Hukum Menulis Nama Orang yang Telah Wafat Di atas Kuburannya

Hukum Menulis Nama Orang yang Telah Wafat Di atas Kuburannya

ما حكم كتابة اسم المتوفى على القبر حتى لا يلتبس بغيره، ويتمكن أهله من زيارته؟

Apa hukum menulis nama orang yang telah wafat di atas kuburannya agar tidak tertukar dengan orang lain, dan memungkinkan keluarganya untuk menziarahinya?

الجـــواب

Jawaban Darul Ifta Mesir:

.الأصل في حكم الكتابة أن يكون بحسب ما يكتب؛ فقد يكون حسنًا وقد يكون قبيحًا، ولم يرِد في قضية السؤال إلا حديث واحد ينهى عن الكتابة على القبر، وهو ما أخرجه الترمذي من طريق مُحَمَّدِ بْنِ رَبِيعَةَ، عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: "نَهَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وآله وسلم أَنْ تُجَصَّصَ القُبُورُ، وَأَنْ يُكْتَبَ عَلَيْهَا، وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهَا، وَأَنْ تُوطَأَ"، قال الإمام الترمذي في "السنن" (2/ 360): [هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ، قَدْ رُوِيَ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ عَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه، وَقَدْ رَخَّصَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ مِنْهُمْ: الحَسَنُ البَصْرِيُّ فِي تَطْيِينِ القُبُورِ، وقَالَ الإمام الشَّافِعِيُّ: لَا بَأْسَ أَنْ يُطَيَّنَ القَبْرُ] اهـ.

Hukum asal menulis tergantung pada apa yang ditulis; bisa baik, bisa juga buruk. Hanya ada satu hadis yang melarang penulisan di atas kuburan terkait dengan pertanyaan ini, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi melalui jalur Muhammad bin Rabi'ah, dari Ibnu Juraij, dari Abu Zubair, dari Jabir  Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Nabi ﷺ melarang mengapur kuburan, menulis di atasnya, membangun di atasnya, dan menginjaknya." Imam Tirmidzi mengatakan dalam kitab "Sunan" (2/360): "Hadis ini hasan sahih, telah diriwayatkan dari beberapa jalur dari Jabir Radhiyallahu 'anhu, dan sebagian ulama, seperti Al-Hasan Al-Bashri, memberikan keringanan dalam penggunaan tanah liat pada kuburan, dan Imam Syafi'i mengatakan: 'Tidak mengapa menggunakan tanah liat untuk kuburan.'"

وأخرجه الحاكم من طريق حَفْص بْنُ غِيَاثٍ النَّخَعِيُّ، ثنا ابْنُ جُرَيْجٍ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: "نَهَى رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وآله وسلم أَنْ يُبْنَى عَلَى الْقَبْرِ، أَوْ يُجَصَّصَ، أَوْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ، وَنَهَى أَنْ يُكْتَبَ عَلَيْهِ". قال الحاكم في "المستدرك" (1/ 525): [هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ، وَقَدْ خَرَّجَ بِإِسْنَادِهِ غَيْرَ الْكِتَابَةِ؛ فَإِنَّهَا لَفْظَةٌ صَحِيحَةٌ غَرِيبَةٌ، وَكَذَلِكَ رَوَاهُ أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ...، ثم أخرجه من طريق أَبي مُعَاوِيَةَ...، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: "نَهَى رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وآله وسلم عَنْ تَجْصِيصِ الْقُبُورِ، وَالْكِتَابَةِ فِيهَا، وَالْبِنَاءِ عَلَيْهَا، وَالْجُلُوسِ عَلَيْهَا"، ... ثم قال الحاكم: ... هَذِهِ الْأَسَانِيدُ صَحِيحَةٌ، وَلَيْسَ الْعَمَلُ عَلَيْهَا، فَإِنَّ أَئِمَّةَ الْمُسْلِمِينَ مِنَ الشَّرْقِ إِلَى الْغَرْبِ مَكْتُوبٌ عَلَى قُبُورِهِمْ، وَهُوَ عَمَلٌ أَخَذَ بِهِ الْخَلَفُ عَنِ السَّلَفِ] اهـ.

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Al-Hakim melalui jalur Hafsh bin Ghiyats An-Nakha'i, dari Ibnu Juraij, dari Abu Zubair, dari Jabir  Radhiyallahu 'anhu, yang berkata: "Rasulullah ﷺ melarang membangun di atas kuburan, mengapurinya, duduk di atasnya, dan menulis di atasnya." Al-Hakim berkata dalam "Al-Mustadrak" (1/525): "Hadis ini sahih menurut syarat Muslim, dan telah diriwayatkan dengan sanad yang sama kecuali penulisan di atas kubur; karena lafaz ini sahih namun asing. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Mu'awiyah dari Ibnu Juraij..." Kemudian, Al-Hakim meriwayatkan dari jalur Abu Mu'awiyah dari Ibnu Juraij, dari Abu Zubair, dari Jabir Radhiyallahu 'anhu, yang berkata: "Rasulullah ﷺ melarang mengapur kuburan, menulis di atasnya, membangun di atasnya, dan duduk di atasnya."

Al-Hakim kemudian berkata: "Sanad-sanad ini sahih, tetapi tidak diamalkan, karena para imam kaum Muslimin dari Timur hingga Barat dituliskan nama mereka di atas kuburan mereka, dan ini adalah praktik yang diambil oleh generasi khalaf dari generasi salaf."

وتعقبه الحافظ الذهبي بقوله: [قلت: ما قلتَ طائلًا، ولا نعلم صحابيًّا فعل ذلك، وإنما هو شيء أحدثه بعض التابعين فمن بعدهم، ولم يبلغهم النهي] اهـ. "مختصر تلخيص الذّهبي" (1/ 291).

Al-Hafizh Adz-Dzahabi mengomentari pernyataan Al-Hakim dengan berkata: "Saya katakan: Apa yang Anda katakan tidak memiliki dasar yang kuat. Kami tidak mengetahui ada sahabat yang melakukan hal itu. Ini hanyalah sesuatu yang diada-adakan oleh sebagian tabi'in dan generasi setelah mereka, yang tidak sampai kepada mereka larangan tersebut." (Mukhtashar Talkhish Adz-Dzahabi, 1/291).

وهذ الحديث أخرجه الإمام مسلم وليس فيه مسألة الكتابة على القبر؛ لاختلاف الرواة على هذه العبارة، فبعضهم ذكرها وبعضهم لم يذكرها. ولا يقال: إن الزيادة مقبولة مطلقًا؛ فإن مذهب المحققين من أهل الحديث النظر في الروايات والمقارنة بينها، فقد يكون السند صحيحًا والمتن شاذًّا، كما هو معلوم.

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim, namun tidak mencantumkan masalah penulisan di atas kubur, karena ada perbedaan di antara para perawi mengenai ungkapan ini; sebagian menyebutkannya, dan sebagian tidak. Tidak bisa dikatakan bahwa tambahan (lafaz) tersebut diterima secara mutlak, karena menurut pendapat para ahli hadis yang teliti, perlu dilakukan kajian terhadap riwayat-riwayat dan perbandingan di antara mereka. Bisa jadi sanadnya sahih, tetapi matannya syadz, sebagaimana diketahui dalam ilmu hadis.

وقد ذكر العلامة الدارقطني في "العلل" (13/ 349، ط. دار طيبة، الرياض) اختلاف الرواة على ابن جريج في هذا الحديث، لكنه لم يقض فيه بشيء، ولم يقارن بين المتون.

وعلى كل حال: لو سلمنا بصحة الحديث فهو محمول على الكراهة كما هو مذهب الجمهور، فإن أكثر أسباب الكتابة على القبر هو تعليمه حتى تتم زيارته، وهذا مقصد مشروع، ودليله العام الترغيب في زيارة القبور خاصة الأقارب، وقد زار النبي صلى الله عليه وآله وسلم قبر أمه.

Al-‘Allamah Ad-Daraquthni dalam kitab "Al-‘Ilal" (13/349, Dar Thayyibah, Riyadh) menyebutkan perbedaan para perawi terkait riwayat Ibnu Juraij dalam hadis ini, namun beliau tidak memberikan keputusan yang pasti atau membandingkan antara matan-matannya.

Bagaimanapun juga, jika kita menerima keabsahan hadis ini, maka ia dipahami dalam konteks makruh sebagaimana pandangan mayoritas ulama. Sebab utama penulisan di atas kubur adalah untuk menandainya agar memudahkan ziarah, dan tujuan ini adalah sesuatu yang disyariatkan. Dalil umumnya adalah anjuran untuk berziarah ke kuburan, terutama kuburan kerabat. Nabi ﷺ sendiri juga pernah berziarah ke kuburan ibunya.

وأما الدليل الخاص وهو نصٌّ في المسألة فهو ما ورد عَنِ الْمُطَّلِبِ رضي الله عنه قَالَ: "لَمَّا مَاتَ عُثْمَانُ بْنُ مَظْعُونٍ، أُخْرِجَ بِجَنَازَتِهِ فَدُفِنَ، فَأَمَرَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وآله وسلم رَجُلًا أَنْ يَأْتِيَهُ بِحَجَرٍ، فَلَمْ يَسْتَطِعْ حَمْلَهُ، فَقَامَ إِلَيْهَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وآله وسلم، وَحَسَرَ عَنْ ذِرَاعَيْهِ؛ قَالَ كَثِيرٌ: قَالَ الْمُطَّلِبُ رضي الله عنه: قَالَ الَّذِي يُخْبِرُنِي ذَلِكَ عَنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وآله وسلم، قَالَ: كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِ ذِرَاعَيْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وآله وسلم، حِينَ حَسَرَ عَنْهُمَا ثُمَّ حَمَلَهَا فَوَضَعَهَا عِنْدَ رَأْسِهِ، وَقَالَ: «أَتَعَلَّمُ بِهَا قَبْرَ أَخِي، وَأَدْفِنُ إِلَيْهِ مَنْ مَاتَ مِنْ أَهْلِي» أخرجه أبو داود في "سننه" (5/ 115).

Adapun dalil khusus yang secara langsung berkaitan dengan masalah ini adalah riwayat dari Al-Muththalib Radhiyallahu 'anhu, yang berkata: "Ketika Utsman bin Mazh’un wafat, jenazahnya diantarkan dan dimakamkan. Nabi ﷺ memerintahkan seseorang untuk membawakan batu, tetapi orang itu tidak mampu membawanya. Lalu Rasulullah ﷺ berdiri, menyingsingkan lengan bajunya. Al-Muththalib berkata: Orang yang menceritakan hal ini kepada saya mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Seakan-akan saya melihat putihnya lengan Rasulullah ﷺ ketika menyingsingkan keduanya, lalu beliau mengangkat batu itu dan meletakkannya di bagian kepala (makam), seraya bersabda: “Dengan ini saya menandai kubur saudaraku, dan saya akan menguburkan di sana siapa pun yang meninggal dari keluargaku.”’" Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam "Sunan"-nya (5/115).

ويؤيد هذا الحكم ما ذكره الحاكم من كثرة العمل على الكتابة على القبور، وهو يتحدث عن أمرٍ مشاهد لا يحتاج إلى استنباط فقهي، ولذا لم ينازعه فيه الذهبي، بل حاول أن يتخلص منه بعدم ورود ذلك عن الصحابة رضي الله عنهم، وأن من فعله من التابعين لم يبلغه النهي.

Hukum ini didukung riwayat Al-Hakim tentang kebiasaan umum menulis di atas makam. Dia berbicara tentang suatu hal yang terlihat nyata, tanpa memerlukan penarikan hukum fiqih. Oleh karena itu, Adz-Dzahabi tidak membantahnya, tetapi berusaha menghindari hal tersebut dengan alasan bahwa hal itu tidak pernah diriwayatkan dari para sahabat radhiyallahu 'anhum, dan bahwa para tabi'in yang melakukannya mungkin belum menerima larangan tersebut.

وهذا الأخير هو مجرد احتمال، فقد يكون العالم بلغه النهي ولكنه لم يثبت عنده، أو يحمله على عدم الحرمة، بأن يؤوله أو يخصصه أو يرى نسخه، وهكذا كما في نظائره. ثم إن عصر الصحابة رضي الله عنهم كان عصرًا تقل فيه الكتابة جدًّا؛ ولذا وصفهم الله تعالى بالأميين، فمن أين نجزم أنهم تركوه من أجل هذا النهي بعينه؟ وهل كل نهي يُعدُّ تحريمًا عند كل الصحابة رضي الله عنهم؟!

Yang terakhir ini murni sebuah dugaan, karena bisa jadi seorang ulama telah mendengar larangan tersebut, namun tidak menganggapnya sahih, atau dia menafsirkannya tidak sebagai sesuatu yang haram, misalnya dengan menakwilkannya, mengkhususkannya, atau menganggapnya telah dimansukh (dihapus hukumnya), sebagaimana terjadi dalam banyak kasus serupa. Selain itu, masa para sahabat radhiyallahu 'anhum adalah masa di mana penulisan sangat jarang dilakukan, sehingga Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebut mereka sebagai kaum yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Maka, bagaimana kita bisa memastikan bahwa mereka meninggalkan praktik tersebut semata-mata karena larangan tertentu? Dan apakah setiap larangan dianggap sebagai pengharaman oleh semua sahabat radhiyallahu 'anhum?!

قال الحافظ السيوطي في "حاشيته على النسائي" (4/ 87، ط. مكتبة المطبوعات الإسلامية، حلب): [قال العراقي: يحتمل أن المراد مطلق الكتابة كتابة اسم صاحب القبر عليه أو تاريخ وفاته، أو المراد كتابة شيء من القرآن وأسماء الله تعالى للتبرك؛ لاحتمال أن يوطأ أو يسقط على الأرض فيصير تحت الأرجل] اهـ.

Al-Hafizh As-Suyuthi dalam Hasyiah-nya atas An-Nasa'i (4/87, cet. Maktabah Al-Matbu'at Al-Islamiyyah, Aleppo) menyatakan: [Al-'Iraqi mengatakan: Mungkin yang dimaksud adalah penulisan secara umum, seperti menulis nama pemilik makam atau tanggal wafatnya, atau yang dimaksud adalah penulisan ayat Al-Qur'an dan nama-nama Allah untuk keberkahan. Karena ada kemungkinan tulisan tersebut diinjak atau jatuh ke tanah sehingga berada di bawah kaki].

فالأمر على الاحتمال كما ترى، ثم إن مسألة الامتهان للمكتوب تختلف من مقبرة لأخرى، فالمقابر الآن في بلاد كمصر تكون الكتابة في رخام موضوع أعلى مدخل القبر فيما يطلقون عليه "الحوش".

واستنباط معنى من النص يخصصه جائز عند بعض أهل العلم.

Jadi, masalah ini sifatnya ihtimal (kemungkinan/dugaan), sebagaimana yang dapat Anda lihat. Selain itu, permasalahan penghinaan terhadap tulisan bisa jadi berbeda antara satu kuburan dengan kuburan yang lain. Di negara-negara seperti Mesir, misalnya, tulisan biasanya terletak pada lempengan marmer di atas pintu masuk makam, yang disebut dengan "hausy".

Menarik kesimpulan makna khusus dari suatu teks adalah diperbolehkan menurut sebagian ulama.

قال الإمام الإسنوي في "التمهيد" (375، ط. مؤسسة الرسالة): [الْمَشْهُور من قَول الْأُصُولِيِّينَ وَمن قَول الشَّافِعِي أَيْضًا أَنه يجوز أَن يستنبط من النَّص معنى يخصصه] اهـ.

ثم إننا لو سلمنا بالكراهة فهي تزول بالحاجة الشرعية.

Imam Al-Isnawi dalam At-Tamhid (hal. 375, cet. Mu’assasah Ar-Risalah) mengatakan: [Pendapat yang masyhur di kalangan para ulama ushul dan juga pendapat Asy-Syafi’i adalah bahwa diperbolehkan untuk menyimpulkan suatu makna dari nash yang dapat mengkhususkannya].

Kemudian, seandainya kita menerima hukum makruh dalam hal ini, maka hal tersebut dapat hilang jika terdapat kebutuhan syar'i.

قال العلامة ابن عابدين في "حاشيته" (2/ 237-238، ط. دار الكتب العلمية): [(قَوْلُهُ: لا بَأْسَ بِالْكِتَابَةِ إلَخْ)؛ لأَنَّ النَّهْيَ عَنْهَا وَإِنْ صَحَّ فَقَدْ وُجِدَ الإِجْمَاعُ الْعَمَلِيُّ بِهَا، فَقَدْ أَخْرَجَ الْحَاكِمُ النَّهْيَ عَنْهَا مِنْ طُرُقٍ، ثُمَّ قَالَ: هَذِهِ الأَسَانِيدُ صَحِيحَةٌ، وَلَيْسَ الْعَمَلُ عَلَيْهَا، فَإِنَّ أَئِمَّةَ الْمُسْلِمِينَ مِنْ الْمَشْرِقِ إلَى الْمَغْرِبِ مَكْتُوبٌ عَلَى قُبُورِهِمْ، وَهُوَ عَمَلٌ أَخَذَ بِهِ الْخَلَفُ عَنْ السَّلَفِ اهـ. وَيَتَقَوَّى بِمَا أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد بِإِسْنَادٍ جَيِّدٍ: "أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وآله وسلم حَمَلَ حَجَرًا فَوَضَعَهَا عِنْدَ رَأْسِ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ وَقَالَ: «أَتَعَلَّمُ بِهَا قَبْرَ أَخِي وَأَدْفِنُ إلَيْهِ مَنْ تَابَ مِنْ أَهْلِي»، فَإِنَّ الْكِتَابَةَ طَرِيقٌ إلَى تَعَرُّفِ الْقَبْرِ بِهَا، نَعَمْ يَظْهَرُ أَنَّ مَحَلَّ هَذَا الإِجْمَاعِ الْعَمَلِيِّ عَلَى الرُّخْصَةِ فِيهَا مَا إذَا كَانَتْ الْحَاجَةُ دَاعِيَةً إلَيْهِ فِي الْجُمْلَةِ، كَمَا أَشَارَ إلَيْهِ فِي "الْمُحِيطِ" بِقَوْلِهِ: (وَإِنْ اُحْتِيجَ إلَى الْكِتَابَةِ؛ حَتَّى لا يَذْهَبَ الأَثَرُ وَلا يُمْتَهَنَ فَلا بَأْسَ بِهِ، فَأَمَّا الْكِتَابَةُ بِغَيْرِ عُذْرٍ فَلا. اهـ. حَتَّى إنَّهُ يُكْرَهُ كِتَابَةُ شَيْءٍ عَلَيْهِ مِنْ الْقُرْآنِ، أَوْ الشِّعْرِ، أَوْ إطْرَاءِ مَدْحٍ لَهُ وَنَحْوِ ذَلِكَ حِلْيَةٌ مُلَخَّصًا. قُلْت: لَكِنْ نَازَعَ بَعْضُ الْمُحَقِّقِينَ مِنْ الشَّافِعِيَّة فِي هَذَا الإِجْمَاعِ بِأَنَّهُ أَكْثَرِيٌّ، وَإِنْ سَلِمَ فَمَحَلُّ حُجِّيَّتِهِ عِنْدَ صَلاحِ الأَزْمِنَةِ بِحَيْثُ يَنْفُذُ فِيهَا الأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ، وَقَدْ تَعَطَّلَ ذَلِكَ مُنْذُ أَزْمِنَةٍ، أَلا تَرَى أَنَّ الْبِنَاءَ عَلَى قُبُورِهِمْ فِي الْمَقَابِرِ الْمُسَبَّلَةِ أَكْثَرُ مِنْ الْكِتَابَةِ عَلَيْهَا كَمَا هُوَ مُشَاهَدٌ، وَقَدْ عَلِمُوا بِالنَّهْيِ عَنْهُ فَكَذَا الْكِتَابَةُ) اهـ. فَالأَحْسَنُ التَّمَسُّكُ بِمَا يُفِيدُ حَمْلَ النَّهْيِ عَلَى عَدَمِ الْحَاجَةِ كَمَا مَرَّ] اهـ.

Al-'Allamah Ibn 'Abidin dalam Hasyiyah-nya (2/237-238, cet. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah) berkata: [Perkataannya: "Tidak masalah dengan penulisan, dst"; karena meskipun larangan tentang hal itu shahih adanya, terdapat ijma' amali (kesepakatan praktis) yang membolehkannya. Al-Hakim telah mentakhrij riwayat tentang larangan ini melalui beberapa jalur, kemudian ia mengomentari: "Sanad-sanad ini sahih, namun tidak diamalkan. Karena para imam kaum Muslimin dari Timur hingga Barat dituliskan sesuatu di atas kuburan mereka, dan ini adalah praktik yang diwarisi oleh generasi khalaf dari generasi salaf." Hal ini diperkuat dengan riwayat yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang baik: "Bahwasanya Rasulullah ﷺ membawa sebuah batu dan meletakkannya di kepala makam Utsman bin Mazh'un seraya berkata: 'Aku tandai kuburan saudaraku dengan ini, dan aku akan menguburkan keluargaku yang meninggal di dekatnya.' Maka, penulisan di atas kuburan adalah cara untuk mengenali kuburan tersebut."

Namun, jelas bahwa ijma' amali ini mengenai kelonggaran penulisan hanya berlaku ketika ada kebutuhan tertentu, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Muhit dengan ungkapannya: "Jika diperlukan penulisan agar tanda kuburan tidak hilang dan tidak dihina, maka tidak masalah dengan hal itu. Adapun penulisan tanpa alasan yang jelas, maka itu tidak diperbolehkan." Bahkan, dimakruhkan menuliskan sesuatu yang berasal dari Al-Qur'an, syair, pujian berlebihan di atasnya, dan lain sebagainya. Ringkasan kitab Hilyah. 

Aku berkata: Namun, sebagian peneliti dari mazhab Syafi'i menyanggah ijma' ini, dengan mengatakan bahwa ini adalah ijma' yang mayoritas, dan jika diakui, maka kekuatannya hanya berlaku pada zaman yang baik, di mana amar ma'ruf nahi munkar masih berlaku. Namun, hal tersebut telah lama terhenti. Tidakkah kau lihat bahwa pembangunan di atas kuburan dalam pemakaman umum lebih banyak terjadi daripada penulisan di atasnya, sebagaimana yang terlihat? Dan mereka sudah tahu tentang larangan tersebut, begitu pula dengan penulisan di atasnya."

Oleh karena itu, yang terbaik adalah berpegang pada pemahaman bahwa larangan tersebut berlaku ketika tidak ada kebutuhan, sebagaimana yang telah disebutkan.]


وقال العلامة الحطاب في "مواهب الجليل في شرح مختصر خليل" (2/ 247): [يَجُوزُ أَنْ يَجْعَلَ عَلَى الْقَبْرِ حَجَرًا، أَوْ خَشَبَةً بِلَا نَقْشٍ لِتَمَيُّزِهِ عَنْ غَيْرِهِ، وَكَلَامُ الْمُصَنِّفِ يَقْتَضِي أَنَّ ذَلِكَ جَائِزٌ، وَهُوَ ظَاهِرُ كَلَامِ غَيْرِ وَاحِدٍ، قَالَ الْمَازَرِيُّ: كَرِهَ ابْنُ الْقَاسِمِ أَنْ يَجْعَلَ عَلَى الْقَبْرِ بَلَاطَةً يَكْتُبُ فِيهَا، وَلَمْ يَرَ بِالْحَجَرِ وَالْعُودِ وَالْخَشَبَةِ بَأْسًا يَعْرِفُ بِهِ الرَّجُلُ قَبْرَ وَلِيِّهِ مَا لَمْ يُكْتَبْ فِيهِ. انْتَهَى. وَجَعَلَهُ صَاحِبُ الْمَدْخَلِ مُسْتَحَبًّا...، انْتَهَى. وَفِي "مُخْتَصَرِ الْوَاضِحَةِ": وَلَا بَأْسَ أَنْ يُوضَعَ الْحَجَرُ الْوَاحِدُ فِي طَرَفِ الْقَبْرِ عَلَامَةً؛ لِيُعْرَفَ بِهِ أَنَّ فِيهِ قَبْرًا وَلِيَعْرِفَ الرَّجُلُ قَبْرَ وَلِيِّهِ، فَأَمَّا الْحِجَارَةُ الْكَثِيفَةُ وَالصَّخْرُ كَمَا يَفْعَلُ بَعْضُ مَنْ لَا يَعْرِفُ؛ فَلَا خَيْرَ فِيهِ. انْتَهَى، ... وَكَرِهَ ابْنُ الْقَاسِمِ أَنْ يُجْعَلَ عَلَى الْقَبْرِ بَلَاطَةٌ وَيُكْتَبَ فِيهَا، وَلَمْ يَرَ بَأْسًا بِالْحَجَرِ وَالْعُودِ وَالْخَشَبَةِ مَا لَمْ يُكْتَبْ فِي ذَلِكَ، يَعْرِفُ الرَّجُلُ قَبْرَ وَلِيِّهِ، وَقَالَ ابْنُ رُشْدٍ كَرِهَ مَالِكٌ الْبِنَاءَ عَلَى الْقَبْرِ، وَأَنْ يُجْعَلَ عَلَيْهِ الْبَلَاطَةُ الْمَكْتُوبَةُ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ مِنْ الْبِدَعِ الَّتِي أَحْدَثَهَا أَهْلُ الطَّوْلِ مِنْ إرَادَةِ الْفَخْرِ وَالْمُبَاهَاةِ وَالسُّمْعَةِ؛ وَذَلِكَ مِمَّا لَا اخْتِلَافَ فِي كَرَاهَتِهِ انْتَهَى. وَقَالَ ابْنُ الْعَرَبِيِّ فِي "الْعَارِضَةِ": وَأَمَّا الْكِتَابَةُ عَلَيْهَا فَأَمْرٌ قَدْ عَمَّ الْأَرْضَ وَإِنْ كَانَ النَّهْيُ قَدْ وَرَدَ عَنْهُ، وَلَكِنَّهُ لَمَّا لَمْ يَكُنْ مِنْ طَرِيقٍ صَحِيحٍ تَسَامَحَ النَّاسُ فِيهِ، وَلَيْسَ لَهُ فَائِدَةٌ إلَّا التَّعْلِيمُ لِلْقَبْرِ لِئَلَّا يَدَّثِرَ. انْتَهَى] اهـ.

Al-Allamah al-Haththâb dalam Mawâhibul Jalîl  fi syarhi mukhtashar al-khalil (2/247) berkata:

"Diperbolehkan meletakkan batu atau kayu di atas kuburan tanpa ada ukiran (tulisan) untuk membedakannya dari yang lain, dan pernyataan penulis (kitab) mengisyaratkan bahwa hal ini diperbolehkan, dan ini juga merupakan pendapat beberapa ulama lainnya. Al-Mazari berkata: 'Ibnu al-Qasim tidak suka jika meletakkan sebuah batu lempengan yang ditulisi di atas kuburan, tetapi dia tidak mempermasalahkan jika meletakkan batu, kayu, atau batang untuk menandai kuburan seseorang, selama tidak ada tulisan di atasnya.' Selesai. Pemilik kitab "al-Madkhal" bahkan menjadikannya sesuatu yang disunnahkan... Selesai. Dalam 'Mukhtashar al-Wadihah': 'Tidak masalah meletakkan sebuah batu di ujung kuburan sebagai tanda bahwa di situ ada kuburan agar seseorang bisa mengenali kuburan kerabatnya. Namun, meletakkan banyak batu atau batu besar seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak paham, itu tidak baik.' Selesai. Ibnu al-Qasim tidak suka jika meletakkan batu lempengan dan menulisinya, tetapi dia tidak mempermasalahkan meletakkan batu, kayu, atau batang, selama tidak ada tulisan di atasnya untuk menandai kuburan seseorang. Ibnu Rusyd berkata: 'Imam Malik tidak menyukai bangunan di atas kuburan dan meletakkan batu lempengan yang ditulisi, karena itu termasuk bid'ah yang diada-adakan oleh orang-orang kaya yang ingin pamer, mencari kemasyhuran, dan riya. Dan hal ini disepakati keburukannya.' Selesai. Ibnu al-Arabi berkata dalam 'al-Aridah': 'Adapun tulisan di atas kuburan adalah perkara yang telah menyebar di berbagai tempat, meskipun terdapat larangan tentang hal ini. Namun, karena larangan tersebut tidak datang melalui jalur yang sahih, orang-orang menjadi longgar dalam masalah ini. Tidak ada manfaat dari tulisan tersebut kecuali untuk menandai kuburan agar tidak hilang.' Selesai."

قال شيخ الإسلام ابن حجر الهيتمي في "الفتاوى الكبرى" (2/ 12، ط. المكتبة الإسلامية): [(وسئل) رضي الله عنه عن كراهة الكتابة على القبور، هل تعم أسماء الله والقرآن، واسم الميت وغير ذلك، أو تخص شيئًا من ذلك بينوه بما فيه؟ (فأجاب) بقوله: أطلق الأصحاب كراهة الكتابة على القبر؛ لورود النهي عن ذلك. رواه الترمذي، وقال حسن صحيح، واعترضه أبو عبد الله الحاكم النيسابوري المحدث بأن العمل ليس عليه، فإن أئمة المسلمين من الشرق إلى الغرب مكتوب على قبورهم وهو عمل أخذ به الخلف عن السلف رضي الله عنهم وما اعترض به إنما يتجه أن لو فعله أئمة عصر كلهم أو علموه ولم ينكروه وأي إنكار أعظم من تصريح أصحابنا بالكراهة مستدلين بالحديث هذا، وبحث السبكي والأذرعي تقييد ذلك بالقدر الزائد عما يحصل به الإعلام بالميت وعبارة السبكي، وسيأتي قريبًا أن وضعَ شيءٍ يعرف به القبر مستحب، فإذا كانت الكتابة طريقًا فيه فينبغي أن لا تكره إذا كتب بقدر الحاجة إلى الإعلام. وعبارة الأذرعي: وأمَّا الكتابة فمكروهة سواء كان المكتوب اسم الميت على لوح عند رأسه أو غيره هكذا أطلقوه، والقياس الظاهر تحريم كتابة القرآن؛ سواء في ذلك جميع جوانبه؛ لما فيه من تعريضه للأذى بالدوس والنجاسة والتلويث بصديد الموتى عند تكرار النبش في المقبرة المسبلة، وأمَّا غيره من النظم والنثر فيحتمل الكراهة والتحريم للنهي.

وأمَّا كتابة اسم الميت، فقد قالوا: إن وضع ما يعرف به القبور مستحب، فإذا كان ذلك طريقًا في ذلك فيظهر استحبابه بقدر الحاجة إلى الإعلام بلا كراهة، ولا سيما قبور الأولياء والصالحين، فإنها لا تعرف إلا بذلك عند تطاول السنين، ثم ذكر ما مَرَّ عن الحاكم، وقال عَقِبَه: فإن أراد كتابة اسم الميت للتعريف فظاهر ويحمل النهي على ما قصد به المباهاة والزينة والصفات الكاذبة، أو كتابة القرآن وغير ذلك] اهـ.

Syekh Islam Ibn Hajar al-Haitami dalam kitabnya al-Fatawa al-Kubra (2/12) berkata:

"Beliau ditanya tentang makruhnya penulisan di atas kuburan, apakah ini mencakup semua jenis tulisan seperti nama-nama Allah, ayat-ayat Al-Qur'an, nama si mayit, atau yang lainnya? Tolong jelaskan dengan rinci tentang hal ini. (Beliau menjawab) bahwa para ulama madzhab secara umum memakruhkan penulisan di atas kuburan karena ada larangan yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, yang menyatakan bahwa hadits tersebut hasan sahih. Namun, Abu Abdullah al-Hakim al-Naisaburi mengkritik hal ini dengan mengatakan bahwa praktik tersebut tidak diikuti, karena banyak imam-imam Muslimin dari Timur hingga Barat yang kuburannya terdapat tulisan, dan ini adalah kebiasaan yang diwarisi oleh generasi setelahnya.

Namun, kritik ini hanya relevan jika semua ulama pada suatu zaman melakukannya tanpa ada penolakan. Sementara penolakan ulama besar kita terhadap praktik ini jelas, mereka memakruhkan berdasarkan hadits tersebut. Al-Subki dan al-Adzra'i membahas pembatasan makruhnya penulisan ini, hanya jika penulisan itu melebihi batas yang dibutuhkan untuk mengenali kuburan. Al-Subki menyatakan bahwa meletakkan sesuatu untuk mengenali kuburan itu dianjurkan, sehingga jika penulisan itu dilakukan hanya untuk tujuan mengenali kuburan, maka seharusnya tidak makruh.

Al-Adzra'i juga menambahkan bahwa penulisan ayat-ayat Al-Qur'an sangat makruh atau bahkan haram, karena hal itu dapat menyebabkan Al-Qur'an terkena najis atau diinjak-injak, terutama ketika kuburan sering digali ulang. Sedangkan untuk syair atau tulisan lain, bisa jadi makruh atau haram sesuai dengan larangan.

Adapun penulisan nama si mayit, para ulama mengatakan bahwa meletakkan tanda untuk mengenali kuburan itu dianjurkan. Jika penulisan nama adalah cara untuk mengenalinya, maka hal itu disunnahkan selama tidak berlebihan. Terutama untuk kuburan wali dan orang-orang saleh yang mungkin hanya dikenali melalui tulisan tersebut setelah waktu yang lama. Oleh karena itu, larangan bisa dipahami jika penulisan dilakukan untuk pamer, memperindah kuburan, menuliskan sifat-sifat palsu, atau menuliskan Al-Qur'an dan semacamnya."

Dari penjelasan ini, Ibn Hajar al-Haitami menjelaskan bahwa makruhnya penulisan di kuburan bisa dikategorikan berdasarkan tujuan penulisan tersebut. Jika tujuannya untuk mengenali kuburan dan tidak berlebihan, maka itu tidak makruh. Namun, jika tujuannya untuk pamer atau mencantumkan ayat Al-Qur'an, itu bisa menjadi makruh atau bahkan haram.

وما بحثه الإمام السبكي من عدم الكراهة في كتابة اسم الميت للتعريف، والأذرعي من استحبابها ظاهر إن تعذر تمييزه إلا بها لو كان عالمًا أو صالحًا، وخشي من طول السنين اندراس قبره والجهل به لو لم يكتب اسمه على قبره، ويحمل النهي على غير ذلك؛ لأنه يجوز أن يستنبط من النص معنى يخصصه، وهو هنا الحاجة إلى التمييز فهو بالقياس على ندب وضع شيء يعرف به القبر، بل هو داخل فيه أو إلى بقاء ذكر هذا العالم أو الصالح؛ ليكثر الترحم عليه أو عود بركته على من زاره، وما ذكره الأذرعي من تحريم كتابة القرآن قريب، وإن كان الدوس والنجاسة غير محققين؛ لأنهما وإن لم يكونا محققين في الحال هما محققان في الاستقبال بمقتضى العادة المطردة من نبش تلك المقبرة واندراس هذا القبر، ويلحق بالقرآن في ذلك كل اسم معظم بخلاف غيره من النظم والنثر، فإنه مكروه لا حرام وإن تردد فيه، وقوله: ويحمل النهي... إلخ، قد علمت أنه تارة يحمل على الكراهة، وتارة يحمل على الحرمة، وهو ما لو كتب القرآن أو اسمًا معظمًا دون غيرهما، وإن قصد المباهاة والزينة.

Apa yang dibahas oleh Imam al-Subki tentang tidak adanya kemakruhan dalam penulisan nama si mayit untuk tujuan identifikasi, dan apa yang dikatakan oleh al-Adzra'i tentang anjuran tersebut menjadi jelas apabila kuburan tidak bisa dibedakan kecuali dengan penulisan nama, terutama jika si mayit adalah seorang ulama atau orang saleh. Kekhawatiran akan hilangnya jejak kuburannya dan ketidaktahuan tentang keberadaannya setelah waktu yang lama, jika namanya tidak tertulis, menjadikan penulisan nama di kuburan sebagai pengecualian dari larangan. Ini karena dalam hukum fiqih, diperbolehkan untuk menafsirkan suatu larangan berdasarkan kebutuhan, sebagaimana anjuran meletakkan tanda di kuburan untuk mengenalinya. Bahkan, penulisan nama bisa dimasukkan dalam kategori tersebut, atau untuk menjaga agar orang-orang terus mengingat ulama atau orang saleh tersebut sehingga mereka sering didoakan dan berkahnya menyebar kepada siapa pun yang mengunjungi kuburannya.

Apa yang disebutkan oleh al-Adzra'i tentang haramnya penulisan ayat-ayat Al-Qur'an sangat dekat dengan kebenaran, meskipun ancaman akan diinjak-injak atau terkena najis belum terjadi. Namun, hal ini pasti akan terjadi di kemudian hari, sesuai dengan kebiasaan yang ada bahwa kuburan sering kali digali ulang dan keberadaan kuburan tertentu bisa hilang. Penulisan Al-Qur'an di kuburan, dan juga nama-nama yang diagungkan, termasuk hal yang diharamkan, berbeda dengan puisi atau tulisan biasa yang hukumnya hanya makruh, meskipun masih terdapat perbedaan pendapat tentang hal ini.

Dan ketika larangan penulisan tersebut dipahami lebih jauh, kadang-kadang larangan tersebut bersifat makruh dan terkadang bersifat haram, terutama ketika yang ditulis adalah ayat Al-Qur'an atau nama yang diagungkan.

قال العلامة الإمام البهوتي في "كشاف القناع" (2/ 140، ط. دار الفكر): [(و) تُكْرَهُ (الْكِتَابَةُ عَلَيْهِ)؛ لِمَا تَقَدَّمَ مِنْ حَدِيثِ جَابِرٍ رضي الله عنه] اهـ.

Dalam kitab Kashshaf al-Qina al-Allamah  al-Imam al-Buhuti berkata: Dan dimakruhkan menulis di atasnya karena adanya riwayat dari hadis Jabir radhiyallahu 'anhu yang telah lalu.

وبناءً على ما سبق: فإن النهي الوارد في الكتابة على القبر إن ثبت فهو محمول على الكراهة، لئلَّا يدخله مثل الفخر والمباهاة، وأما إن كان بقصد تعليم القبر للزيارة ونحوها فالكراهة تزول حينئذٍ.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka larangan yang terdapat dalam hadits tentang menulis di atas kuburan, jika itu valid, dipahami sebagai hukum makruh karena khawatir timbulnya rasa bangga dan pamer. Namun, jika penulisan tersebut dimaksudkan untuk menandai kuburan untuk memudahkan ziarah atau tujuan lain yang sejalan dengan syariat, maka ketika itu hukum makruh tersebut hilang.

والله سبحانه وتعالى أعلم 

Sumber FB Ustadz : Nur Hasim

AIni salah satu contoh hadis yang sahih sanadnya tapi tidak diamalkan oleh para ulama Salaf dan Kholaf, yaitu hadis tentang larangan menulis sesuatu di atas kuburan. Imam Hakim setelah meriwayatkan hadis tersebut di dalam Mustadraknya berkomentar:

“Sanad-sanad hadis ini sahih. Tapi amalan tidak bersandar padanya. Sebab, para imam kaum muslimin dari Timur ke Barat tertulis nama-nama mereka di atas kuburan mereka. Ini adalah amalan yang diwariskan dari generasi terdahulu (Salaf) ke generasi berikutnya (Kholaf).” (Al Mustadrak, 1/525)

Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh para ulama terkait hadis tersebut. Di antaranya adalah larangan tersebut berlaku untuk ayat-ayat Al Quran atau kalimat-kalimat mulia yang tidak boleh ditulis di sembarang tempat agar tidak terhinakan akibat terinjak atau terkotori najis. Alasan lain adalah larangan tersebut bersifat makruh ketika tidak ada kebutuhan, tapi jika ada kebutuhan maka hilang kemakruhannya.

by FB Ustadz : Danang Kuncoro Wicaksono

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Hukum Menulis Nama Orang yang Telah Wafat Di atas Kuburannya". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait