Perbedaan Pendapat tentang Ibnu Araby dan Bahaya Membuka Perdebatan Ulama dalam Masalah Khilafiyah Diruang Publik
Para imam yang membela dan memuji ibnu araby seperti syeikhul islam ibnu hajar alhaitamy, assuyuty, ibnu abidin, alhaskafy, ibnu kamal basya, al-alusy, syah waliyullah dahlawy, said noursy dll bukan semata karena husnuzon dan tidak punya ilmu, tapi karena keilmiyahan mereka lah yang membuat mereka sampai pada kesimpulan seperti itu, bukankah itu tajaru' terhadap maqam para imam?
Begitu juga para imam yang menolak dan mengingkari ibnu araby seperti ibnu khaldun, taqiyudin subky, ibnu hajar asqalany, mustafa shabry, dll, tentu bukan semata karena suuzon atau tidak punya adab kepada para wali, tapi karena keilmiyahan mereka lah yang membuat mereka sampai pada kesimpulan seperti itu. Lah siapa kita yang menilai para imam seperti itu.
Begitu juga para imam yang tawaquf atau punya lebih dari satu pendapat seperti izz abdusalam, syauqany, munawy, sirhindy, dll, mereka sampai pada kesimpulan seperti itu ya karena mereka netral dan ilmiyah. Jadi ketiga mawaqif(posisi) semuanya ada para imam disana, tidak boleh sengaja menutupi salah satunya hanya karena kita membela pendapat tertentu, apalagi dengan siyaq yang menggiring seolah semua ulama sepakat dalam maslah ini, itu bentuk tadlis pada masalah mukhtalaf fiha.
Jadi ketika para imam mutakhasisin sampai pada sebuah kesimpulan, jangan kita menuduh mereka hanya sekedar husnuzan atau qilatul adab dan tidak ilmiyah, itu tentu merendahkan keilmiyahan para imam. Kita boleh berbeda pendapat dengan para imam, bahkan mengatakan bahwa pendapat yang kuat adalah yang bukan pilihan mereka, itu biasa saja, tapi itu sama sekali bukan karena mereka tidak ilmiyah atau modal hukum karena husnuzan atau suuzan.
Perlu diingat sebagian mereka itu keilmiwannya sampai di rutbah imamah dan syeikhul islam, jika selevel syeikhul islam tidak ilmiyah siapa lagi yang ilmiyah? Seharusnya dihadapan mereka jari ketidak ilmiyahan ditujukan pada diri kita sendiri. Ilmu yang tidak sebanding dengan mereka, wara' yang tidak sebanding, bacaan yang tidak sebanding, seharusnya kitalah yang disebut tidak ilmiyah, tapi lau tanazalna bahwa mereka bisa salah, tiu bukan berarti kita boleh mengatakan mereka tidak ilmiyah atau tidak netral, hasyahum ya muashirin.
Lagian masalah ibnu araby itu masalah rumit, dimana para imam besar didalam madrasah ahlussunah wal jamaah berbeda pendapat tentangnya. Dan ratusan tahun sudah jadi perdebatan, dan kemungkinan akan terus jadi polemik, dan sepertinya akan sulit dibayangkan bahwa dimasa depan akan terjadi kesepakatan dalam masalah ini, walaupun itu tidak mustahil, dan saat itu tiba akan ada fatwa lain dari ulama ahlussunah tentang kesepakatan.
Jadi bagi thalibul ilm, biarkan permasalahan ini jadi polemik diruang ilmiyah, jangan di tarik ke ranah ruang khitab awam. Apalagi sampai tajaru' dengan menstempel ulama yang memilih menolak dengan qillatul adab dan memusuhi waliyullah, atau tajaru' menstempel ulama yang membela dengan tidak ilmiyah, objektif dan bermodal husnuzan saja. Stempel seperti Ini akan menjadi fitnah di bait khitab ahlussunah. Bagi yang membela jangan merasa kita paling beradab pada ulama, bagi yang menolak jangan merasa paling ilmiyah, yang kalian tuduh itu para imam kibar, dimana sebagian mereka dilevel syeikhul islam.
Toh ada kesepakatan dibeberapa titik seperti menjelaskan aqwal ibnu araby dengan pemahaman diluar ahlusunah seperti wahdatul wujud ala mazhab falasifah(terutama isyraqiyun) itu tertolak, apalagi jika ditafsirkan dengan ittihad dan hulul(dimana muhaqiqin dari pengkritik ibnu araby bukan itu yang dipermasalahkan, karena kesalahan ini mahal ittifaq), dimana yang seperti itu ditolak baik yang membela ibnu araby dikalangan ahlussunah ataupun yang mengingkari ibnu araby dikalangan ahlussunah.
Begitu juga ada kesepakatan antara yang membela dan mengingkari tentang masalah larangan mengajarkan aqwal atau buku ibnu araby yang bermasalah dikalangan awam, baik dari yang membela dikalangan ahlussunah ataupun bagi yang menolak dari kalangan ahlussunah juga. Hampir semua mereka sepakat untuk melarang ini, bahkan dari kalangan ulama yang mentakzhim ibnu araby hampir sepakat melarangnya.
Yang menjadi perbedaan itu bolehkah menjelaskan aqwal ibnu araby jika telah ditakwilkan dengan pemahaman sesuai pemahaman ahlussunah wal jamaah atau tidak boleh? Yang mengatakan boleh, mengatakan itu ga akan bermasalah karena sudah ditakwil jadi iltibasnya udah hilang, apalagi ada fawaid yang sangat dalam dalam buku mereka, jadi yang disebar bukan zahir ibarah, tapi kalam muawwalah. Adapun bagi yang menolak mengatakan itu mengingkari fi nafsil amr(fakta) masalah dan masuk kedalam safsatah dalam memahami nushus. Keduanya mempunyai dalil kuat. Disinilah yang jadi perbedaan dikalangan sesama ahlussunah.
Diantara yang juga jadi perbedaan, bagaimana aqidah ibnu araby fi nafsil amr? Dimana bagi yang menolak mengatakan bahwa ibnu araby sesat fi nafsil amr dan tidak boleh mengajak orang mentakzimnya, karena akan menjadi fitnah. Menurut yang membela beliau benar hanya salah dipahami bahkan beliau waliyullah, jadi tidak masalah mengajak orang mentakzhim beliau, selama tidak diajarkan buku/aqwal beliau yang bisa disalahpahami, lagian mansya' takzhim aqwal beliau juga sudah ditakwilkan dengan yang benar, jika itu dilakukan maka aman dari fitnah.
Itulah yang jadi perbedaan dikalangan ulama, dan mungkin sampai kapanpun akan terus jadi perbedaan. Jadi kalau kita mentahrir niza', sebenarnya yang dipermasalahkan itu lebih pada masalah fikih. Pertama tentang menyampaikan pendapat bermasalah yang sudah ditakwil. Dan kedua pada masalah ajakan takzhim untuk orang mukhtalaf fiha dikalangan para imam, yang bahkan perbedaannya dilevel masyaikhatul islam. Baik masalah menyampaikan qaul yang telah ditakwil atau masalah ajakan takzhim kepada orang yang mukhtalaf fiha, keduanya jelas bukan masalah aqidah muttafaq alaihima, tapi lebih pada masalah fiqh, hanya saja manath permasalahan pada mahkum alaih itu tentang aqidah seseorang.
Sebagai taqrib, walau tidak sama persis, ini mirip dengan masalah riwayat seorang ahli bid'ah(yang aqidahnya bermasalah) bisa diterima atau tidak? Ini jelas masalah fikih yang mukhtalaf fiha, karena menyangkut amalan penerimaan hadis, tapi tahqiq manath apakah itiqad seseorang itu beneran bid'ah atau tidak itu kaitannya dengan bahs aqidah terhadap orang itu. Jadi masalah fikih dengan manath aqidah. Dalam masalah ini begitu juga menjelaskan tentang sosok mukhtalaf fiha dan mengajak mentakzhimnya itu masalah fikih, tapi mengenai mazhab sosok tersebut fi nafsil amr itu masalah aqidah.
Nah sebagaimana kita tau, sosok ibnu araby tentang fi nafsil amr aqidahnya, itu masih mukhtalaf fiha, bahkan diantara ulama besar. Manath permasalahannya sendiri belum muhaqaq dan masih mukhtalaf. Apalagi masalah takzhim dan menyampaikan qaul yang ga bermasalah, itu masalah dhanny ijtihady. Kalau masalah masih dhanny, mukhtalaf fiha, dan ijtihady, itu bukan ranah amar makruf nahi Munkar, apalagi jika pembahasannya dilempar dikalangan awam.
Buat apa melemparkan masalah perdebatan ulama yang masih dhanny seperti ini dikalangan awam, itu akan menimbulkan fitnah dan keributan, ini berlaku baik bagi yang membela atau menolak, biarkan itu menjadi perdebatan diruang ilmiyah, dimana jika sudah ada kesepakatan dikalangan ulama ahlussunah baru mungkin dilemparkan ke awam. Adapun jika ada yang mentakwil dengan yang salah(seperti isyraqy) atau mempromosikan qaul musykil dikalangan awam, maka kita dalam saf yang sama dalam menghadapi orang itu, karena ulama sepakat dalam menolaknya, dan kesepakatan itu jadi pondasi untuk melakukan amar makruf nahi munkar.
Adapun masalah khilafiyah, ruangnya bukan ruang khitab awam, jadi ga perlu lah masalah perdebatan seperti ini dilempar dikalangan awam, karena kebanyakan awam ga siap berbeda, akhirnya masalah dhanniyah akan jadi ajang perpecahan saling fitnah, itu sangat berbahaya. Laisa minal fiqh berdebat perkara zhanniyah diruang khitab awam, berbeda dengan ruang ilmiyah, disana kita berdebat sekeras apapun, karena karena punya alat untuk itu, sangat berbeda dengan ruang publik.
Jadi tulisan ini bukan ditujukan menjawab hakikat masalah Ibnu araby, karena itu forumnya diruang ilmiyah, tapi lebih kepada mengajak bagaimana menyikapi masalah ini diruang publik, dengan fikih yang tepat, agar tidak menjadi fitnah, keributan, dan perpecahan, apalagi sampai dilevel menuduh para imam suul adab atau tidak ilmiyah, itu akan menjatuhkan sosok ilmiyah dimata awam, yang paling dirugikan adalah mazhab sendiri, karena kita para thalibul ilm mungkin bisa menanggapinya secara proporsional, tapi ga semua orang bisa seperti itu.
Jadi kondisi kondusif harus dijaga, sebagaimana para ulama mutaakhirin sukses megelola perbedaan ini dikalangan awam, sambil tetap memperdebatkannya di forum ilmiyah, itu biasa, karena ga semua yang kita dapatkan diruang belajar harus kita sampaikan dikalangan awam, sampaikanlah apa yang mereka pahami. Lagian apa urusan awam memahami pendapat musykil ibnu araby atau tidak, ga menambah apapun bagi mereka, dan ga mengurangi apapun.
Hukum ulama pada beliau dan aqidahnya sama sekali bukan bagian ushul mazhab ahlussunah, tapi ijtihadiyah, kalau kata imam nawawi dalam menanggapi polemik semacam ini "tilka ummatun qad khalat", kecuali jika ada yang menyebar pemahaman dengan takwil yang salah dikalangan awam atau mengajarkan aqwal ibnu araby yang musykil secara mentah dikalangan awam, itu memang menjadi tugas kita untuk menghadapinya secara bersama. Itu mahal ittifaq untuk menolaknya.
Karena tugas kita adalah menjaga awam agar tetap berada pada pemahaman ushul aqidah ahlusunah wal jamaah dan yang muttafaq alaih. Bukan mengikutkan mereka kedalam perdebatan ulama dalam masalah furu' aqidah ahlussunah yang ada dalam kitab yang kita pelajari. Awam ga butuh itu, dan mereka bisa istiqamah dengan aqidah yang benar tanpa perlu memahami itu
Perlu diingat satu kaidah penting dalam dakwah, jika amar makruf nahi Munkar itu ada pada hal yang disepakati, bukan pada hal yang mukhtalaf fiha. Jadi bukan hanya masalah ibnu araby, maaalah furu lain juga begitu, seperti masalah kebolehan takwil dan tafwidh pada sifat pada hanabilah, tentang imkan sifat atau wujub pada saad, dll biarkan perbedaan itu ruang ilmiyah, itu bukan bagian dari amar makruf nahi munkar dikalangan awam, karena dalam madrasah ahlussunah sendiri ada perbedaan.
Tuhan memang ingin menurunkan sebagian firmannya dengan dilalah dhanniyah kok, maka jangan mengqat'ikannya. Sekali lagi ini bukan membahas tentang apa sebenarnya pendapat ibnu araby fi nafsil amr, itu ruangnya ilmiyah, dan aku merasa tidak perlu membahas itu dikalangan awam diforum fb seperti ini, walaupun insyaallah saya sudah mempelajari dan insyaallah memahami cara berfikir kedua kelompok secara ilmiyah dengan tahrir mahal niza'nya. Tapi bukan itu yang menjadi tujuan dari tulisan ini.
Tentu saja kita membahas tema tahawul azab uzubah, masalah fanaunnar, ardhu samsamah, masalah wahdatul wujud, hadrat khayal, hubungan antara mazhab beliau dengan mazhab isyraq, dll baik dengan guru atau teman-teman diforum khas, baik dari indonesia atau arab, atau negara lain, tapi diforum khusus, bisa jadi kadang kita setuju, bisa jadi ga setuju dan menganggap beliau keluar dari pendapat mu'tabar, itu biasa, beliau ga makshum. Tapi status ini ga membahas itu, tapi membahas mengenai hal yang disepakati dari kaidah amar makruf nahi munkar "amar makruf nahi munkar hanya untuk masalah muttafaq alaih", dan kaidah ini muttafaq alaih, makanya saya sampaikan ini diruang publik.
Dibawah ini adalah nukilan ibarat dari Kitab ihya ulumudin karangan imam al-ghazaly tentang kaidah amar makruf nahi munkar, jika kita memakai kaidah ini insyaallah kita akan paham bagaimana menyikapi perbedaan ulama, sehingga perbedaan tidak menimbulkan perpecahan. Lagian kita awam ngapain bikin ribet diri sendiri dengan membahas perbedaan, allah ga merintahin itu. Perbaiki aja ushul aqidah selebihnya serahkan pada ulama. Aman lah kita dunia akhirat, jangan nambah beban diri sendiri.
ما هكذا تورد الابل يا سعد!!!
Sumber FB Ustadz : Fauzan Inzaghi