Maturidi dalam ar-Raudlah al-Bahiyyah menjelaskan bahwa istilah takwin mempunyai dua makna, yakni: Pertama, sebagai sifat Allah yang qadim yang menyebabkan terjadinya perbuatan Allah. Kedua, sebagai keterkaitan (ta'alluq) antara sifat Allah tersebut dengan objek yang terkena perbuatan. Untuk memudahkan, sebut saja keterkaitan ini sebagai sisi eksekusi dari sifat takwin dalam makna pertama. Makna kedua sebagai keterkaitan/eksekusi ini tentu saja meraka akui sebagai sesuatu yang hadits (tidak qadim).
Keterkaitan antara sifat Allah dengan objeknya ini bisa punya beragam nama; Bila keterkaitannya dalam hal menjadikan yang tiada menjadi ada, maka disebutlah sebagai penciptaan (ijad/khalq). Bila keterkaitannya dalam hal menjadikan yang tidak punya rizki menjadi punya rizki, maka disebutlah sebagai pemberian rizki (irzaq), dan seterusnya. Sisi keterkaitan ini tentu saja hadits, sama seperti sisi tanjizi menurut Asy'ariyah. Dalam contoh penciptaan Fulan di atas, Allah telah mempunyai sifat yang disebut "penciptaan Fulan" sejak sebelum alam semesta ada, tapi eksekusi terwujudnya penciptaan Fulan memang baru ada pada tahun 1980 sesuai kehendak dan pengetahuan Allah.
Tapi bukan makna kedua ini yang dimaksud oleh Maturidiyah ketika menyebut kata "takwin" secara umum, melainkan sisi sifat Allah yang qadim tersebut. Apabila pemilahan makna takwin sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Adzabah di atas digunakan dengan konsisten, tentu tidak ada perdebatan yang berlarut sebab sebenarnya ini sama dengan pemilahan qudrah dari perspektif shuluhi qadim dan tanjizi hadits, tapi sayangnya istilahnya selalu rancu di mana pihak Asy'ariyah seringkali bermaksud pada sisi keterkaitan yang pasti hadits itu sedangan pihak Maturidiyah bermaksud pada sisi yang qadim itu. Inilah yang menyebabkan adanya saling kritik yang sebetulnya hanya perbedaan perspektif saja, bukan perbedaan substantif.
10. Objek yang terkena perbuatan Allah disebut sebagai Mukawwan. Jadi, ada tiga istilah di sini yang harus dipahami, yaitu: Allah sebagai Mukawwin (pencipta), takwin sebagai sifat penciptaan dan mukawwan sebagai objek yang diciptakan.
Maturidiyah membedakan antara takwin dan mukawwan. Takwinnya sendiri mereka anggap qadim sedangkan mukawwan mereka anggap hadits. Bagi mereka, kasusnya sama seperti qudrah (kemampuan) adalah qadim, tapi maqdurat (hal--hal yang dimampui) adalah hadits, sama' (sifat pendengaran) adalah qadim tapi masmu'at (hal-hal yang didengar) adalah hadits dan seterusnya.
Dengan demikian, Maturidiyah tidak sepakat dengan Asy'ariyah pada poin 6 di atas yang menganggap takwin adalah satu paket dengan mukawwan. Bagi mereka, takwin adalah satu hal yang sifatnya qadim sedangkan mukawwan adalah hal yang berbeda yang sifatnya hadits. Sebab itu, kitab-kitab Maturidiyah selalu menegaskan bahwa takwin berbeda dengan mukawwan (at-takwin ghair al-mukawwan) dalam arti keduanya memang dua hal yang terpisah dengan hukum yang berbeda pula.
Bagi Maturidiyah, Takwin adalah salah satu sifat ma'ani Allah seperti halnya sifat sama' (pendengaran), bashar (penglihatan), qudrah (kuasa) dan iradah (kehendak). Sedangkan mukawwan bagi mereka adalah objek sifat itu seperti halnya masmu' (objek yang didengar), mabshur (objek yang dilihat), maqdur (objek yang dimampui) dan murad (objek yang dikehendaki). Takwinnya qadim, sedangkan mukawwan hadits.
11. Beberapa Maturidiyah melontarkan kritik kepada Asy'ariyah yang sepintas seolah menyamakan antara takwin dan mukawwan seperti dalam poin 6. Imam an-Nasafi al-Maturidi misalnya, ia berkata bahwa menyamakan takwin dengan mukawwan berarti sama seperti menyamakan antara pukulan dan objek yang dipukul, antara penciptaan dan objek yang diciptakan. Penyamaan ini tentu saja jelas salahnya menurut siapa pun.
12. Asy'ariyah, di antaranya adalah at-Taftazani al-Asy'ari, menjawab kritik pada poin 11 di atas seperti uraian di poin 6 bahwa yang dimaksud takwin dan mukawwan adalah sama adalah keduanya tidak dapat dipisahkan sebab merupakan satu kesatuan secara empiris. Ketika ada pukulan, tentu ada objek yang dipukul di mana pukulan tersebut terjadi pada objek tersebut. Ketika ada objek yang dipukul, tentu ada pukulan yang mengenai objek tersebut. Pukulan dan objek yang dipukul tidak pernah terpisah berdiri sendiri dalam realitas empiris yang kita lihat. Tapi harus dicatat bahwa sama sekali bukan berarti Asy'ariyah menyamakan antara makna pukulan dan objek yang dipukul, seperti diasumsikan oleh Maturidiyah. Imam at-Taftazani al-Asy'ari dalam syarahnya atas penjelasan an-Nasafi di atas berkata:
فإن من قال: التكوين عين المكون أراد أن الفاعل إذا فعل شيئاً فليس هاهنا إلا الفاعل والمفعول، وأما المعنى الذي يعبر عنه بالتكوين والإيجاد ونحو ذلك فهو أمر اعتباري يحصل في العقل من نسبة الفاعل إلى المفعول، وليس أمراً محققاً مغايراً للمفعول في الخارج ولم يرد أن مفهوم التكوين هو بعينه مفهوم المكون ليلزم المحالات.
"Sesunnguhnya ulama yang berkata bahwa takwin adalah mukawwan itu sendiri, maksudnya adalah ketika pelaku (fa'il) melakukan sesuatu, maka di sini tidak ada kecuali pelaku dan objek yang dilakukan itu. Adapun makna yang disebut sebagai takwin, penciptaan dan semacamnya maka itu adalah soal perspektif hubungan antara pelaku dan objek yang ada dalam akal, bukan berupa hal yang berdiri sendiri yang secara empiris terpisah dari objek. Tapi maksudnya bukan berarti bahwa makna takwin adalah hakikat dari mukawwan itu sendiri sehingga bisa disimpulkan pada hal-hal yang mustahil." (at-Taftazani, Syarh Aqaid Nasafiyah)
Imam Taftazani kemudian menegaskan bahwa perbuatan dan objek perbuatan adalah dua hal yang berbeda dalam akal manusia, seperti halnya orang dapat memahami perbedaan antara hakikat benda dan warna hitam yang melekat pada benda tersebut. Akan tetapi di dunia nyata, antara benda dan warna hitamnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dalam wujud satu barang yang disebut "benda hitam". Takwin dan mukawwan juga demikian, dalam pemahaman akal keduanya merupakan dua hal yang berbeda tapi dalam observasi merupakan satu kesatuan yang sama dalam satu objek sehingga di mana ada takwin maka di situ juga ada mukawwan. Dengan kata lain, wujud takwin itu terlihat dalam wujud perubahan mukawwan itu sendiri.
Kesimpulannya, semua mengakui bahwa perbuatan Allah dan objek yang terkena perbuatan adalah dua hal yang berbeda. Perbedaannya hanya soal perspektif yang mana menurut Asy'ariyah, perubahan yang terjadi pada objek itulah yang disebut sebagai perbuatan Allah (fi'lullah). Sedangkan dalam perspektif Maturidiyah, yang disebut perbuatan Allah (fi'lullah) bukan perubahan di objek tersebut tapi sifat qadimah yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut. Ada pun perubahan yang terjadi di objek, menurut Maturidiyah adalah bagian dari mukawwan (yang oleh sebagian Maturidiyah disebut sebagai takwin dalam arti keterkaitan antara sifat Allah dengan objeknya).
13. Dengan ini, maturidiyah mencoba konsisten antara menetapkan asma' dan shifat atau antara sebutan "Yang Maha Pencipta" dengan perbuatan "menciptakan". Karena Allah sudah Maha Pencipta sejak sebelum semesta tercipta, maka bagi mereka otomatis Allah sudah melakukan penciptaan sebelum semesta ada. Ibnu Adzabah al-Maturidi berkata bahwa Asy'ariyah tidak konsisten dari sudut pandang bahasa sebab memisahkan antara sebutan Maha Pencipta (al-khaliq) dan perbuatan penciptaannya (al-khalq). Kalau tidak ada perbuatan penciptaan maka bagaimana bisa disebut Maha Pencipta? Agar tidak jatuh pada inkonsistensi secara bahasa, maka Maturidiyah menyelaraskan antara perbuatan (sifat) dan sebutan bagi Allah (asma') yang bagi mereka sama-sama qadim.
Asy'ariyah menjawab menjawab pertanyaan di poin 13 di atas dengan penjelasan sebagaimana di poin 5 di atas.
14. Di sisi lain, Asy'ariyah menganggap pemisahan takwin dan mukawwan tidak tepat sebab bagaimana bisa disebut ada perbuatan mencipta tapi objek yang diciptakan belum ada tatkala semesta belum tercipta? Kalau saja perbuatan mencipta oleh Allah sudah ada sejak tanpa awal mula (qadim), maka secara logika harusnya objek yang diciptakan itu juga sudah ada sejak tanpa awal mula (qadim juga). bagi Asy'ariyah, pendapat seperti Maturidiyah ini akan berkonsekuensi menganggap alam semesta qadim, padahal ini jelas salah.
Maturidiyah menjawab pertanyaan ini sebagaimana di poin 10 di atas di mana mereka menyamakan sifat penciptaan seperti pendengaran, penglihatan, kuasa dan kehendak Allah yang sudah ada sejak tanpa awal mula (qadim) meskipun objek yang diciptakan, didengar, dilihat, dikuasai dan dikehendaki baru ada belakangan (hadits).
15. Baik Asy'ariyah mau pun Maturidiyah, keduanya sepakat bahwa perbuatan Allah (takwin) yang terjadi pada makhluk (mukawwan) adalah keterkaitan (ta'alluq) antara sisi qadim dan sisi qadim. Hanya saja keduanya berbeda dalam pemetaannya. Asy'ariyah menyebut sisi qadim tersebut adalah sifat qudrah sedangkan Maturidiyah menyebut sisi qadim tersebut adalah sifat takwin.
Keterkaitan di sini hanyalah soal perspektif (i'tibari), bukan entitas yang nyata berdiri sendiri seperti halnya benda. Tatkala kaitannya dengan membuat orang hidup menjadi mati, maka namanya "mematikan"; Bila kaitannya dengan membuat orang mati menjadi hidup, maka namanya adalah "menghidupkan", dan seterusnya. Jadi, istilah takwin sebenarnya mewakili semua perbuatan Allah tanpa peduli apa pun manusia menyebutnya.
Memahami hakikat takwin sebagai semata perspektif ini penting agar tidak jatuh pada tasalsul yang secara rasional merupakan hal mustahil. Bila kita anggap takwin adalah sesuatu yang ada berdiri sendiri sebagai suatu entitas, maka nanti entitas takwin ini haruslah diciptakan oleh entitas takwin lainnya. Sedangkan takwin lainnya itu juga pasti diciptakan oleh takwin lain lagi, dan demikian seterusnya tanpa akhir. Inilah yang disebut tasalsul yang disepakati kemustahilannya. Bila asumsi tasalsul ini digunakan, maka ujungnya adalah kesimpulan bahwa Allah tidak menciptakan apa pun dan bahkan dapat disimpulkan bahwa Allah sendiri tidak ada. Sebab itulah maka asumsi ini harus dibuang. Penjelasan soal ini ada di banyak kitab Asy'ariyah mau pun Maturidiyah, misal dalam karya at-Taftazani mau pun al-Farhari yang disinggung sebelumnya.
Untuk memudahkan, contohnya begini: Ketika Allah melakukan perbuatan yang disebut "pemberian rizki" pada Fulan, maka di dunia nyata yang ada hanya dua dzat, yakni Dzat Allah sebagai pelaku (mukawwin) dan Dzat Fulan sebagai objek (mukawwan). Namun demikian, ada kondisi yang terjadi pada objek Fulan yang dapat kita amati berupa perubahan dari sebelumnya tidak mendapat rizki menjadi mendapat rizki. Kondisi perubahan ini meskipun bukan suatu dzat tapi hanya kondisi si Fulan, tapi ia tidak bisa kita nafikan keberadaannya. Perubahan kondisi ini nyata dan empiris, dan perubahan inilah yang disebut sebagai takwin atau perbuatan Allah. Allah yang berbuat tapi Fulan yang mengalami perubahan, seperti poin pertama di atas.
Andai dalam contoh ini kita anggap ada tiga dzat yang ada, yaitu: Dzat Allah, Dzat Fulan dan Dzat Takwin, maka takwin ini juga pasti dihasilkan oleh takwin lainnya dan takwin lainnya itu dihasilkan oleh takwin lainnya lagi dan terus tanpa ujung. Sebab itulah maka anggapan takwin sebagai dzat mandiri adalah mustahil. Namun ia bukan berarti tidak nyata.
16. Dalam perbedaan sudut pandang ini, ada beberapa poin yang sama dan beberapa poin yang berbeda.
Kesamaannya adalah:
- Sama-sama meyakini bahwa sifat Allah semuanya qadim, tidak ada yang hadits.
- Sama-sama meyakini bahwa seluruh sisi yang hadits adanya di makhluk (disandang oleh makhluk), sama sekali tidak ada yang melekat pada Dzat Allah.
- Sama-sama meyakini bahwa Allah punya sifat perbuatan yang mengakibatkan terjadinya perubahan pada makhluk.
- Sama-sama meyakini bahwa seluruh objek yang diperbuat dan diciptakan Allah adalah hadits.
Perbedaannya adalah:
- Asy'ariyah meyakini bahwa perbuatan Allah melibatkan dua sifat saja, yakni sifat qudrah dan iradah. Sedangkan Maturidiyah meyakini bahwa perbuatan Allah melibatkan tiga sifat, yakni qudrah, iradah dan takwin.
- Asy'ariyah menganggap takwin adalah salah satu aplikasi dari sifat qudrah. Sedangkan Maturidiyah menganggap takwin adalah sifat yang setara dengan qudrah.
- Asy'ariyah meyakini bahwa sifat perbuatan Allah seluruhnya hadits sebab bagi mereka perbuatan Allah ada dan terlihat dalam bentuk objek yang diciptakan. Sedangkan Maturidiyah meyakini bahwa sifat perbuatan Allah adalah qadim sebab bagi mereka sifat perbuatan ini berbeda dari objek yang diciptakan.
17. Dalam diskusi kedua pihak Ahlussunnah Wal Jamaah di atas yang sejatinya hanya perbedaan sudut pandang, ada ahli bid'ah yang mencoba memperkeruh suasana dengan mendompleng argumen pihak Maturidiyah untuk mengkritik Asy'ariyah. Mereka meniru poin 6 dan 10 di atas tapi dengan kesimpulan yang jauh berbeda dan melenceng dari pokok perdebatan;
Ketika Maturidiyah mengatakan bahwa takwin bukanlah mukawwan dan mengkritik Asy'ariyah yang mengatakan bahwa wujud takwin adalah mukawwan itu sendiri, lantas ahli bid'ah ini menyimpulkan bahwa berarti menurut Asy'ariyah Allah tidak punya sifat perbuatan (sifat fi'liyah) sebab yang ada hanya mukawwan itu saja. Akhirnya ahli bid'ah ini menuduh Asy'ariyah menganggap hanya mengakui dua wujud, yakni wujud pelaku perbuatan (fa'il), yang dalam ini adalah Allah, dan wujud objek yang dikenai perbuatan (maf'ul) yang dalam hal ini adalah makhluk, tanpa ada wujud perbuatan (fi'l) di sana.
Tentu saja kesimpulan dan asumsi ini hanya menunjukkan ketidakpahaman mereka tentang maksud kedua belah pihak Aswaja di atas. Lihat kembali poin 12 dan 15 di atas yang menjawab kesalahan asumsi ahli bid'ah ini.
18. Perlu diketahui bahwa dalam diskusi apakah takwin dan mukawwan merupakan satu paket yang tidak terpisah atau dua hal yang berbeda satu sama lain, bukan hanya Asy'ariyah dan Maturidiyah yang berbeda pendapat. Kelompok lainnya, termasuk Hanbaliyah juga sama berbeda pendapat. Qadi Abu Ya'la ash-Shagir sebagaimana dinukil oleh Ibnu Taymiyah mengatakan:
مِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ الْخَلْقُ هُوَ الْمَخْلُوقُ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: الْخَلْقُ غَيْرُ الْمَخْلُوقِ
"Sebagian dari sahabat kami (Hanbali) berkata bahwa penciptaan adalah makhluk itu sendiri dan sebagian lainnya berkata bahwa penciptaan bukanlah makhluk". (Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawa)
Ini berarti, orang yang mengklaim dirinya sebagai Hanbali tidak bisa mengkritik Asy'ariyah hanya karena menganggap takwin dan mukawwan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah sama-sama hadits sebab dalam hal ini sebagian ulama Hanbali juga berpendapat yang sama. Secara umum, mau berpendapat apakah takwin dan mukawwan merupakan satu kesatuan atau tidak bukanlah masalah selama kesimpulan akhirnya adalah meyakini bahwa Allah bukan tempat bagi aneka perubahan, sebagaimana keyakinan Mujassimah Karramiyah.
Yang bid'ah adalah bila kesimpulan akhirnya meyakini bahwa Dzat Allah mengalami perubahan dari satu kondisi ke kondisi lain, dari diam ke bergerak, dari bertempat di atas menjadi bertempat di bawah, dari sebelumnya begini menjadi begitu dan seterusnya. ini adalah pendapat khas para mujassim Karramiyah yang sesat yang meyakini bahwa Allah adalah tempat bagi hawadits (hal-hal baru). Ujungnya, para mujassim tersebut memunculkan teori kalam yang sangat bid'ah yang bernama "hawadits la awwala laha" (hal-hal hadits tapi tidak berawal) yang dijajakan oleh salah satu tokohnya yaitu Syaikh Ibnu Taimiyah, saamahahullah.
Semoga bermanfaat.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad