Ibnu Arabi Di Mata Syekh Ali Jum'ah

IBNU ARABI DI MATA SYEKH ALI JUM'AH

IBNU ARABI DI MATA SYEKH ALI JUM'AH

Di postingan sebelumnya saya sudah menyertakan kesaksian Grand Syekh al-Azhar, Ahmad at-Thayyib, atas kebesaran Ibnu Arabi. Dan sekarang lihatlah bagaimana kesaksian para sufi itu saling menguatkan satu sama lain. Kali ini ada perkataan Syekh Ali Jum'ah, Mantan Mufti Mesir, Anggota Dewan Ulama Besar al-Azhar, dan Mursyid Tarekat Syadzuliyyah di Mesir. Ini sosok alim yang bukan hanya ahli dalam ilmu syariat, tapi juga ahli dalam ilmu hakikat. 

Apa yang dikatakan oleh Syekh Ali tentang Ibnu Arabi? Pertama-tama beliau menyebut bahwa Ibnu Arabi itu bermazhab Zhahiri. Sebuah mazhab fikih yang berkembang di negeri Andalusia. Mengingat bahwa beliau hidup di kota Andalus. Karena itu, lanjut Syekh Ali, wajar jika dalam masalah tertentu, Syekh Akbar terlihat setuju dengan pendapat ulama Hanabilah dalam masalah akidah (tentunya Hanabilah yang lurus). Dan terlihat menyelisihi ulama Asyairah. 

Tapi Syekh Ali juga menegaskan bahwa Ibnu Arabi tidak bisa disebut keluar dari Asyariah secara mutlak (la yakhruj bil kulliyyah). Pendapatnya hanya sebatas keliru (khatha). Tapi tidak sampai batil (bathil). Dan, jika memang terbukti keliru, katakan saja keliru (tentu yang mengatakan keliru juga harusnya ulama, bukan orang awam). Tapi tidak bisa dipandang sampai kafir dan sesat. Syekh Ali sadar bahwa ia sedang bicara tentang seorang tokoh besar. Karena itu nggak gegabah dalam menarik kesimpulan.

Ia tahu betul ada ulama-ulama yang menyesatkafirkan Ibnu Arabi. Tapi, kata beliau, mereka itu jumlahnya SEDIKIT (wa hum qillah). Dibandingkan yang memuji dan mengagungkan. Jadi, bagi ustadz yang mengklaim bahwa ulama itu sepakat menyesatkan Ibnu Arabi, sebaiknya ia meninjau ulang perkataannya lagi. Sekelas Syekh Ali tak menyebut begitu. Kata Syekh Ali: 

ولكن الأكابر من العلماء الذين تعمقوا وقرؤوا وفهموا عرفوا أن الرجل يستحق أن يكون الشيخ الأكبر، يجب علينا أن نفهم هذا ، أما من ذهب إلى تكفيره فهم قلة لم يفهموا العبارة او قد دس عليه

"Tetapi para ulama besar yang betul-betul mendalami, membaca dan memahami (perkataan Ibnu Arabi), mereka tahu bahwa ia layak mendapatkan gelar as-Syaikh al-Akbar (maha guru). Kita harus memahami ini. Adapun yang mengafirkan itu sedikit. Karena mereka nggak memahami ungkapannya. Atau bisa jadi ada yang dipalsukan." 

Maksudnya ada pandangan yang diselinapkan ke dalam karya Ibnu Arabi. Padahal ia sendiri tak berpandang begitu. Lihatlah bagaimana seorang alim berbicara. Tak gampang menyesatkafirkan begitu saja. Apalagi yang dibicarakan adalah sosok yang sangat dihormati dalam dunia tasawuf. Seolah ingin menunjukkan wajah asli Ibnu Arabi, Syekh Ali berkata:

الرجل نفسه عال، ولم يقتصر فقط على الجانب النظري، بل كان له تجربة روحية عالية، دافع فيها عن دين الله بإزاء الفلسفات المختلفة والأديان المتعددة التي بلغت خمسة آلاف دين على وجه الارض..

"Orang itu nafas keilmuannya tinggi. Tidak hanya terbatas pada ilmu teoritik, tapi juga memiliki pengalaman spiritual yang tinggi. Ia membela agama Allah dari penyimpangan filsafat yang beragam, dan agama yang bermacam-macam, yang jumlahnya itu mencapai sekitar lima ribu."

Ibnu Arabi mempelajari beragam pemikiran itu. Cukuplah ratusan karya, dan kekaguman para awliya kepadanya, untuk menjadi indikasi kebesaran maqamnya. Yang suka mengkritik Ibnu Arabi itu, seperti kata Syekh Ali sendiri, adalah orang-orang yang memang tidak memahaminya. Logikanya, gelas plastik memang tak akan mudah menampung air satu kolam. Apalagi laut yang terbentang luas. 

Imam as-Suyuthi termasuk yang memuliakan Ibnu Arabi. Bahkan dia menulis buku khusus untuk membela as-Syaikh al-Akbar itu. Judulnya "Tanbih al-Ghabiy bi Tabriat Ibn Arabi" (Peringatan untuk Orang Bodoh dalam Membebaskan Tuduhan dari Ibnu Arabi). Dan as-Suyuthi bukan ulama kaleng-kaleng. Dia ulama besar yang jasanya begitu terang benderang bagi dunia Islam.

Ungkapan para sufi itu rawan disalahpahami karena bahasa yang digunakan seringkali, tegas Syekh Ali, adalah bahasa simbolik (ramz). Maknanya terkadang beda dengan apa yang kita pahami. Kenapa bisa begitu? Ya karena mereka mengalami sebuah pengalaman religius tingkat tinggi. Dan bahasa, kata Syekh Ali, seringkali tidak siap menampung itu (ghair muhayyaah li dzalik). 

Karena itu, seperti kami tegaskan sebelumnya, kalau mau memahami ungkapan para sufi, dengarkanlah penjelasan para imam tarekat yang benar-benar ahli. Jangan hanya karena merasa paham ilmu syariat, paham ilmu akidah, lalu menghukumi mereka sesuai dengan pemahaman kita. Tanpa menyimak penjelasan mereka dengan baik. Sayangnya itu yang sering terjadi.

Ada orang nggak mengaji tasawuf, nggak punya mursyid, nggak bernasab ke tarekat apapun, nihil pengalaman ruhani, sibuk dengan awraq (mengkaji lewat lembaran kertas), lalu membaca kalam Ibnu Arabi—yang memang belum layak untuk dicerna oleh akalnya—dan akhirnya datanglah dengan kesimpulan: "ini jelas sesat, ini menyalahi akidah, ini kafir!" 

Ya baiknya ngaji dulu lah sama ahlinya. Apa yang Anda pahami itu boleh jadi berbeda maksudnya dengan apa yang mereka inginkan. Ibnu Arabi sudah menuliskan akidahnya di awal Futuhat yang, tegas Syekh Ali, sesuai dengan mazhab Ahlussunnah waljama'ah. Apabila ada pikirannya yang musykil, jadikan itu sebagai pegangan. Dan jangan bernasfu untuk menyesatkan. 

Sadar bahwa kitab-kitab tasawuf tingkat tinggi itu nggak bisa dibaca oleh semua orang– karena sering menggunakan bahasa simbolik—para ulama sufi itu, tutur Syekh Ali, suka ada yang bilang: "buku-buku kami ini haram untuk yang selain kami" (kutubuna haramun ala ghairina). Karena itu rawan disalahpahami. Walhasil, membaca kitab-kitab level tinggi seperti kitab Ibnu Arabi itu perlu syekh, mursyid, dan guru yang arif. Bukan hanya ahli akidah semata. 

Kenapa sih para sufi itu bisa punya pengetahuan yang terlihat aneh begitu? Jawaban Syekh Ali, "li katsrat al-ma'arif ala qalbi al-'arif" (karena berlimpahnya pengetahuan yang terpatri dalam hati seorang arif). Bukan karena nggak tahu akidah. Atau nggak paham syariat, seperti yang diduga oleh sebagian orang. Perhatikan bagaimana lisan seorang arif dan alim menggambarkan sosok as-Syaikh al-Akbar. Beda sekali dengan gambaran yang bukan ahli. 

Mufassir sekelas al-Maraghi saja, cerita Syekh Ali, masih berkata: ana la afham ibn arabi (aku nggak paham Ibnu Arabi). Lalu datang seorang ulama bernama Syekh Abdul Wahab al-Qushari menjawab: "sini, aku ajarkan." Itulah keteladanan seorang alim. Tahu dengan kadar kemampuan diri sendiri. Dan tidak gampang menyesatkan ulama lain. Apalagi sosok besar seperti Ibnu Arabi. Demikian. Rahimallahu as-Syaikh al-Akbar. Wallahu alam bisshawab.

Baca juga kajian tentang Ibnu Arabi berikut :

Sumber FB Ustadz : Muhammad Nuruddin

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Ibnu Arabi Di Mata Syekh Ali Jum'ah". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait