Kata Kullu Menurut Ahli Ilmu part II

𝗞𝗔𝗧𝗔 𝗞𝗨𝗟𝗟𝗨 𝗠𝗘𝗡𝗨𝗥𝗨𝗧 𝗔𝗛𝗟𝗜 𝗜𝗟𝗠𝗨 𝗜𝗜

𝗞𝗔𝗧𝗔 𝗞𝗨𝗟𝗟𝗨 𝗠𝗘𝗡𝗨𝗥𝗨𝗧 𝗔𝗛𝗟𝗜 𝗜𝗟𝗠𝗨 𝗽𝗮𝗿𝘁 𝗜𝗜

Oleh Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq

𝗔. 𝗣𝗲𝗻𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁 𝗽𝗲𝗿𝘁𝗮𝗺𝗮 : 𝗞𝘂𝗹𝗹𝘂 𝗯𝗲𝗿𝗺𝗮𝗸𝗻𝗮 𝗺𝘂𝘁𝗹𝗮𝗸

Sebagian ulama memandang bahwa kata kullu dalam hadits tersebut bermakna semua secara mutlak. Karena dianggap konteks hadits berbicara tentang masalah agama, maka adanya hal baru yang tidak termasuk bagian dari agama, ia tidak tercakup dalam hadits tersebut.

Al imam Asy Syathibi rahimahullah berkata :

أن ‌كل ‌بدعة ‌ضلالة وأن كل محدثة بدعةوما كان نحو ذلك من العبارات الدالة على أن البدع مذمومة، ولم يأت في آية ولا حديث تقييد ولا تخصيص ولا ما يفهم منه خلاف ظاهر الكلية فيها; فدل ذلك دلالة واضحة على أنها على عمومها وإطلاقها

“Bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Setiap hal baru adalah bid’ah. Tidak ada ungkapan yang semisal hadits ini yang begitu terang yang menunjukkan bahwa bid’ah itu adalah perbuatan tercela. Tidak ada ayat maupun hadits yang membatasinya atau mengkhususkan maknanya dan tidak ada pula makna yang bisa dipahami yang menyelisihi makna dzahir hadits tersebut.

Maka ia menjadi dalil yang jelas bahwa sesungguhnya makna hadits tersebut bersifat umum dan mutlak.”[1]

Al imam Ibnu Rajab al Hanbali rahimahullah berkata :

فقوله  صلى الله عليه وسلم كلُّ بدعة ضلالة من جوامع الكلم لا يخرج عنه شيءٌ، ‌وهو ‌أصلٌ ‌عظيمٌ ‌من ‌أصول ‌الدِّين، وهو شبيهٌ بقوله: مَنْ أَحْدَثَ في أَمْرِنا ما لَيسَ مِنهُ فَهو رَدٌّ، فكلُّ من أحدث شيئاً، ونسبه إلى الدِّين، ولم يكن له أصلٌ من الدِّين يرجع إليه، فهو ضلالةٌ، والدِّينُ بريءٌ منه، وسواءٌ في ذلك مسائلُ الاعتقادات، أو الأعمال، أو الأقوال الظاهرة والباطنة

“Maka sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam “Semua bid’ah adalah kesesatan” termasuk dari kalimat yang singkat namun mengandung makna yang luas, tidak ada satupun yang keluar dari keumuman hadits ini, dan ia merupakan pokok yang sangat penting dari dasar-dasar agama.

Hadist ini serupa dengan sabda Nabi lainnya : ‘Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak berasal darinya, maka perkara tersebut tertolak.’ Maka setiap hal baru yang disandarkan kepada agama dan tidak memiliki dasar yang bisa dirujuk itulah kesesatan. Dan agama terlepas dari kesesatan seperti itu. Sama saja itu dalam masalah keyakinan, amal, ucapan yang dzahir maupun yang batin.”[2]

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah :

والبدع ‌المكروهة ‌ما ‌لم ‌تكن ‌مستحبة ‌في ‌الشريعة وهي أن يشرع ما لم يأذن به الله فمن جعل شيئا دينا وقربة بلا شرع من الله فهو مبتدع ضال وهو الذي عناه النبي صلى الله عليه وسلم بقوله كل بدعة ضلالة فالبدعة ضد الشرعة والشرعة ما أمر الله به ورسوله أمر إيجاب أو أمر استحباب وإن لم يفعل على عهده كالاجتماع في التراويح على إمام واحد وجمع القرآن في المصحف. وقتل أهل الردة والخوارج ونحو ذلك. وما لم يشرعه الله ورسوله. فهو بدعة وضلالة

“Dan bid’ah yang dibenci adalah setiap perkara yang tidak diperintahkan oleh syari’at, yaitu membuat syariat baru yang tidak ada perintahnya dari Allah. Barangsiapa membuat sesuatu sebagai agama dan cara mendekatkan diri kepada Allah tanpa syariat dari Allah, maka dia adalah pembuat bid’ah. Itulah bid’ah yang dimaksud dalam ucapan Nabi shalallahu’alaihi wassalam ; “setiap bid’ah adalah sesat”.

Maka bid’ah itu adalah lawan dari pada syari’at. Syari’at itu adalah apa yang diperintah oleh Allah dan RasulNya, baik itu perintah wajib atau yang sifatnya anjuran, walaupun perkara itu belum pernah terjadi di masa Nabi, seperti tarawih berjama’ah, mengumpulkan al Qur’an dalam satu mushaf, membunuh orang-orang murtad atau khawarij dan sebagainya. Apa yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan RasulNya maka itu adalah bid’ah dan kesesatan.”[3]

Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhumaa berkata :

كل بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة

”Seluruh bid’ah itu sesat sekalipun manusia memandangnya baik.”[4]

 Dalil pendapat kelompok pertama ini didasarkan kepada sebuah hadits, di mana Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam bersabda :

‌مَنْ ‌أَحْدَثَ ‌فِي ‌أَمْرِنَا ‌هَذَا ‌مَا ‌لَيْسَ ‌مِنْهُ ‌فَهُوَ ‌رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak berasal darinya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Muslim)

Dalam hadits tersebut jelas dinyatakan bahwa perkara baru yang ditolak adalah perkara dalam urusan kami ini, yang dimaknai dengan urusan agama. Sehingga perkara yang tidak terkait dengan syariat seperti urusan dunia tidak termasuk di dalamnya.

Juga dalil hadits lainnya yang berbunyi :

إِذَا كَانَ شَىْءٌ مِنْ أَمْرِ دُنْيَاكُمْ فَأَنْتُمْ أَعْلَمُ بِهِ فَإِذَا كَانَ مِنْ أَمْر دِينِكُمْ فَإِلَىَّ

“Apabila itu adalah perkara dunia kalian, kalian tentu lebih mengetahuinya. Namun, apabila itu adalah perkara agama kalian, kembalikanlah padaku.” (HR. Ahmad)

Sehingga kesimpulan dari pendapat kelompok pertama ini adalah sebagai berikut :

1. Setiap bid’ah adalah kesesatan, sebagaimana dzahir hadits telah menegaskan akan hal ini. Sedangkan hal-hal baru yang tidak terkait masalah agama tidak termasuk bid’ah.

2. Meskipun kelompok ini menyatakan bahwa lafadz kullu dalam hadits bid’ah bermakna semuanya, tapi tetap harus membagi hal baru menjadi dua, berdasarkan hadits lainnya yang menyebut “Amruna hadza" dalam urusan kami ini. 

Yang kemudian dimaknai dengan urusan agama, sehingga hal baru itu terbagi menjadi dua, hal baru atau bid'ah dalam urusan agama dan hal baru yang terkait masalah dunia.

𝗕. 𝗣𝗲𝗻𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁 𝗸𝗲𝗱𝘂𝗮 : 𝗞𝘂𝗹𝗹𝘂 𝗯𝗲𝗿𝗺𝗮𝗸𝗻𝗮 𝘀𝗲𝗯𝗮𝗴𝗶𝗮𝗻

Yang selanjutnya adalah pendapat dari mayoritas ulama yang menyatakan bahwa lafadz kullu dalam hadits tersebut adalah bermakna semua yang tidak mutlak alias sebagian saja.

Bersambung ...

______________

[1] Al I’tisham (1/188)

[2] Jami’ Ulum wal Hikam hal. 597

[3] Majmu’ Fatawa (23/133)

[4] Al Inayatul Kubra (1/339) 

Baca juga kajian Ustadz AST tentang Bid'ah : 

Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Kata Kullu Menurut Ahli Ilmu part II". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait