Memahami Kata "Sunnah" Dengan Logika Yang Runut
Nabi Muhammad bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa yang membuat sunnah yang baik dalam Islam maka dia akan memperoleh pahala dan pahala orang yang mengikutinya, dengan tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa yang membuat sunnah yang buruk dalam Islam, maka ia akan mendapatkan dosa dan dosa orang yang mengikutinya, dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun” (HR Muslim).
Apa yang dimaksud dengan kata "sunnah" dalam hadis tersebut? Ada dua pendapat yang bertentangan yang menimbulkan konsekuensi yang panjang dalam tema pembahasan sunnah-bid'ah. Salah satunya logis dan salah satunya error secara logika, sebagaimana berikut:
1. Bila kata sunnah diartikan sebagai tindakan baru atau inovasi baru, maka berarti tindakan/inovasi baru tersebut ada yang baik dan ada yang buruk.
2. Bila kata sunnah diartikan sebagai contoh yang pernah dipraktikkan/diperintahkan oleh Rasulullah, maka berarti contoh yang pernah dipraktikkan/diperintahkan oleh Rasulullah tersebut ada yang baik dan ada yang buruk.
Pemaknaan pertama adalah pemaknaan yang runut secara logika, dan ini adalah pemaknaan para ulama Ahlussunnah wal Jamaah dari empat mazhab. Untuk memutuskan apakah sebuah tindakan layak disebut baik atau buruk, maka mereka menggunakan istinbat sesuai kaidah yang ketat sebagaimana disebutkan dalam ilmu ushul fikih. Istinbat ini bukan domain orang awam yang hanya bisa meniru dalil dari ustadznya.
Sedangkan pemaknaan kedua adalah pemaknaan syadz (nyeleneh) yang error secara logika, dan ini adalah pemaknaan Ibnu Taymiyah dan asy-Syatibi. Sudah maklum bahwa hal yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad sebagai contoh sama sekali tidak ada versi yang buruk.
Bagaimana bisa timbul pemaknaan error yang cacat logika tersebut tapi diikuti banyak orang tanpa disadari? Jawabannya adalah sebab kedua ulama tersebut tidak konsisten dalam memaknai kata "sunnah" sedangkan pengikutnya tidak teliti sebab dibutakan fanatisme. Kata "sunnah" dalam frase "sunnah yang baik" diartikan sebagai ajaran yang sudah ada contohnya, lalu kata "sunnah" dalam frase "sunnah yang buruk" diartikan sebagai ajaran yang tidak ada contohnya. Ini kesalahan fatal di mana satu kata yang sama persis dan konteksnya juga sama persis, tapi diartikan berbeda. Kalau pemaknaan yang tidak konsisten ini dipakai, maka seharusnya kata "baik" dan "buruk" tidak perlu ada sebab sifat baik atau buruk ini telah kehilangan fungsinya sebagai pembeda antara kata sunnah pertama dan sunnah kedua.
Makna hadis tersebut adalah penetapan adanya "Sunnah" yang disifati dengan sifat baik dan sifat buruk. Kata sunnah ini haruslah punya makna yang sama sehingga sifat baik atau buruk layak menempel padanya sebagai pembeda. Namun sayangnya oleh kedua ulama tadi maknanya langsung dibedakan seolah penetapan adanya "kepatuhan yang baik" dan "inovasi yang buruk". Pembedaan makna ini tidak sejalan dengan kaidah bahasa maupun logika sebab penentu baik dan buruknya bukan lagi keberadaan kata "baik" dan kata "buruk" sebagaimana disebutkan dalam hadis, tapi ada dalam kepatuhan dan inovasi itu sendiri. Akhirnya, pemaknaan hadis di atas otomatis menjadi kacau sebab makna kata "sunnah" itu sendiri menjadi tidak dapat diketahui tatkala sifat baik atau buruk tersebut dibuang.
Bila ada di antara pembaca yang masih bingung dengan penjelasan ini dan tidak paham di mana letak errornya pemaknaan ala Ibnu Taimiyah dan asy-Syatibi di atas, maka silakan tulis terjemahan hadis di atas dengan memuat kata "sunnah hasanah" dan "sunnah sayyi'ah" atau kata "sunnah yang baik" dan "sunnah yang buruk" di aplikasi Microsoft Word komputer anda. Selanjutnya gunakan fitur "replace" dengan menekan tombol ctrl+h lalu ubah kata "sunnah" dengan makna ala kedua ulama tersebut. Nanti anda akan melihat sendiri bahwa terjemah hadisnya menjadi kacau balau sebab memang logika yang digunakan adalah logika cacat. Agar terjemahnya menjadi tidak kacau balau, maka anda perlu melakukan edit ulang secara manual tapi itu sama saja dengan mendistorsi (tahrif) makna hadis itu sehingga tidak konsisten antara bagian pertama dan bagian kedua. Terjemahan hasil distorsi (tahrif) tidaklah layak disebut hadis Nabi lagi sebab sejatinya hanya pendapat pribadi dari editor. Adapun bila anda menggunakan pemaknaan para ulama muktabar di empat mazhab sebagaimana di atas, maka langkah ini tetap akan membuat terjemahnya konsisten.
Selamat mencoba dan semoga bermanfaat.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad