Mengakhiri Polemik Nasab Ba'alawi

Mengakhiri Polemik Nasab Ba'alawi

MENGAKHIRI POLEMIK NASAB BA'ALAWI 

Dr. KH. Ahmad Fahrur Rozi

PENDAHULUAN

Al-Faqir sudah mengikuti polemik nasab Bani Alawi di medsos dan membaca tulisan Pak Imaduddin Utsman yang menyatakan nasab Bani Alawi kepada Rasulullah ﷺ adalah palsu dan terputus di seluruh dunia.

Menurut hemat penulis, klaim tersebut sangat prematur dan menjadi fitnah di masyarakat secara luas dan belum layak disebut sebagai kajian ilmiah, karena masih berupa review sejumlah buku tanpa mempertimbangkan keberadaan sumber lain yang lebih otoritatif dan studi di lapangan, hanya sebelumnya ada tulisan yang serupa dari seorang Wahabi bernama Murod Syukri dari Yordania di pertengahan era tahun 90 an dan sudah dibantah oleh para ulama.

Argumentasi Pak Imaduddin menolak nasab Bani Alawi pada intinya hanya soal tidak tercatat dalam kitab sezamannya. Hal ini tidak ada dasarnya secara ilmu fiqih. Karena syarat penetapan nasab dalam kitab fiqih empat mazhab cukup hanya SYUHRAH WAL ISTIFADHAH dimana sudah jelas tertulis dalam berbagai manuskrip, kitab dan telah diakui oleh masyarakat setempat berdasarkan fenomena yang terjadi di zaman Rasulullah ﷺ, bahwa para Sahabat RA. menisbatkan diri mereka kepada kabilah-kabilah dan datuk-datuk mereka, meski demikian Rasulullah ﷺ tidak menuntut mereka untuk menghadirkan bukti-bukti atas kebenaran nasab tersebut, Rasulullah ﷺ menjadikan informasi yang telah populer (Istifadhah) secara turun temurun tentang keabsahan nasabnya sebagai patokan selama tak ada yang menganulirnya, dan berbagai hukum pun dibangun atas dasar ini.

PENETAPAN NASAB DALAM SYARI’AT ISLAM

Nabi Muhammad ﷺ mengakui penetapan nasab hanya berdasarkan pengakuan seseorang dari kabilah apa tanpa menanyakan saksi dan bukti catatan nasab mereka ke atasnya, sebagaimana dinyatakan Imam Malik RA.:

الناس مؤتمنون على أنسابهم

“Bahwa manusia itu dipercaya atas pengakuan nasabnya.”

Diriwayatkan dalam Sahih Bukhari bahwa Nabi Muhammad ﷺ pernah menerima dengan baik utusan Bani Abul Qais yang mengaku sebagian cucu klan Rabi’ah tanpa bertanya dalil dan saksi nasabnya

حدثنا علي بن الجعد قال أخبرنا شعبة عن أبي جمرة قال كنت أقعد مع ابن عباس يجلسني على سريره فقال أقم عندي حتى أجعل لك سهما من مالي فأقمت معه شهرين ثم قال إن وفد عبد القيس لما أتوا النبي صلى الله عليه وسلم قال من القوم أو من الوفد قالوا ربيعة قال مرحبا بالقوم أو بالوفد غير خزايا ولا ندامى فقالوا يا رسول الله إنا لا نستطيع أن نأتيك إلا في الشهر الحرام وبيننا وبينك هذا الحي من كفار مضر فمرنا بأمر فصل نخبر به من وراءنا وندخل به الجنة وسألوه عن الأشربة فأمرهم بأربع ونهاهم عن أربع أمرهم بالإيمان بالله وحده قال أتدرون ما الإيمان بالله وحده قالوا الله ورسوله أعلم قال شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وصيام رمضان وأن تعطوا من المغنم الخمس ونهاهم عن أربع عن الحنتم والدباء والنقير والمزفت وربما قال المقير وقال احفظوهن وأخبروا بهن من وراءكم.

Meskipun antara kedatangan Wafdu (delegasi) keturunan Abdil Qais Bin Afshah dari negara Bahrain yang merupakan cicit dari Kabilah Rabi'ah, salah satu pokok kabilah Arab yang bernasab kepada Rabi'ah bin Nizar bin Adnan, jaraknya mereka ke era Nabi Muhammad ﷺ adalah hampir 500 tahun. (Lihat kitab Fathul Bari juz 12 hal.184).

Jika memakai teori bahwa nasab harus dicatat kitab sezamannya, maka Nasab Baginda Nabi Muhammad ‎ﷺ kepada Nabi Ismail bin Nabi Ibrahim Alaihissalam juga sangat bisa diperdebatkan oleh para Ulama disebabkan tidak adanya referensi manuskrip atau kitab se-qurun yang menyebutkan keberadaan mereka.

Nasab-nasab yang tercatat oleh para Ulama ahli sejarah di masa lalu hanyalah berdasarkan riwayat dari hafalan uang diucapkan lisan ke lisan oleh para tsiqoh dari bangsa Arab, jika ada beberapa nama yang tertulis di kalangan mereka dengan menyebut nasab maksimal hanya empat generasi, tentu banyak sekali nasab yang tidak tercatat oleh mereka. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman dalam Al-Qur'an yang menyatakan bahwa ada kurun yang hanya diketahui oleh Allah dan tidak diketahui oleh lain-Nya:

﴿وَقُرونًا بَينَ ذٰلِكَ كَثيرًا﴾ [الفرقان:38]

﴿أَلَم يَأتِكُم نَبَؤُا۟ الَّذينَ مِن قَبلِكُم قَومِ نوحٍ وَعادٍ وَثَمودَ وَالَّذينَ مِن بَعدِهِم لا يَعلَمُهُم إِلَّا اللَّهُ﴾ [ابراهيم:9]

Jika seandainya nasab Rasulullah ‎ﷺ yang bersambung ke Nabi Ibrahim diragukan karena alasan tidak diketahui atau tidak dicatat, maka runtuhlah kebenaran pengakuan kanjeng Nabi Muhammad ﷺ yang selalu menisbatkan dirinya kepada Nabi Ibrahim seperti contoh dalam hadits sahih:

‎ولد لي الليلة غلام فسميته باسم أبي إبراهيم

“Tadi malam anakku lahir, maka aku beri nama dia dengan nama ayahku, Ibrahim."

Begitu juga runtuhlah dalil Al-Qur'an yang mengatakan bahwa:

﴿فيهِ ءايٰتٌ بَيِّنٰتٌ مَقامُ إِبرٰهيمَ﴾ [آل عمران:97]

Yakni bahwa Ka’bah adalah bangunan Nabi Ibrahim, sebab lagi-lagi tidak ada bukti tertulis manuskrip kuno selain kabar dari mulut ke mulut, dengan fakta sejarah jarak zaman Nabi Muhammad dengan Nabi Ibrahim adalah sekitar 2500 tahun.

Secara ilmu fiqih telah diatur bahwa cara pengakuan nasab adalah dengan SYUHRAH WAL ISTIFADHAH yakni telah terkenal secara luas dalam masyarakat di sebuah wilayah bahwa si Fulan adalah keturunan si Fulan tanpa ada bantahan dan sanggahan dari ulama yang otoritatif yang dibenarkan secara syariah, sebagaimana disebutkan dalam kitab Mughni Al-Muhtaj juz 6 hal. 377, Nihayatul Matlab juz 18 hal. 613, Fathul Bari juz 5 hal. 254, Al-Hawi Al-Kabir juz 17 hal. 35, Al-Mughni Ibnu Qudamah juz 10 hal. 141.

FAKTA SEJARAH KITAB HADITS

Satu abad setelah nabi wafat tidak ada catatan atau manuskrip penulisan hadits dan baru dilakukan di abad setelahnya karena takut bercampur dengan Al-Qur’an. Apakah lalu itu berarti kitab hadits yang ditulis di abad berikutnya adalah palsu dan tidak bisa dibenarkan?

Penulisan hadits baru dilakukan pada abad ke-2, di abad ke-2 H baru dikenal beberapa orang penghimpun dan penulis hadits. Di antaranya Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij di Makkah, Malik bin Anas atau Imam Malik dan Muhammad bin Ishaq di Madinah, ar-Rabi' bin Sabih, Sa’id bin Urubah, dan Hammad bin Salamah bin Dinar al-Basri di Bashra, Sufyan ats-Tsauri di Kufah, Ma’mar bin Rasyid di Yaman, Abdur Rahman bin Amr al-Auza’i di Syam (Suriah), Abdullah bin al-Mubarak di Khurasan (Iran), Hasyim bin Basyir di Wasit (Irak), Jarir bin Abdul Hamid di Rayy (Iran), dan Abdullah bin Wahhab di Mesir.

Menyusul kemudian muncul Imam Bukhari yang lahir di Bukhara, 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M) dan wafat di Khartank, 1 Syawal 256 H (1 September 870 M). Kitab Sahih Bukhari diakui sebagai kitab hadits paling sahih setelah Al-Qur’an di atas muka bumi ini dilanjutkan Kitab Jami' Sahih Imam Muslim, Setelah dibukukan kitab hadits Bukhari dan Muslim , ternyata masih ada hadits sahih sesuai standar ilmu hadits Imam Bukhari dan Muslim yang dirangkum dalam Mustadrak oleh Imam Hakim. Apakah itu tidak boleh disebut kumpulan sahih karena tidak ada dan tidak ditulis di zaman Imam Bukhari Muslim?

PERIHAL NASAB BA ALAWI

Sebetulnya banyak sekali di antara AHLI NASAB dan SEJARAWAN yang telah menulis dan menetapkan nasab moyang marga Ba Alawi, diantara mereka adalah:

1. Imam Baha'uddin Al-Janadi, Muhammad bin Yusuf Al-Yamani (w. 730an H) beliau tokoh muktamad perihal nasab menyebut dalam kitab: “As-Suluk fi Thabaqat Al-Ulama wal Muluk” Juz 2 hal. 135-136.

2. Imam Ibn Tabataba, Yahya bin Muhammad bin Al-Qasim, (w. 478 H) dalam kitab: “Abna’ al-Imam fi Misr was Syam” hal. 167.

3. Imam Ibnu Inabah Jamaluddin Ahmad bin Ali bin Husain Al-Hasani As-Syi’iy As-Syahiir (w. 820 H), dalam kitab: “Umdatuttalib fi Ansabi Abi Talib” hal. 225.

4. Sayyid Muhammad Al-Kadzim, ibn Abil Futuh bin Sulaiman Al-Yamani Al-Musawi, (w. 880 H) dalam kitab An-Nafhah Al-Anbariyah.

5. Imam Al-Amidi An-Najm, Muhammad bin Ahmad bin Amiduddin Al-Husaini An-Nasabah (w. 927 H), dalam kitab Al-Musyajjar Al-Kassyaf hal. 52 (dalam manuskripnya, sebagaimana dituturkan oleh Hamzah Al-Kattani dalam As-Summ Az-Zu’af)

6. Imam Murtadla Az-Zabidi, Muhammad bin Muhammad Al-Husaini, pensyarah Ihya’ Ulumiddin (w. 1205 H) dalam tahqiqannya atas Al-Musyajjar tersebut.

7. Imam Syamsuddin As-Sakhawi, Abul Khair Muhammad bin Abdurrahman (w. 902), menyebut dalam kitab: “Ad-Dlau’ Al-Lami” Juz 5 hal. 59.

Dan masih banyak lagi ulama lainnya seperti Imam Ibn Hajar Al-Haitami (w. 974 H), Ibn Syadzqam (1080an) Sirojuddin Ar-Rifa’i (w. 885 H), Al-Muhibbi (w. 1111 Abu Alamah Al-Muayyadi (w. 1044 H) Muhammad Zabarah (w. 1381 H), Murtadla Az-Zabidi 1205 H), Abu Salim Al-Ayasyi (w. 1090 H), Al-Ahdal (w. 903 H), Ibn Al-Muhib At-Thabari (w. 117 H), Abul Fadl Al-Muradi (w. 1206 H), Abd Bawazir Yahya Hamiduddin (w 194 M), An-Nabha (w. 1350 H), Abdu Al-Ghazi (w. Abad 13an) Abdul Hafidz Al-Fasi (1383 H), Ibn Hassan (w. 8 H) dan yang lain yang telah bersaksi bahwasanya nasab dan hubungan mereka kepada baginda Nabi Muhammad ﷺ itu sahih.

Soal keberadaan nama anak Sayyid Ahmad bin Isa yang bernama Abdullah/Ubaidillah yang tidak disebutkan dalam kitab As-Syajarah Al-Mubarakah Imam Fahrur Razi itu bukan dalil yang kuat, karena kitab tersebut hanyalah kitab ringkasan yang tidak bisa memuat semua nasab manusia sedunia dan tidak ada kata penafian sama sekali, dan tidak menyebutkan itu sama sekali bukan berarti tidak ada,

Penggunaan kitab As-Syajarah Al-Mubarakah Imam Fahrur Razi untuk menafikan nasab Bani Alawi justru ditentang oleh As-Sayyid Mahdi ar-Raja’i, Ulama syiah ahli nasab asal Qum yang mentahqiq kitab As-Syajarah Al-Mubarakah yang dijadikan rujukan oleh pak Imaduddin, dalam kitabnya al-Mu’qibun min Aal Abi Thalib beliau menyebutkan sosok Ubaidllah sebagai putra Ahmad bin Isa yang ikut hijrah bersama ayahnya ke Hadhramaut, serta memiliki anak Jadid, Bashri dan Alawi, yang mana keturunan Alawi tersebar di berbagai belahan dunia.

Bahkan guru dari Sayyid Mahdi ar-Raja’i yang menemukan manuskrip As-Syajarah al-Mubarakah, yaitu Ayatullah Mar’asyi yang merupakan Nassabah dari kalangan Syiah, juga mengakui dengan jelas keabsahan nasab Baalawi sebagai Asyraf keturunan Rasulullah ﷺ. Artinya penemu manuskrip As-Syajarah al-Mubarakah dan pentahqiqnya pun tidak pernah memahami isi kitab As-Syajarah al-Mubarakah terkait keturunan Ahmad bin Isa sebagaimana yang difahami pak Imaduddin yang menafikan nasab Ba Alawi. Bahkan mereka mengeluarkan surat resmi yang isinya mengklarifikasi kesahihan nasab Ba Alawi.

Penulisan ulama yang menetapkan nasab Bani Alawi di berbagai naskah kitabnya tentu bukanlah pendapat pribadi ataupun hasil ijtihad sebab urusan nasab bukan urusan pendapat atau ijtihadi. Penisbatan itu tidak lain merupakan hasil verifikasi yang murni berpijak kepada data-data sebelumnya baik melalui sumber tertulis atau sumber yang tidak tertulis misalnya hafalan lisan, hal ini berlaku sepanjang zaman bahwa nasab menjadi catatan tersendiri bagi anak keturunan mereka yang diwariskan dari hafalan lisan ke lisan.

PENISBATAN NASAB BA ALAWI HARI INI

Sudah diakui para ahli nasab dunia dan ditulis dalam berbagai kitab tentang kesahihan nasab Bani Alawi, lalu apa karena seseorang tidak bisa menjangkau sumber data para Ulama tersebut kemudian kita mau ikuti dan menganggap itu semua tidak ada dan tidak mu’tabar?

Kalau memang Sayyid Ahmad bin Isa tidak punya anak bernama Abdullah/Ubaidillah, kemana saja para Ulama ahli nasab selama berabad-abad tidak ada satupun yang menafikan justru yang banyak malah meng-isbatkan?

Apakah selama lebih dari 1000 tahun lebih baru ada Mujtahid bernama IMADUDDIN dari Banten dan sebelumnya ada seorang Wahabi dari Yordania yang bernama Murod Syukri di pertengahan tahun 1990 an Masehi yang baru cerdas, ngerti dan sadar akan hal ini?

Kemarin penulis sudah posting 47 judul kitab yang menulis nasab Bani Alawi di grup WAG BM NUSANTARA dan semua menurut mereka para pembenci bani Alawi semua kitab itu hanya bohong dan palsu karena tidak sezamannya.

Bagaimana bisa ribuan tahun ada kebohongan para ulama yang rapi terpublikasi sedemikian rapi tanpa bantahan padahal semua ulama tahu bahwa penisbatan nasab palsu pada Rasulullah adalah dosa besar dan perbuatan terlaknat? Hal ini disebut dalam sebuah hadits sahih Bukhari juz 4 hal. 120 yang isinya:

"Tidaklah seseorang mengaku-ngaku sebagai keturunan selain ayahnya sedangkan dia mengetahui itu terkecuali dia melakukan kekufuran (dosa besar), dan barangsiapa mengaku-ngaku sebagai bagian dari sebuah kaum/kabilah padahal ia bukan bagian dari kabilah tersebut maka bersiaplah tempatnya di neraka."

PENUTUP

Para Aulia dan Ulama NU sejak zaman dahulu seperti KH. M. Hasyim ‘Asy’ari, KH. Kholil Bangkalan, KH. Hasan Genggong, KH. Abdurrahman Wahid, KH. Abdul Hamid Pasuruan, KH. Abdullah bin Nuh, KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Mas Soebadar, KH. Idris Marzuqi Lirboyo, KH. Muhammad Zaini Abdul Ghoni (Guru Sekumpul), KH. Maemoen Zubair, serta para

Ulama dan Aulia’ lainnya mengakui keabsahan nasab Habaib Ba Alawi sebagai Dzurriyyah Nabi Muhammad ﷺ dan saling menghormati satu sama lainnya.

Maka sangat bijak apabila kita sebagai warga NU saat ini menahan diri untuk tidak ikut berpolemik, kita ikuti saja statement Ketum PBNU KH. Yahya Kholil Staquf yang menyatakan bahwa nasab Ba Alawi dan para kyai, dzurriyah Wali Songo adalah sah tersambung kepada Rasulullah ﷺ tanpa perlu lagi diperdebatkan.

Jangan kita ikut mencela nasab siapapun, biarlah itu menjadi keyakinan masing-masing dengan Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang maha tahu, Jika seumur hidup kita tidak pernah mencaci maki Firaun atau setan itu tidak berbahaya dan tidak berdosa, namun bila kita membenci dan mencaci maki seseorang yang mungkin sesungguhnya dia benar di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta'ala itu sungguh berbahaya dan kelak kita akan menanggung dosanya di pengadilan Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Penulis berharap polemik ini harus segera diakhiri karena hanya menebar kebencian, melemahkan persatuan ummat Islam dan rawan dijadikan lahan adu domba menjelang pilpres 2024 mendatang. Mari kita jaga persatuan dan kesatuan serta suasana kondusif keamanan bangsa Indonesia .

Malang, 1 Juli 2023

Dr. KH. Ahmad Fahrur Rozi

(Ketua PBNU bidang keagamaan, Khadim Ponpes Annur 1 Bululawang - Malang, Ketua yayasan IAI Al-Qolam Malang, Wasekjen MUI bidang fatwa).

Semoga bermanfaat, aamiin ...

#nasabbaalawi

Baca juga kajian ulama berikut :

Sumber FB Ustadz : Abu Qorni

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Mengakhiri Polemik Nasab Ba'alawi". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait