Penolakan Syariat Imbas Memaksa Aturan ‘Harus Kitab Sezaman’
Sejak awal kali muncul ‘produk buatan’ Kiai Imad dalam tulisan beliau terkait batalnya nasab Ba ‘Alawi’, cara Kiai Imad cukup ‘lihai’ untuk menarik perhatian orang-orang awam bahkan sekelas orang-orang pesantren dengan topeng ‘kajian ilmiah’. Plus dengan penampilan ala ulama dengan imamah dan pakaianya lengkap. Awalnya yang dibahas tentang nasab, namun entah kok malah ‘banting setir’ bahas kitab-kitab sejarah sampai menanyakan mana kitab Abad A B C dsb yang menyebutkan ‘Ubaidillah’ Habib A dan B. Alibi yang cukup ‘lihai’ dari seorang Kiai Imad untuk memaksa kita masuk ‘perangkap’ aturan debat dan aturan buatan beliau.
Imbasnya apa? Segala bukti kitab-kitab yang menyebutkan biografi Sadat Ba ‘Alawi disodorkan kepada ‘beliau’ malah ditolak mentah-mentah karena ‘tidak ada bukti kitab sezaman’. Debat kusir pun berlanjut dibarengi klompok yang pro dan memiliki kepentingan dengan Kiai Imad untuk menampakkan sakit hati dan kebencian kepada Para Habaib.
Muncullah di sana tuduhan-tuduhan keji tidak mendasar ‘nasab nya rungkad’ ‘keturunan yahudi’ dan ujaran kebencian tak mendasar. Tanpa disadari menentang syariat dan kesepakatan ulama terkait hukum fikih.
Bagi orang pesantren yang belajar fikih mungkin merasa ‘geli’ dan ‘lucu’ aja melihat kubu Kiai Imad. Kenapa demikian? Sebab Ilmu nasab hanyalah secuil dari ilmu fikih. Para ulama fikih sudah merumuskan metode untuk mengkodifikasi nasab seseorang. Tentu dalam persoalan nasab tidak bisa asal²an memproduksi ‘aturan baru’.
Dalam penetapan nasab seseorang ke bapaknya atau ke suatu kabilah, para ulama sudah sepakat bahkan taraf Ijmak (konsensus) bahwa nasab seseorang bisa ditetapkan dengan metode ‘Syuhroh wal Istifadhah’, yaitu nasabnya terkenal masyhur. Metode syuhroh ialah dengan adanya Syahadah dua orang adil sudah cukup. Dalam syarat ini sudh cukup dalam menetapkan nasab Ba ‘Alawi dengan adanya syahadah 100 lebih ditambahi dengan istbat dari 300 saksi sebagaimana disebutkan dalam al-Jauharusy-Syaffaf atau Qiladatunnahar (ditulisan saya sebelumnya link: https://www.facebook.com/share/p/wtw1vdUnFknokjEU/?mibextid=oFDknk) dan kitab-kitab lainnya seperti As-Suluk karya al-Janadi, dan yang lain.
Imam Nawawi dalam Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab:
المجموع شرح المهذب (20/ 262)
وان كانت الشهادة على ما لا يعلم الا بالخير وهو ثلاثة: النسب والملك والموت جاز أن يشهد فيه بالاستفاضة، فإن استفاض في الناس أن فلانا ابن فلان، أو أن فلانا هاشمى أو أموى جاز أن يشهد به، لان سبب النسب لا يدرك بالمشاهدة
"Jika kesaksian atas sesuatu yang tidak bisa diketahui kecuali dengan khobar yaitu 3 hal: Nasab, kepemilikan, dan kematian, maka boleh disaksikan dengan istifadhoh (kemasyhuran). Jika sudah Masyhur (menyebar luas) di masyarakat bahwa fulan bin fulan, atau si fulan kabilah Hasyim atau umawi, maka boleh isyhad. Sebab, sabab Nasab tidak bisa diketahui dengan dilihat."
Imam Ibnu Hajar al'Asqallani menuturkan bahwa penetapan Nasab dengan Syhuroh dan Istafdho ialah ijma' ulama:
فتح الباري لابن حجر (5/ 254)
(قوله باب الشهادة على الأنساب والرضاع المستفيض والموت القديم)
هذه الترجمة معقودة لشهادة الاستفاضة وذكر منها النسب والرضاعة والموت القديم فأما النسب فيستفاد من أحاديث الرضاعة فإنه من لازمه وقد نقل فيه الإجماع
Dalam kitab Umdatul-Qori disebutkan disebutkan:
وَيجوز عِنْد مَالك وَالشَّافِعِيّ والكوفيين الشَّهَادَة بِالسَّمَاعِ المستفيض فِي النّسَب وَالْمَوْت الْقَدِيم وَالنِّكَاح.
Imam Al-Bujairami dalam dalam kitabnya menyebutkan:
(وَ) الْمَوْضِعُ الثَّانِي (النَّسَبُ) لِذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ عَيْنَ الْمَنْسُوبِ إلَيْهِ مِنْ أَبٍ أَوْ جَدٍّ فَيَشْهَدُ أَنَّ هَذَا ابْنُ فُلَانٍ أَوْ أَنَّ هَذِهِ بِنْتُ فُلَانٍ، أَوْ قَبِيلَةٍ فَيَشْهَدُ أَنَّهُ مِنْ قَبِيلَةِ كَذَا، لِأَنَّهُ لَا مَدْخَلَ لِلرُّؤْيَةِ فِيهِ
Imam Bujarami dalam Hasyiyah alal-Khotib menuturkan bahwa ijma' ini tidak ada khilaf sebagaimana penuturan Imam Ibnul-Mundzir:
ِ قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ: وَهَذَا مِمَّا لَا أَعْلَمُ فِيهِ خِلَافًا
Imam Ibnu Hajar Al-Haitami juga menyatakan sama:
الفتاوى الحديثية ١/٦٤
(ﻭ) اﻟﻤﻮﺿﻊ اﻟﺜﺎﻧﻲ (اﻟﻨﺴﺐ) ﻟﺬﻛﺮ ﺃﻭ ﺃﻧﺜﻰ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻌﺮﻑ ﻋﻴﻦ اﻟﻤﻨﺴﻮﺏ ﺇﻟﻴﻪ ﻣﻦ ﺃﺏ ﺃﻭ ﺟﺪ ﻓﻴﺸﻬﺪ ﺃﻥ ﻫﺬا اﺑﻦ ﻓﻼﻥ ﺃﻭ ﺃﻥ ﻫﺬﻩ ﺑﻨﺖ ﻓﻼﻥ، ﺃﻭ ﻗﺒﻴﻠﺔ ﻓﻴﺸﻬﺪ ﺃﻧﻪ ﻣﻦ ﻗﺒﻴﻠﺔ ﻛﺬا، ﻷﻧﻪ ﻻ ﻣﺪﺧﻞ ﻟﻠﺮﺅﻳﺔ ﻓﻴﻪ ﻓﺈﻥ ﻏﺎﻳﺔ اﻟﻤﻤﻜﻦ ﺃﻥ ﻳﺸﺎﻫﺪ اﻟﻮﻻﺩﺓ ﻋﻠﻰ اﻟﻔﺮاﺵ ﻭﺫﻟﻚ ﻻ ﻳﻔﻴﺪ اﻟﻘﻄﻊ ﺑﻞ اﻟﻈﺎﻫﺮ ﻓﻘﻂ. ﻭاﻟﺤﺎﺟﺔ ﺩاﻋﻴﺔ ﺇﻟﻰ ﺇﺛﺒﺎﺕ اﻹﻧﺴﺎﻥ ﺇﻟﻰ اﻷﺟﺪاﺩ اﻟﻤﺘﻮﻓﻴﻦ ﻭاﻟﻘﺒﺎﺋﻞ اﻟﻘﺪﻳﻤﺔ ﻓﺴﻮﻣﺢ ﻓﻴﻪ ﻗﺎﻝ اﺑﻦ اﻟﻤﻨﺬﺭ: ﻭﻫﺬا ﻣﻤﺎ ﻻ ﺃﻋﻠﻢ ﻓﻴﻪ ﺧﻼﻓﺎ
Maka dari itu dalam kitab mengkaji khusus dalam bab Nasab, Sayyid Ad-Duktur Abdurrahman bin Majid Alu Qaraja ar-Rifa'i beliau menuturkan dalam kitabnya الكافي المنتخب في علم النسب bahwa para fuqoha' sepakat atas bolehnya menetapkan nasab dengan Syuhroh wal Istifadhoh sebagaimana penuturan Ibnul Mundzir. Sebab jika metode ini tidak dibenarkan, maka tidak ada metode lain untuk mengetahui Nasab seseorang. (Ibarotnya ada SS pertama di bawah). Bahkan Nasab siapapun tidak akan bisa ditetapkan, imbasnya menggugurkan syariat nikah, warisan dan yg lain.
Bahkan beliau melanjutkan dalam kitabnya hal. 55 tidak disyaratkan adanya Amudin-Nasab (mata rantai Nasab) yang berkesinambungan. (Ibarotnya di SS kedua).
Dalil ijma' penetapan Nasab dengan Syuhroh wal Istifadhoh lebih dari cukup untuk menetapkan nasab Sadat Ba 'Alawi dengan beberapa poin:
Pertama: Dari Referensi para sejarawan Hadhramaut atas penyebutan itsbat 300 Mufti Tarim atas Nasab Ba' Alawi sebagaimana disampaikan Syekh Ba Makhromah dalam Qiladatun-Nahr nukil dari Syekh Khotib dalam Al-Jauharusy-Syaffaf dan kitab yang lain. Referensi barusan dari NON BA ALAWI. Lebih² di sana buanyyak kitab tarikh karya Sadat Ba 'Alawi yg menyebutkan nenek moyang mereka.
Kedua: Naqabah atau dalam istilah di Hadhramaut ialah Munshib (Manashib) memiliki Amudin-Nasab (mata rantai Nasab) turun temurun berabad. Ada Munshib Al-Habsyi, Bil Faqih, Al-Muhdhor, dll. Kalau tidak percaya datang ke Tarim, Anda akan tahu bagaimana mereka menjaga mata rantai Nasab mereka dengan banyaknya Qabilah² di Hadhramaut.
Ketiga: Dari penetapan Ijma ulama di atas sudah jelas membuktikan bahwa 'Syarat harus Kitab Sezaman' rungkad dan hanya alibi belaka.
Keempat : Jika syarat barusan dipaksakan, apa berani mengatakan bahwa Nasab Rasulullah ke Sayyidina Adnan tidak bersambung padahal para ulama Ahlus-Sunnah sepakat akan hal itu? Apa iya Nasab Wali Songo yg masyhur bahwa beliau semua Sayyid bukan Sayyid?
Untuk para Pengikut Kiai Imad mari dengerin Dawuh Baginda Nabi:
ﻭﻗﺎﻝ اﻟﻨﺒﻲ - ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - " اﻷﻣﺔ اﻟﻤﺠﺘﻤﻌﺔ ﺣﺠﺔ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺷﺬ ﻋﻨﻬﺎ "
"Kesepakatan Ulama Hujah bagi kelompok yang menyalahinya."
Sadat Ba 'Alawi di dalamnya banyak para ulama hebat dan salih². Apa gak takut' kuwalat'? Semoga Keturunan kita dan Jenengan semua dijaga dari membenci Ahlul-Bait Baginda Nabi. Amin🤲
Pesan terakhir dari para Ulama Sadat Ba Alawi:
نعرف الرجال بالحق ولا نعرف الحق بالرجال
"Kita mengetahui gelar 'Ulama' dengan kebenaran, bukan mengetahui kebenaran sebab 'ketokohan'.
Saya yakin nanti ada yg komentar di kolom komentar bantah 'gak perlu pakai kitab dah. Tes DNA aja. Biar jelas' dan omelan² lainnya.
Pesan saya simpel bagi siapapun para 'Pemuja Tes yDNA'. yDNA itu tarafnya Dzhonni (dugaan) atau bahkan taraf wah, sedangkan hukum syariat itu ظني قريب بالقطعي atau simpel 'Taraf Yakin'. Kaidahnya:
الظني لايعارض القطعي
"Dzhonni itu tidak bisa mengalahkan hukum Yakini".
Contohnya mudah. Iddah 4 bulan 10 hari (bagi yg tidak hamil) itu wajib bagi wanita yg ditinggal mati suaminya. Agar rahim si wanita kosong dari kandungan suami yg meninggal. Lantas, apa nanti gugur kewajiban Iddahnya hanya gegara 'Tidak ditemukan rahim dalam perutnya' dengan alat canggih yg bisa melihat kekosongan rahim. Atau semisal anak Zina. Syariat memutuskan tidak sambung Nasab ya kepada si ayah zinanya. Apa, lantas tersambung Nasab ya gegara DNA nya sama dgn si ayah Zina. Kak tidak toh.
Terkait ketidak validan yDNA sudah dipaparkan tuntas oleh Gus Rumail Abbas di link berikut: https://www.facebook.com/share/p/Y6oUnH9KydbBXV9R/?mibextid=oFDknk
Dalam kajian Syubhat ini masuk kajian 'Mengukur Kebenaran Syariat dgn Penelitian atau temuan barat'. Dan ini sangatlah berbahaya dapat menyebabkan Isqothusy-syarai' hanya degan diukur kebenarannya dengan penemuan manusia yg bisa berubah².
الشريعة هي المهيمن والعلم البشري هو التابع
"Syariat itu Aturan Baku, sedangkan disiplin ilmu buatan manusia ialah Ngikut." Tidak bisa dibalik.
Dan SS terakhir salah satu contoh akan kerancuan 'Syarat Kitab Sezaman' jika dipaksakan.
Moh Baihaqi, Ahad 11 Agustus 2024, Mukalla Yaman
Baca juga kajian ulama berikut :
- Manakala Suatu Perkara Ditangani oleh Kalangan KRESEK
- Penolakan Syariat Imbas Memaksa Aturan 'Harus Kitab Sezaman'
- Ketika 'Syarat Kitab Sezaman' Kiai Imad Dimentahkan
- Kualitas Kitab Al Fikroh Karya Pak Imaduddin, Ternyata Segini
- Kiai Imaduddin Menulis Kitab Pemikiran NU Tapi Isinya 'copas' Dari Situs-situs Wahhabi
- Dua Ulama Wahhabi Dalam Mata Rantai Tesis Kiai Imad
- Rhoma Irama, Kiai Imad dan Sayyid Mahdi Raja'i
- Mengakhiri Polemik Nasab Ba'alawi
Sumber FB Ustadz : Moh Baihaqi