Syekh Abdullah bin Shiddiq dan Masalah Naskh Tilawah

Syekh Abdullah bin Shiddiq dan Masalah Naskh Tilawah

Syekh Abdullah bin Shiddiq dan Masalah Naskh Tilawah

Ketika diminta oleh Asatidz di Yayasan Al Husam untuk mendiskusikan Nawaqidh al-Iman, saya segera mengumpulkan bahan dan membuka berbagai referensi. Ada hal yang sering saya temukan ketika membaca karya para penulis sekarang dan karya para ulama dulu. Karya-karya penulis saat ini, bahkan hasil disertasi sekalipun, lebih banyak bersifat himpunan dalil dan pendapat-pendapat (حشد الأراء والأقوال) yang tak jarang membuat kita ‘tersesat’ di berbagai dalil dan pendapat yang berserakan itu. Memang ada muqaranah dan tarjih-nya, tapi tak berapa yang mampu memberikan sesuatu yang mencerahkan dan merangsang untuk penelitian lebih jauh.

Berbeda dengan ulama dulu yang tulisannya relatif ‘hemat’ tapi mampu memberikan sesuatu yang membuat kita semakin mencintai ilmu dan penelitian. Tak jarang satu masalah dibahas hanya dalam beberapa halaman saja, tapi ia adalah zubdah (intisari) dari hasil bacaan dan penelitian sekian lama. Misalnya, untuk masalah takfir dan dhawabithnya, dengan merujuk ke kitab Faishal at-Tafriqah karya Imam al-Ghazali yang hanya sekitar 60 halaman (di beberapa cetakan ada yang lebih dari itu karena ada pengantar dari penerbit dan footnote yang cukup banyak dari muhaqqiq), kita bisa mendapatkan jawaban yang memuaskan. Silahkan bandingkan dengan buku-buku yang ditulis para penulis saat ini (sebagiannya hasil disertasi) yang jumlahnya kadang lebih 500 halaman, tapi sebagian besarnya hanya nukilan dan kutipan. 

*** 

Tentu ini tidak tentang masa; ulama dulu dan sekarang, melainkan tentang kompetensi penulis, keluasan ilmu, kekuatan analisa, metode yang digunakan dan seterusnya.

Diantara ulama abad ini yang sebagian besar karya-karyanya ‘tipis-tipis’ tapi bobotnya setara atau bahkan melebihi karya ulama lain yang jumlah halamannya ratusan, adalah Sayyid Abdullah bin Shiddiq al-Ghumari, seorang ulama dari Tangier - Maroko yang keilmuannya dalam berbagai bidang sudah diakui.

Ketika menulis sebuah risalah, beliau tidak sekedar menghimpun riwayat atau pendapat-pendapat. Beliau melakukan apa yang disebut tahqiq. Men-tahqiq artinya menkaji masalah dari berbagai aspek, menyeleksi dalil dan istidlal, melakukan kompromi dalil, mentarjih, atau bahkan datang dengan pendapat baru yang didukung argumentasi yang kuat meski berbeda dengan pendapat-pendapat ulama sebelumnya.

*** 

Salah satu karya Sayyid Abdullah adalah ذوق الحلاوة ببيان امتناع نسخ التلاوة . Dalam risalah yang hanya berjumlah 24 halaman ini beliau menolak apa yang disebut oleh ulama Ushul dengan نسخ التلاوة yaitu ayat al-Quran yang lafaznya dihapus atau diangkat. Contohnya adalah kalimat:

الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما البتة

“Orang tua laki-laki dan perempuan jika berzina maka rajamlah keduanya sama sekali.”

Para ulama mengatakan bahwa kalimat ini dulunya ayat tapi kemudian dihapus.Ini yang dibantah oleh Syekh Abdullah.

Ia mengatakan bahwa ia orang pertama yang mengkaji hal ini :

فهذا بحث لم أسبق -والحمد لله- إليه ، ولا غلبت -والمنة لله- عليه

Ia juga mengatakan kalau:

وهو ما خالفت فيه علماء الأصول قاطبة ومعهم المتخصصون فى علوم القرآن ، وكتبت هذا الجزء لبيان ما ذهبت إليه والاحتجاج له بدلائل قطعية لا تبقى شكا فى صحة قولي ولو تفطن لها المتقدمون ما عدلوا عنها

“Ini sesuatu yang saya berbeda dengan seluruh ulama Ushul, termasuk para pakar/spesialis dalam ilmu al-Quran. Saya tulis risalah ini untuk menjelaskan pendapat yang saya pegang dan argumentasinya dengan dalil-dalil yang bersifat qath’iy sehingga tak menyisakan keraguan bahwa pendapat saya benar. Seandainya ulama mutaqaddimin menyadari dalil-dalil ini tentu mereka tidak akan berpaling darinya.”

Ia sadar telah berbeda pendapat dengan seluruh ulama Ushul. Bahkan ia menukil pendapat Imam al-Amidi yang menyatakan bahwa terjadinya naskh tilawah ini sudah menjadi kesepakatan ulama.

قال الآمدي فى الأحكام : اتفق العلماء على جواز نسخ التلاوة دون حكم وبالعكس ونسخهما معا خلافا لطائفة شاذة من المعتزلة

“al-Amidi berkata dalam kitab al-Ahkam: Para ulama sepakat terhadap jawaz (boleh/terjadinya) naskh tilawah, baik tanpa naskh hukum atau sebaliknya, atau naskh kedunya sekaligus. Berbeda dengan segelintir Mu’tazilah yang menentang hal ini.”

*** 

Tulisan ini tentu bukan untuk mengajak mencari-cari pendapat-pendapat yang ganjil (تتبع شواذ العلماء). Tulisan ini sekedar menampilkan ruh kemandirian (روح الاستقلالية) para ulama dalam berpendapat. Tentu pendapat yang didasarkan pada dalil dan argumentasi, bukan sekedar ingin berbeda. Hal ini pada gilirannya akan memberikan kita berbagai sudut pandang dalam menyikapi satu masalah, dan ini akan membuat kita lebih lapang dada, terbuka dan punya sense of critic dan seterusnya. 

Yang terpenting dari setiap tulisan bukan sekedar kata-kata yang tertata rapi dan enak dibaca, melainkan gagasan dan ide yang diusung serta semangat menggali dan meneliti yang ingin ditaburkan dalam diri pembaca. 

Pada akhirnya sebuah tulisan diharapkan bisa mewarnai, terlepas ada yang setuju atau menolak.

والله تعالى أعلم وأحكم

[YJ]

O ya, tentang argumentasi Syekh Abdullah bin Shiddiq dalam menolak naskh tilawah ini akan kita bahas jika ada yang minta. Atau silahkan rujuk langsung ke buku tersebut diatas.

Sumber FB Ustadz : Yendri Junaidi

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Syekh Abdullah bin Shiddiq dan Masalah Naskh Tilawah". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait