Bolehkah Seorang Guru Menerima Hadiah dari Murid atau Walinya?
Saling memberikan hadiah adalah sesuatu yang dianjurkan, berdasarkan hadits: “Tahadu Tahabbu.” Hadits ini bersifat umum. Berlaku untuk siapa saja dan kapan saja. Tentu yang dianjurkan adalah yang benar-benar hadiah, bukan ‘hadiah’ tapi sesungguhnya risywah.
Yang sering jadi pertanyaan, apakah hadiah yang diberikan murid atau wali murid kepada guru adalah hadiah yang boleh diterima, atau jangan-jangan ia adalah sogok (risywah) yang dinamakan hadiah?
Ada baiknya kita tahu dulu definisi hadiah. Secara istilah hadiah adalah:
المال الذي أُتحِفَ به وأُهْدِيَ لأحدٍ إكرامًا له
“Harta yang diberikan pada seseorang sebagai bentuk pemuliaan baginya.”
Jadi, hadiah itu sesuatu yang diberikan dengan sukarela pada seseorang karena prestasi, jasa, dan kebaikan yang dilakukannya. Karena itu, hadiah beda dengan sedekah. Kalau sedekah, si pemberi sedekah yang berbuat baik (يتفضل) pada orang yang menerima sedekah. Adapun hadiah, si penerima hadiah yang berbuat baik dengan menerima hadiah dari orang yang memberinya.
Dalam masalah hadiah yang diberikan oleh murid atau walinya kepada guru, sebagian kalangan langsung melihat itu sebagai risywah (sogok). Karena itu, hadiah murid kepada guru -menurut mereka- adalah sesuatu yang haram. Dalil yang biasa digunakan adalah hadits:
هدايا العمال غلول
“Hadiah untuk para pegawai adalah ghulul.”
Ada beberapa hal yang perlu kita cermati dalam hal ini:
Pertama, hadiah jelas berbeda dengan risywah. Mengkategorikan hadiah untuk guru sebagai sebuah risywah secara mutlak rasanya sangat tergesa-gesa.
Imam al-Mawardi membedakan antara hadiah dengan risywah:
الرشوة ما أُخِذَتْ طلبًا والهدية ما بُذِلَتْ عفوًا
“Risywah itu sesuatu yang diterima karena permintaan, sementara hadiah adalah sesuatu yang diberikan secara sukarela.”
Dalam al-Fatawa al-Hindiyyah disebutkan:
الهدية مال يعطيه ولا يكون معه شرط، والرشوة مال يعطيه بشرط أن يعينه
“Hadiah itu harta yang diberikan tanpa disertai syarat sama sekali. Sementara risywah harta yang diberikan dengan syarat ia dibantu.”
Dari definisi dan perbedaan ini rasanya tidak tepat menyebut hadiah yang diberikan murid atau walinya kepada guru langsung saja disimpulkan sebagai risywah.
Kedua, mengqiyaskan guru kepada pegawai juga kurang tepat. Satu, karena pegawai yang dimaksud dalam hadits diatas adalah pegawai yang ditunjuk oleh penguasa (pemerintah) untuk tugas tertentu, dimana hadiah yang ia terima diduga kuat sebagai cara dari si pemberi hadiah untuk mendapat kemudahan atau keringanan terhadap kewajiban yang mesti ia tunaikan dari pegawai bersangkutan. Dan ini memang, meskipun disebut hadiah, pada hakikatnya adalah risywah.
Dalam Syarah Muslim, Imam Nawawi berkata:
وَقَدْ بَيَّنَ صلى الله عليه وسلم فِي نَفْسِ الْحَدِيثِ السَّبَبَ فِي تَحْرِيمِ الْهَدِيَّةِ عَلَيْهِ وَأَنَّهَا بِسَبَبِ الْوِلَايَةِ بِخِلَافِ الْهَدِيَّةِ لِغَيْرِ الْعَامِلِ فَإِنَّهَا مُسْتَحَبَّةٌ
“Nabi Saw sudah menjelaskan dalam hadits tersebut sebab kenapa ia (seorang pegawai) diharamkan menerima hadiah yaitu karena jabatan yang dipegangnya. Hal ini tentu berbeda dengan hadiah untuk selain pegawai, ini justeru dianjurkan.”
Dua, sebenarnya larangan pegawai menerima hadiah tidak bersifat mutlak. Imam Ibnu Battal dan Imam Ibnu Hajar dalam Syarah Shahih Bukhari menegaskan bahwa larangan seorang pegawai menerima hadiah berlaku jika tidak seizin pemimpin (atasan). Artinya, kalau pemimpin mengizinkan maka tidak mengapa ia menerima hadiah, sesuai dengan hadits riwayat Imam Tirmidzi, ketika Nabi Saw mengutus Muadz ke Yaman beliau bersabda:
لَا تُصِيبَنَّ شَيْئًا بِغَيْرِ إِذْنِي فَإِنَّهُ غُلُولٌ
“Jangan terima sesuatu tanpa seizinku karena itu adalah ghulul.”
Karena itu, Prof. Dr. Syauqi ‘Allam, -Mufti Mesir sebelum ini- ketika ditanya tentang hukum memberikan hadiah kepada guru mengaji, beliau menjawab:
التهادي أمرٌ مندوبٌ حثَّ عليه الشرع الشريف، وهو نوع من أنواع البر والإحسان، وحيث كان الأمر كذلك فالهدية لحامل القرآن ومعلمه آكد في الاستحباب وأوْلى لشرف وعِظم ما يحملونه، ما كان ذلك على سبيل التكريم والتودد والشكر لهم على جهودهم التي يقومون بها في تعليم كتاب الله تعالى، أو سدِّ حاجتهم وكفايتها، مع مراعاة ألَّا يكون هذا الإعطاء ممنوعًا مِن جهة الإدارة أو العرف، وألَّا يؤثر سلبًا على العملية التعليمية، وألَّا يكون سببًا في تضييع الإنسان حقَّ غيره أو حصولِه على ما ليس له بحقٍّ
“Memberikan hadiah itu sesuatu yang dianjurkan oleh syariat, dan ia termasuk salah satu bentuk berbuat baik. Jika demikian adanya, maka memberi hadiah kepada penghafal Quran dan guru al-Quran lebih utama dan lebih dianjurkan lagi karena kemuliaan apa yang mereka hafal dan ajarkan, selama hadiah itu diberikan untuk memuliakan mereka dan sebagai bentuk terimakasih atas usaha yang telah mereka kerahkan untuk mengajarkan al-Quran, atau untuk menutupi kebutuhan mereka sehari-hari. Dengan catatan, hadiah itu tidak dilarang oleh pihak manajemen (sekolah atau pondok) atau terlarang secara ‘urf (kebiasaan), dan tidak berdampak negatif pada proses belajar mengajar. Juga tidak menjadi penyebab tersia-sianya hak seseorang atau berdampak pada adanya orang yang mendapat sesuatu yang bukan haknya.”
Kesimpulan:
Pertama, memberi hadiah pada guru sebagai bentuk terimakasih atau untuk memuliakannya adalah sesuatu yang boleh, bahkan dianjurkan, selama hal itu tidak diniatkan agar anak yang memberikan hadiah tersebut atau walinya mendapat perlakuan khusus dari guru, atau mendapat nilai lebih dari yang berhak ia dapatkan. Demikian juga halnya dengan si guru, ia boleh menerima hadiah itu selama tidak mempengaruhinya untuk bersikap pilih kasih terhadap murid-muridnya, atau memberikan nilai pada si murid yang memberikan hadiah lebih dari yang berhak ia terima.
Kedua, jika hadiah itu diberikan dalam suasana ujian, kenaikan kelas, penentuan nilai akhir dan sebagainya, yang indikasinya sangat kuat bertujuan agar murid A diberikan perhatian khusus atau nilai lebih, maka ini sebaiknya dihindari, meskipun si pemberi hadiah mengatakan bahwa hadiah ini murni sebagai bentuk terimakasih.
Ketiga, bagaimanapun juga, akan lebih baik bagi guru untuk tidak menerima hadiah apapaun dari murid atau walinya selama ia masih menjadi murid di sekolah atau pondok itu. Adapun kalau anak sudah tamat maka hadiah yang diberikan atau diterima akan lebih aman dan jauh dari syubhat.
والله تعالى أعلم وأحكم
[YJ]
Sumber FB Ustadz : Yendri Junaidi