Sapi Qurban Hasil Iuran Sekolah, Bolehkah?

Sapi Qurban Hasil Iuran Sekolah, Bolehkah?

Sapi Qurban Hasil Iuran Sekolah, Bolehkah?

Ada pertanyaan bagus dari Mas Andry Oktriawan yang saya kira bagus diangkat dalam status khusus agar jawabannya dibaca banyak orang. Pertanyaannya sebagai berikut:

Assalamualaikum Ya'i Abdul Wahab Ahmad, Izin bertanya Ya'i 🙏 terkait dgn status jenengan tapi di kaitkan dgn hewan kurban di idul adha nanti.

Jadi gini Ya'i, ada sekolah dasar Islam di daerah saya. Pihak sekolah memberikan surat pemberitahuan kepada orang Tua siswa, bahwa siswa di anjurkan untuk menabung disekolahan dan dicatat oleh wali kelas masing2, singkat cerita hasil uang tabungan anak2 dari kelas 1-6 terkumpul lah sebanyak 42 juta untuk dibelikan 2 ekor sapi. Nah orang tua siswa mempertanyakan kepada pihak sekolah, untuk 1 sapi akan diatas namakan siapa saja dari siswa2 tersebut (kalau tidak salah 1 sapi itu hanya bisa maksimal 7 orang ya Ya'i?). Lalu pihak sekolah menyatakan bahwa pihak sekolah menganggapnya itu bukan tabungan siswa, mereka menganggap itu sedekah dari siswa2 untuk beli sapi kurban. Bagaimana tanggapan Ya'i atas sikap sekolahan tersebut dan apakah diperbolehkan dalam fikih? Karna ada beberapa orang tua siswa yg ngedumel bilang tidak ridho hasil tabungan anaknya dibelikan sapi tapi atas nama org lain.

Kemudian, karna banyak protes dari orang tua siswa, maka pihak sekolah mengambil sikap dengan bahasa "mengakali fikih kurban" mereka memutuskan dari 2 sapi akan di atas namakan 2 orang guru dan pahalanya akan di tujukan kepada seluruh siswa di sekolahan tersebut. Terkait dengan hal ini, apakah diperbolehkan oleh fikih Ya'i?

Dan bagaimana hukum fikihnya bila hewan kurban dibeli dari uang hasil berbohong kepada orang lain Ya'i?

Mohon maaf jadi curhat Ya'i 😁 terima kasih atas berkenan untuk menjawab masalah ini Yai 🙏

Jawaban:

Wa'alaikum salam warahmatullah wabarakatuhu. Terkait pertanyaan tersebut ada beberapa poin yang harus dibahas meskipun secara singkat, yakni:

1. Satu sapi qurban hanya dapat berlaku atas nama tujuh orang saja. 

Sudah maklum bahwa dalam fikih, satu kambing hanya cukup untuk atas nama satu orang dan satu sapi hanya cukup atas nama tujuh orang. Dengan demikian, bila satu sapi disembelih atas nama lebih dari tujuh orang, semisal atas nama seluruh murid, maka itu namanya bukan qurban tapi sekedar sedekah daging sapi. Hukum sedekah daging sapi tentu sunnah, sama dengan sedekah hal lain. Hanya saja, sedekah daging jauh berbeda dengan berquban dari segi keutamaan dan pahalanya. Sebab itu, qurban memiliki aturan khusus yang lebih ketat sebab pahalanya sangat besar jauh melampaui sekedar sedekah daging.  Dalam fikih qurban, ada aturan terkait waktu penyembelihan, jumlah orang yang berserikat dalam satu hewan qurban, siapa pihak yang berhak menerima daging qurban dan sebagainya yang semuanya tidak diatur dalam fikih sekedah daging secara umum. Karena berbeda, maka keduanya tidak dapat disamakan.

2. Pengatasnamaan dua sapi untuk dua guru

Niatan pihak sekolah untuk mengatasnamakan kedua sapi tersebut atas nama dua guru lalu pahalanya ditujukan untuk semua siswa sebenarnya secara fikih bisa-bisa saja, namun pengatasnamaan tersebut harus atas izin seluruh pihak yang uangnya dipakai atau yang ikut urunan sapi. Bila ada pihak yang keberatan, maka pengatasnamaan itu batal sebab dibuat sepihak. 

Harus diingat juga bahwa pengatasnamaan dua guru ini bukan sekedar basa-basi atau formalitas belaka sebab ada konsekuensi hukumnya. Konsekuensinya di antaranya: Seluruh murid berarti iuran memberikan uang tabungannya kepada kedua guru tersebut untuk ibadah qurban mereka berdua. Meskipun ada embel-embel “pahalanya diniatkan untuk seluruh siswa”, namun secara fikih yang dicatat telah melakukan ibadah qurban dengan pahala yang sangat besar adalah tetap pihak yang qurbannya diatasnamakan mereka. Orang yang “mendapat hadiah pahala” tetap tidak sama dengan orang yang melakukan ibadah secara langsung. 

Ini sama kasusnya dengan seorang bapak menyembelih qurban atas nama dirinya lalu dia ingin pahalanya juga diberikan pada seluruh keluarganya, secara fikih yang disebut berqurban tetaplah si bapak itu tadi, bukan seluruh keluarganya. Demikian juga seorang pemimpin yang berqurban lalu berniat agar pahalanya disalurkan pada seluruh rakyatnya, maka yang berqurban tetaplah sang pemimpin itu saja. Dalam hal ini, Imam Ramli berkata dalam Nihayatul Muhtaj:

وَتَقَدَّمَ جَوَازُ إشْرَاكِ غَيْرِهِ فِي ثَوَابِ أُضْحِيَّتِهِ، وَأَنَّهُ لَوْ ضَحَّى وَاحِدٌ عَنْ أَهْلِ الْبَيْتِ أَجْزَأَ عَنْهُمْ مِنْ غَيْرِ نِيَّةٍ مِنْهُمْ، وَإِنَّ لِلْإِمَامِ الذَّبْحَ عَنْ الْمُسْلِمِينَ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ إنْ اتَّسَعَ، وَلَا يَرُدُّ ذَلِكَ عَلَيْهِ لِأَنَّ الْإِشْرَاكَ فِي الثَّوَابِ لَيْسَ أُضْحِيَّةً عَنْ الْغَيْرِ

“Telah lalu penjelasan kebolehan mengikutsertakan orang lain dalam pahala kurban seseorang dan bahwasanya apabila satu orang dari anggota keluarga berqurban, maka maka seluruh keluarganya tercover tanpa perlu niat dari mereka, dan bahwa seorang imam boleh menyembelih qurban dari kas negara yang pahalanya untuk seluruh kaum muslimin kalau memungkinkan. Hal ini tidak dapat digugat sebab menyertakan orang lain dalam pahala adalah berbeda dari berqurban atas nama mereka” (Nihayatul Muhtaj)

Fokus pada bagian terakhir bahwa mengikutsertakan dalam pahala bukanlah ibadah qurban atas nama mereka. Artinya, yang secara fikih menjadi pelaku langsung dan mendapat janji pahala bersar berbeda dengan orang yang hanya disertakan saja. Yang hanya mendapat hadiah pahala tidak disebut berqurban sehingga bila ada orang bernazar untuk berqurban, maka dia harus melakukan ibadah qurban sendiri tidak bisa sekedar “menumpang” pahala qurban pada orang lain. Demikian pula bila ada sayembara untuk orang yang berqurban, maka yang berhak ikut sayembara adalah hanya yang berqurban langsung, bukan yang mendapat hadiah pahala. 

Dengan kata lain, dalam kasus sekolah tersebut apabila skema pengatasnamaan kedua guru dilakukan, maka yang secara teknis berqurban hanyalah dua guru tersebut. Seluruh siswa lainnya tidaklah berstatus berqurban tapi hanya mendapat hadiah pahalanya saja. Bila seluruh pihak sepakat, maka skema ini dapat dilaksanakanakan, dan tentunya bila tidak sepakat maka tidak boleh.

3. Penggunaan uang tabungan harus seizin pemilik uang

Poin krusial yang ditekankan dalam pertanyaan tersebut adalah keberatan dari pihak orang tua siswa bila uang tabungan anaknya digunakan sebagai iuran membeli sapi untuk disembelih di Idul Adha. Keberatan ini berhak diajukan sebab orang tua adalah wali dari siswa yang menabung dan keberatan ini harus diterima oleh pihak sekolah. Pihak penabung (siswa dan walinya) berhak sepenuhnya menggunakan uang tabungannya untuk apa pun sekehendak mereka. Sedangkan pihak sekolah, sama sekali tidak berhak melakukan apa pun dari uang murid tanpa seizin mereka sebab pihak sekolah bukan pemilik uang tersebut melainkan hanya pihak yang dititipi uang. Dengan demikian, keputusan sekolah tersebut tidak dapat dibenarkan. 

Keputusan untuk membeli hewan qurbannya wajib atas restu semua pimilik tabungan dan Keputusan untuk menentukan siapa pihak yang nantinya diatasnamakan sebagai mudhahhi (pelaku qurban) juga wajib atas restu semua pemilik tabungan. Bila dipaksakan sepihak, maka itu namanya ghasab yang jelas diharamkan sehingga uangnya harus diganti. Inilah bedanya kas sekolah dan tabungan siswa. Dalam kasus kas sekolah, maka kebijakan penggunaannya ada di tangan kepala sekolah, tapi kalau tabungan siswa, maka tentu ada di pemilik tabungan (siswa). Meskipun andai saja tabungan itu sejak awal diberi judul “tabungan untuk qurban”, maka tetap saja mekanisme qurbannya harus tetap dengan persetujuan pemilik tabungan, apakah dikembalikan kepada masing-masing penabung untuk digunakan sebagai tambahan biaya qurban sendiri-sendiri ataukah diatasnamakan untuk qurban orang lain.

Kesimpulannya, pihak sekolah tersebut tidak dibenarkan menggunakan uang tabungan siswa untuk secara sepihak melakukan apa pun. Semua hal terkait tabungan harus atas ridha pemilik tabungan. Bila Sebagian pihak ada yang ridha dan sebagian lainnya tidak, maka hanya tabungan pihak yang Ridha saja yang boleh digunakan. Wallahu a’lam.

Semoga bermanfaat. 

Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Sapi Qurban Hasil Iuran Sekolah, Bolehkah?". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait