Kembali ke al-Quran dan Sunnah, Untuk Siapa?
Posted by Ustadz : wahyudi
Seringkita kita mendengar ungkapan bahwa di antara yang dijadikan motto oleh Muhammadiyah yaitu kembali kepada al-Quran dan sunnah. Dengan kata lain, berbagai persoalan umat, baik yang terkait dengan paham keagamaan atau muammalah duniyawiyah akan dicarikan solusinya secara langsung dengan merujuk kepada al-Quran dan sunnah.
Jika kita perhatikan Fatwa Tarjih Muhammadiyah, seringkali kita menemukan pendapat yang dinukil dari para ulama. Majelis Tarjih tetap menjadikan para ulama sebagai timbangan dalam berijtihad. Ini artinya bahwa Muhammadiyah tidak memulai dari nol untuk kembali kepada Quran dan sunnah. Muhammadiyah tidak merumuskan ulumul hadis baru, ulumul Quran baru, tafsir baru, atau bahkan meneliti hadis-hadis nabi dari nol layaknya para imam hadis. Para ulama Muhammadiyah tidak meletakkan standar baru dalam ulumul hadis lalu keliling dunia untuk mengumpulkan hadis beserta sanadnya untuk diteliti keshahihannya layaknya Imam Bukhari dan Muslim. Muhammadiyah tetap menapaki jalan yang telah dirintis oleh ulama terdahulu.
Jika kita tidak memulai dari nol, mau tidak mau tatkala ingin kembali kepada al-Quran dan sunnah bearti juga perlu belajar berbagai cabang ilmu pengetahuan warisan para ulama. Sebelum mengeluarkan fatwa dari suatu persoalan, tidak langsung membuka al-Quran dan berkesimpulan, namun tetap menjadikan perkataan para ulama sebagai timbangan itjihad. Jadi, para ulama tarjih itu tetap membuka-buka kitab kuning.
Mengapa harus demikian? Karena membuat rumusan ilmu pengetahuan tidaklah mudah. Membuat satu cabang ilmu saja, membutuhkan kemampuan ekstra dan keilmuan yang luar biasa. Bahkan satu cabang ilmu bisa berdiri secara independen kadang setelah melewati bahasan dari sekian generasi. Generasi ala meletakkan pondasi, lalu dilengkapi dengan generasi selanjutnya sehingga satu bangunan cabang ilmu bisa sempurna.
Kesimpulannya, kembali ke al-Quran dan sunnah secara otomatis kembali ke turas Islam. Memahami dan menguasai turas Islam bukan perkara mudah. Perlu belajar dengan tekun dan sabar hingga kita bisa menguasai berbagai cabang ilmu yang sudah dirumuskan oleh para ualma. Proses belajar tahunan itu yang kemudian akan membentuk kematangan betfikir seorang santri sehingga ia “naik kelas ” menjadi seorang mujtahid.
Jadi kembali ke Quran sunnah bukan bearti meloncat langsung ke al-Quran dan Sunnah. Dibutuhkan ilmu yang memadai terkait berbagai cabang ilmu, sehingga bisa memahami dalil dan bisa beristidlal. Bisa membaca Quran dan hadis nabi saja belum cukup untuk bisa memecahkan persoalan umat.
Jadi untuk siapa jargon kembali kepada al-Quran dan Sunnah? Tentu untuk para ulama yang sudah menguasai piranti ijtihad dan bukan untu orang awam. Jika ada persoalan, orang awam langsung merujuk kepada Quran sunnah, bisa sesat menyesatkan. Ini sesuai dengan hadis nabi:
إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من الناس ، ولكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى إذا لم يترك عالما اتخذ الناس رءوسا جهالا فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا ) رواه مسلم
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari manusia, namun mencabut ilmu dengan mencabut para ulama. Sehingga jika sudah tidak ada lagi ulama, orang-orang memilih pemimpin dari kalangan orang bodoh. Mereka lalu bertanya kepadanya, lalu orang bodoh itu memberi fatwa tanpa ilmu dan mereka akan sesat menyesatkan. (HR. Muslim.)
Jadi orang awal tetap pada mazhab aslinya yaitu taqlid kepada ulama. Wallahu alam
Sumber FB Ustadz : Wahyudi Abdurrahim