Memahami Kaidah Bid'ah

Memahami Kaidah Bid'ah

MEMAHAMI KAIDAH BID'AH

1. Tidak ada kaidah bahwa "setiap yang tidak dilakukan oleh Nabi adalah bid'ah yang sesat (haram)". Kaidah seperti itu hanya diciptakan oleh orang-orang jahil agama. Karena, selain tak satupun ulama' salaf maupun khalaf yang mengucapkan kaidah tersebut, juga berimplikasi menyesatkan apa saja yang dilakukan sahabat tapi tidak dilakukan oleh Nabi. Sayangnya kejahilan ini terus menerus diyakini, disuarakan dan diwariskan secara turun temurun kepada pengikut mereka yang jahil ilmu agama. 

2. Dalam memahami term bid'ah dalam hadits-hadits Nabi bisa kita maknai dengan dua makna atau pengertian, yaitu makna bahasa (makna umum) atau makna syara' (makna khusus). Pengertian secara bahasa, bid'ah adalah setiap muhdats (perkara baru) yang tidak ada dizaman Nabi. Pengertian secara syara' adalah setiap muhdats (perkara baru) yang tidak ada dizaman Nabi serta bertentangan dengan al-Qur'an, al-Hadits, dan ijma'. 

3. Jika bid'ah kita maknai secara bahasa (makna umum), maka bid'ah terbagi menjadi dua, yaitu bid'ah hasanah (tidak ada dizaman Nabi, tapi tidak bertentangan dengan al-Qur'an, al-Hadits dan ijma') dan bid'ah sayyi'ah (tidak ada dizaman Nabi dan bertentangan dengan al-Qur'an, al-Hadits dan ijma'). Tetapi jika kita maknai secara syara', maka tidak ada istilah bid'ah hasanah, sebab kalimat bid'ah secara syara' diberlakukan untuk perkara yang tidak baik dalam agama karena ia bertentangan dengan al-Qur'an, al-Hadits dan ijma' dan tidak ada perkara buruk yang dibilang baik. Dan ulama' menerima dua pemaknaan tersebut, karena tidak saling berlawanan atau saling menihilkan. 

4. Yang dilakukan oleh shahabat khulafa' rasyidin, seperti tarawih berjama'ah 20 rakaat, adzan dua kali dalam jum'atan, menghimpun mushhaf, dan menciptakan teori dasar ilmu nahwu, bukan termasuk bid'ah walaupun tidak dilakukan oleh Nabi, tapi disebut dengan sunnah. Boleh disebut bid'ah secara bahasa, tapi harus ditambahi qayid "hasanah" (bid'ah hasanah). Dan Sayyidina Umar adalah orang pertama yang menggunakan istilah bid'ah hasanah dari sisi bahasa atau makna umum. 

5. Jika kita memaknai bid'ah secara syara' (makna khusus), maka hadits "kullu bid'ah dhalalatun" (setiap bid'ah adalah sesat) berlaku umum tanpa takhsis (am ghairu makhsus). Tetapi jika kita maknai bid'ah secara bahasa (makna umum), maka hadits tersebut berlaku umum tapi dibatasi cakupannya ('am makhsus), yakni terbatas pada hal baru yang tidak ada dizaman Nabi serta bertentangan dengan al-Qur'an, al-Hadits dan ijma' (bid'ah sayyiah). Adapun hal baru yang tidak demikian, maka tidak masuk cakupan hadits diatas. Di sini banyak orang yang salah faham.

6. Menurut penelitian, ulama' Ahlussunnah wal Jama'ah ada yang memaknai term bid'ah dalam hadits-hadits Nabi melalui pendekatan bahasa (makna umum) seperti Imam Syafi'i, Imam Izzuddin bin Abdissalam, Imam an-Nawawi dan lain-lain. Dan imam Syafi'i adalah ulama' salaf yang dengan tegas dan jelas membagi bid'ah menjadi dua. Tetapi juga ada yang memaknai bid'ah secara syara'. Tetapi sebagaimana diatas, khilaf pemaknaan ini hanya sebatas khilaf lafzhi saja (bukan khilaf sesungguhnya), sebab ulama' dari dulu tidak ada yang mempermasalahkan dua makna tersebut.

7. Maulid Nabi dan tradisi selamatan kematian masyarakat adalah hal baru yang tidak ada dizaman Nabi, tetapi juga tidak bertentangan dengan al-Qur'an, al-Hadits dan ijma'. Karena itu, keduanya tidak boleh disebut bid'ah secara syara' (makna khusus), tapi boleh disebut bid'ah hasanah secara bahasa (makna umum). 

8. Ibadah adalah bentuk ritual penyembahan kepada Allah yang memerlukan niat, seperti shalat, haji, zakat dan lain-lain. Sementara qurbah adalah ritual penyembahan kepada Allah tetapi tidak memerlukan niat, seperti sedekah, baca Qur'an, dzikir dan lain-lain. Ibadah yang bersifat asal (mahdhah) tidak boleh dikreasikan melalui qiyas atau ijtihad, tetapi harus ada tauqif atau contoh langsung dari Rasulullah (dalil khusus). Adapun ibadah atau qurbah yang tidak bersifat asal (ghairu mahdhah) atau sebatas wasilah atau juz'iyah/far'iyah, maka boleh saja ditetapkan melalui qiyas dan ijtihad atau cukup dengan dalil umum (tidak perlu dalil khusus). Dan telah ada yang menulis thema khusus tentang qiyas dalam ibadah ini. Maulid Nabi dan selamatan kematian, jika kita masukkan dalam ibadah atau qurbah, maka ia masuk kategori wasilah atau juz'iyah/far'iyah (bukan asal/pokok ibadah), sehingga tidak perlu tauqif langsung dari Rasulullah ﷺ, tapi cukup dengan dalil umum.

9. Bukti atas bolehnya qiyas dan ijtihad dalam ibadah atau qurbah yang tidak mahdhah adalah banyaknya ritual yang dibuat oleh shahabat dan ulama' salaf, misal shahabat Utsman bin Affan yang puasa bertahun-tahun, Tamim ad-Dari yang mengkhatamkan al-Qur'an dalam satu rakaat, Ibn Abbas yang melakukan tradisi ta'rif (berdoa di sore hari Arafah), beberapa sahabat yang menciptakan sighat sholawat kepada Nabi, Imam asy-Syafi'i yang melafalkan niat shalat dan lain-lain.

10. Sebagian ulama' menyebut untuk perkara baru yang tidak dilakukan Nabi, tapi dilakukan oleh sahabat atau yang lain seperti menghimpun al-Qur'an, mendirikan madrasah, pesantren dan lain-lain dengan istilah "maslahah mursalah". Istilah ini digunakan oleh ulama' Malikiyah. Bagi mayoritas ulama', mau disebut "maslahah mursalah" atau "bid'ah hasanah" bukanlah persoalan besar, karena pada intinya keduanya sama-sama tidak dilakukan Nabi dan bukan sesat.

11. Imam as-Syathibi al-Maliki al-Asy'ari memiliki istilah khusus untuk perkara yang dari satu sisi dicontohkan, tapi sisi lain tidak dicontohkan sebab penentuan waktu, batasan, atau tempatnya yang tidak dicontohkan Nabi. Beliau menyebutnya dengan istilah "bid'ah idhofiyah". Mungkin tahlilan bisa menjadi salah satu contohnya. Dari satu sisi, tahlilan adalah doa dan sedekah untuk mayit dan ini dicontohkan. Tetapi dari sisi menjadikan dalam satu komposisi dan dilakukan pada hari-hari tertentu ia tidak dicontohkan Nabi. Dan bid'ah idhofiyah bukan hal sesat menurut jumhur ulama'. 

Wallahu A'lam

Sumber FB Ustadz : Hidayat Nur

Ada banyak kaidah awam yang perlu diluruskan, di antaranya :

- kerja Nabi sajalah yang kita kerjakan (padahal Nabi menikah lebih dari 4, dan ini jelas tak boleh kita kerjakan)

- Kalau tidak dilakukan Nabi, berarti bid'ah (padahal Nabi tidak pernah membagi i'rab menjadi empat, makharijul huruf menjadi lima, apalagi tauhid menjadi tiga)

Silakan tambahkan 

by Ustadz : Fakhry Emil Habib

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Memahami Kaidah Bid'ah". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait