Ganti Mazhab
Banyak orang berpikir sederhana untuk gonta-ganti mazhab, bila keadaan darurat. Biasanya yang dijadikan contoh kasus adalah halaman dasar Masjid Al-Haram, tempat ibadah tawaf dilaksanakan.
Konon disitulah waktunya kita disuruh ganti mazhab, dari mazhab Syafi'i ke Mazhab Hanafi. Pasalnya karena kalau masih pakai mazhab Syafi'i, kita tidak bisa meneruskan tawaf, mengingat dalam mazhab Syafi'i, sentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan sulit dihindari.
Saya secara pribadi sebenarnya agak heran dengan pandangan gonta-ganti mazhab seperti ini. Sebab tidak terbayang di benak saya, di masa Al-Imam Asy-Syafi'i hidup hingga tahun 204 Hijriyah, apakah beliau juga pindah mazhab juga dengan alasan yang sama.
Bahkan di masa lalu, banyak sekali tokoh ulama bermazhab Syafi'i yang menjadi guru panutan di Mekkah. Bahkan Al-Juwaini yang jadi guru dari Al-Ghazali itu bergelar Imamul Haramain.
Ulama nusantara kita nyaris semuanya bermazhab Syafi'i, bukan hanya Kiyai Hasyim Asy'ari pendiri NU dan Kiyai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, tetapi Maulana Al-Khalil Madura, Al-Banjari, At-Tirmasi, Al-Fadani, Al-Minangkabawi dan seterusnya.
Mazhab mereka semua itu Syafi'i tulen, karena memang belajar di Masjid Al-Haram yang waktu itu dominan mazhab Syafi'i-nya. Bahkan Babus-Salam adalah pintu tempat dimana mazhab Asy-Syafi'i berpusat.
Sampai masuk ke dalam pelajaran manasik haji kita, kalau masuk Masjid Al-Haram itu lebih utama lewat Babus-salam.
lalu tiba-tiba ada seruan kalau di depan ka'bah, ayo kita pindah mazhab. Lha ini maksudnya gimana? Kenapa tiba-tiba mazhab As-Syafi'i dianggap tidak layak dijalankan, sampai harus ditinggalkan bersama-sama, pindah nyeberang ke mazhab lain?
Saya tidak bisa membayangkan ribuan wajah para ulama mazhab Syafi'i kok tiba-tiba pindah mazhab.
Saya belum cek lagi, apakah ada seruan dalam kitab-kitab fiqih syafi'i yang jumlahnya ratusan itu ajakan untuk pindah mazhab ketika kita ada di depan Ka'bah.
* * *
Mungkin seruan pindah mazhab itu baru ada sekarang ini saja, ketika orang di depan Ka'bah penuh sesak berjejal-jejal. Boleh jadi di masa lalu belum ada kumpulan massa sepadat itu.
Anggapan ini nampaknya sedikit masuk akal, walaupun masih penuh dengan kelemahan.
Buktinya saya dan istri tetap bisa loyal dan istiqamah berpegang pada mazhab Asy-Syafi'i di depan Ka'bah. Kami tetap bisa untuk tidak saling bersentuhan kulit satu sama lain.
Logikanya sederhana sekali, kita tawaf kan tidak telanjang bulat. Kita pakai pakaian. Memang saya hanya pakai dua lembar handuk yang terlilit. Tapi istri saya pakai pakaian full menutup aurat. Kami tetap bisa berpegangan satu sama lain, tanpa harus saling bersentuhan kulit yang bikin wudhu kita batal.
Itu pekerjaan yang sederhana sekali, sebab setiap hari pun kami sudah mempraktekkannya. Kenapa pula pas giliran di depan Ka'bah, kami harus pindah ke mazhab yang lain? Dalam rangka apa? Apa pentingnya?
Terus bagaimana dengan sentuhan kulit antara saya yang laki-laki dengan para wanita lain? Atau antara istri saya yang wanita dengan jamaah lain yang laki-laki?
Sama saja, kita tidak harus tawaf dengan cara berdesakan. Kalau penuh dan berjejal, kita menghindari, bukan karena takut batal, tetapi juga cari selamat biar tidak dihimpin lautan bah manusia.
Kalau pun saya tanpa sengaja tersentuh kulit wanita, paling banter emak-emak dari India. Mereka ini memang rada-rada, soalnya tawaf sambil telanjang kaki, tanpa mengenakan kaus kaki. Mereka ini bermazhab Hanafi yang menyakini bahwa mata kaki ke bawah bukan aurat.
Sesuatu yang sudah kita upayakan agar jangan terjadi, tetapi kalau sampai terjadi, maka judulnya bukan pindah mazhab, tetapi menjadi darurat.
Kalau sudah darurat, jangankan sentuhan kulit, makan bangkai, darah dan daging babi pun tidak jadi masalah. Tetapi yang namanya darurat tetap darurat. Hanya apabila terpaksa sekali.
Beda dengan mental pindah mazhab, karena mereka tidak batal sentuhan kulit dengan wanita, lantas ketemu perempuan, langsung main cemek aja.
Saya dan istri selesaikan 7 putaran, lalu sebelum shalat sunnah tawaf, kami pun berwudhu' kembali pakai air di botol sprayer. Tujuannya untuk kembali mengangkat hadats kecil agar shalatnya sah.
Begitu juga bila lagi tawaf terdengar kumandang adzan, sebelum shalat kita wudhu' dulu. Modalnya air di botol saja. Sesederhana itu.
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat