Wajib dan Fardhu

WAJIB DAN FARDHU

WAJIB DAN FARDHU

Ketika kita membaca buku-buku fikih, tidak jarang kita temui istilah “Wajib” dan “Fardhu”. Namun yang mungkin membingungkan kita adalah kedua istilah ini hampir selalu difungsikan untuk menyebut konsepsi hukum yang sama yaitu suatu hal yang apabila dilakukan mendapatkan pahala namun jika tidak dilakukan (ditinggalkan) mendapatkan dosa. Lantas, jika fungsinya sama, mengapa harus memakai dua istilah yang berbeda?

Pada dasarnya mayoritas Ulama memang menggunakan dua istilah tersebut untuk satu makna yang sama, namun para Ulama dari kalangan Ḥanafiyyah cenderung membedakan keduanya. Syaikh Aḥmad bin ‘Abdil Lathīf al-Khathīb al-Jāwī menjelaskan :

فأقول الواجب الخ ويرادفه اصطلاحا الفرض عندنا لا في الحج فهما مختلفان فالواجب فيه ما يجبر بدم

“Istilah Wajib secara terminologis bersinonim dengan istilah Fardhu menurut kami, namun tidak dalam bab Haji karena dalam bab Haji pengertian keduanya berbeda. Istilah Wajib dalam bab haji adalah sesuatu yang menuntut dam (apabila wajib haji ditinggalkan).”

[Ḥāsyiyah an-Nafaḥāt ‘alā Syarḥ al-Waraqāt, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2013 M, hlm. 34]

Hal ini senada dengan apa yang dinyatakan oleh Imam asy-Syairāzī sebagai berikut :

والواجب والفرض والمكتوبة واحد وهو ما يعلق العقاب بتركه

“Istilah Wajib, Fardhu, Maktub adalah satu (makna) yaitu sesuatu yang melekat pada dosa sebab meninggalkannya.”

[Al-Luma’ fī Ushūl al-Fiqh, Damskus: Dār al-Kalim al-Thayyib, 1995 M, hlm. 63-64]

Imam asy-Syairāzī juga menyebutkan bahwa para Ulama dari kalangan Ḥanafiyyah memang membedakan pengertian istilah Wajib dan Fardhu. Beliau mengatakan :

وقال أصحاب أبي حنيفة الواجب ما ثبت وجوبه بدليل مجتهد فيه كالوتر والأضحية عندهم والفرض ما ثبت وجوبه بدليل مقطوع به كالصلوات الخمس والزكوات المفروضة وما أشبهها وهذا خطأ لأن طريق الأسماء الشرع واللغة والاستعمال وليس في شيء من ذلك فرق بين ما ثبت بدليل مقطوع به أو بطريق مجتهد فيه

“Para Ulama dari kalangan madzhab Imam Abū Ḥanīfah mengatakan bahwa istilah Wajib merujuk pada sesuatu yang hukum wajibnya ditetapkan berdasarkan dalilnya para Mujtahid (dalil zhanni) seperti pada perkara witir dan kurban. Sementara istilah Fardhu merujuk pada sesuatu yang hukum wajibnya ditetapkan berdasarkan dalil yang pasti (dalil qath’i) seperti pada perkara shalat lima waktu, zakat dan yang semisal. Hal ini keliru karena dalam penamaan syariat, bahasa dan kebiasaan penggunaannya, tidak membedakan keduanya sama sekali, antara apa yang ditetapkan berdasarkan dalil yang qath’i atau yang ditetapkan melalui para Mujtahid (dalil zhanni).”

[Al-Luma’ fī Ushūl al-Fiqh, Damskus: Dār al-Kalim al-Thayyib, 1995 M, hlm. 63-64]

Imam al-Āmidī lebih jelas mengatakan :

وأما في الشرع، ‌فلا ‌فرق بين الفرض والواجب عند أصحابنا إذ الواجب في الشرع على ما ذكرناه عبارة عن خطاب الشارع بما ينتهض تركه سببا للذم شرعا في حالة ما، وهذا المعنى بعينه متحقق في الفرض الشرعي.

وخص أصحاب أبي حنيفة اسم الفرض بما كان من ذلك مقطوعا به، واسم الواجب بما كان مظنونا، مصيرا منهم إلى أن الفرض هو التقدير، والمظنون لم يعلم كونه مقدرا علينا بخلاف المقطوع، فلذلك خص المقطوع باسم الفرض دون المظنون

“Adapun dalam pengertian syariat, maka tidak ada perbedaan antara Fardhu dan Wajib menurut Ulama kami. Hal ini dikarenakan istilah Wajib menurut pengertian syariat sebagaimana yang telah kami sebutkan yaitu ungkapan tentang perintah dari pembuat syariat yang apabila ditinggalkan akan menjadi sebab mendapatkan kecaman secara syariat dalam keadaan umumnya. Makna ini secara esensial termuat dalam istilah Fardhu ‘Ain. Sedangkan para Ulama dari madzhab Imam Abū Ḥanīfah mengkhususkan istilah Fardhu kepada sesuatu yang bersifat pasti (qath’i) dan istilah Wajib kepada sesuatu yang bersifat dugaan (zhanni). Hal ini karena mereka memandang bahwa istilah Fardhu secara bahasa bermakna ‘’at-Taqdīr’’ (perhitungan atau penentuan) sedangkan makna ‘’al-Mazhnū’’ (dugaan) merupakan sesuatu yang tidak bisa ditentukan, berbeda dengan makna ‘’al-Maqthū’’’. Oleh sebab itulah makna ‘’al-Maqthū’’’ yang dikhususkan untuk istilah Fardhu, bukan ‘’al-Mazhnūn” (dugaan)”.

[Al-Iḥkām fī Ushūl al-Aḥkām, al-Maktabah asy-Syāmilah 1444 H, Jilid 1, hlm. 99]

Meskipun para Ulama dari kalangan Ḥanafiyyah memiliki pandangan yang berbeda, namun perbedaan ini tidak mengubah konsepsi hukum yang termuat dari kedua istilah tersebut. Antara istilah Wajib dan Fardhu, sama-sama tetap dimaknai sebagai sesuatu yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan mendapatkan dosa. Dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang terjadi dalam memandang kedua istilah ini merupakan perbedaan yang bersifat lafzhi (penyebutan) semata, bukan perbedaan yang mengubah esensi makna dari kedua istilah tersebut sehingga mengakibatkan adanya perbedaan konsekuensi hukum. 

Wallahu a’lam

Muhammad Adib

Sabtu, 27 Juli 2024 

Sumber FB Ustadz : Muhammad Adib

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Wajib dan Fardhu". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait