Nikah Dengan Niat Cerai, Bolehkah?

Nikah Dengan Niat Cerai, Bolehkah?

NIKAH DENGAN NIAT CERAI, BOLEHKAH?

(Soal Jawab FIKIH #32)

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum nikah dengan niat cerai. Mayoritas ulama membolehkannya dan sebagian yang lain mengharamkannya (karena menyerupakannya dengan nikah mut’ah).

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

قَالَ الْقَاضِي : وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ مَنْ نَكَحَ نِكَاحًا مُطْلَقًا وَنِيَّته أَلَّا يَمْكُث مَعَهَا إِلَّا مُدَّة نَوَاهَا فَنِكَاحه صَحِيح حَلَال ، وَلَيْسَ نِكَاح مُتْعَة ، وَإِنَّمَا نِكَاح الْمُتْعَة مَا وَقَعَ بِالشَّرْطِ الْمَذْكُور ، وَلَكِنْ قَالَ مَالِك : لَيْسَ هَذَا مِنْ أَخْلَاق النَّاس ، وَشَذَّ الْأَوْزَاعِيُّ فَقَالَ : هُوَ نِكَاح مُتْعَة ، وَلَا خَيْر فِيهِ . وَاَللَّه أَعْلَم .

Al-Qadhi berkata : “Para ulama telah bersepakat bahwa siapa saja yang melakukan nikah mutlak dengan niat (dalam hati) hanya akan membersamai istri nya dalam waktu terbatas, maka nikahnya sah dan halal. Ini bukan nikah mut’ah. Nikah mut’ah adalah nikah yang dilaksanakan disertai syarat yang disebutkan. Akan tetapi Malik berkata : ‘Ini tidak termasuk akhlaq manusia (generasi salaf)’. Sedangkan Al-Auza’i mempunyai pendapat yang berbeda, dimana ia berkata : ‘Hal itu adalah nikah mut’ah dan tidak ada kebaikan di dalamnya’. Wallahu a’lam” (Syarh Shahih Muslim, 9/182).

Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata :

وإن تزوجها بغير شرط إلا أن في نيته طلاقها بعد شهر أو إذا انقضت حاجته في هذا البلد‏,‏ فالنكاح صحيح في قول عامة أهل العلم إلا الأوزاعي قال‏:‏ هو نكاح متعة والصحيح أنه لا بأس به‏,‏ ولا تضر نيته وليس على الرجل أن ينوي حبس امرأته وحسبه إن وافقته وإلا طلقها‏.‏

“Dan apabila seseorang menikah dengan tanpa syarat, namun dalam hatinya meniatkan untuk menceraikannya sebulan kemudian atau ketika kebutuhannya di negeri itu telah selesai, maka nikahnya sah menurut pendapat ulama secara umum, kecuali Al-Auza’i. Ia (Al-Auza’i) berkata : ‘Itu adalah nikah mut’ah’. Yang benar, tidak mengapa dengannya sekalipun ada niat demikian. Si laki-laki tidak boleh berniat untuk mengurung istrinya. Boleh saja ia melakukan itu apabila istrinya menyetujui; namun jika tidak, maka ia harus menceraikannya” (Al-Mughni, 10/48-49)

Nikah dengan niat cerai berbeda dengan nikah mut'ah (kawin kontrak). Dalam nikah mut'ah telah ada kesepakatan secara terang-terangan untuk membatasi masa pernikahan setelah akad, layaknya kontrak kerja.

Adapun nikah dengan niat cerai, sama sekali tidak ada kesepakatan untuk bercerai, dan niat cerai tersebut sebatas niatan dalam hati yang bisa jadi berubah seiring berjalannya waktu.

Jika pernikahan tersebut telah memenuhi syarat dan rukunnya, secara lahir hukumnya sah. Adapun hati dan niat diserahkan urusannya kepada Allaah, selama itu tidak tertulis di dalam akad nikah. 

Pendapat kedua menyatakan bahwa nikah dengan niat cerai hukumnya haram. Ini adalah pendapat madzhab Ahmad dalam riwayat yang masyhur dan pendapat Imam Auza’i, serta al-Majma’ al-Fiqh al-Islami, Rabithah al-Ulama al-Islami pada pertemuannya yang ke- 18 yang diadakan di Mekkah pada tanggal 10-14 Rabi’ul Awal 1427 H / 8-12 April 2006 M.

Maksud dari haram disini adalah tidak boleh dilakukan, tetapi jika seseorang tetap melakukannya, maka ia berdosa, karena di dalamnya mengandung unsur penipuan, walaupun pernikahan tersebut tetap sah, sedang niatnya batil dan niat tersebut harus diurungkan.

Mereka beralasan bahwa tujuan pernikahan adalah mendapatkan ketenangan, kasih sayang, dan ketentraman.

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istrimu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi orang-orang yang mau berfikir.” (QS. Ar Rum : 31)

Pendapat ketiga menyatakan bahwa nikah dengan niat cerai hukumnya boleh tapi makruh. Ini pendapat Abul Khair al-Imrani dan Ibnu Taimiyah, sebagaimana di dalam (Majmu’ Al Fatawa, 32/107-108). Tetapi di tempat lain Ibnu Taimiyah berpendapat boleh (Majmu’ Al Fatawa : 32/ 147)

Berkata Abul Khoir al-Imran yang wafat pada tahun 558 H, di dalam bukunya al-Bayan, 9/ 279 : 

“Jika ia menikahinya dan berniat di dalam hatinya akan hal tersebut (yaitu ingin menceraikannya), kemudian ia menikahinya dengan pernikahan mutlak, maka hal tersebut makruh, tetapi tetap sah.” (Bisa dirujuk pula dalam Mujib al-Muthi’i, Takmilah al-Majmu’: 17/ 352 )

Kalau dikatakan nikah ini seperti nikah mut’ah, maka penyamaan seperti ini tidak benar, karena keduanya ada perbedaan yang sangat mencolok diantaranya :

1. Nikah mut’ah menyebutkan syarat tersebut di dalam akad pernikahan, sedang nikah ini (nikah dengan niat talak) tidak disebutkan.

2. Nikah mut’ah tidak ada perceraian dan tidak ada masa iddah, jika masanya habis. Pernikahan tersebut dengan sendirinya bubar. Sedang dalam nikah ini ada perceraian dan ada iddahnya juga, sebagaimana pernikahan pada umumnya.

3. Nikah mut’ah jika masa kontraknya habis, maka pernikahan tersebut harus dibubarkan. Kalau keduanya ingin melangsungkan pernikahannya lagi, harus dengan akad baru. 

Sedang dalam pernikahan dengan niat cerai, bisa jadi tidak terjadi perceraian sebagaimana diniatkan, bahkan mungkin berlangsung terus sebagaimana pernikahan pada umumnya.

'Ala kulli haal, menikahlah sebagaimana tujuan pernikahan itu hendak dicapai, yakni sakinah, mawaddah wa rahmah.

Karena kami memandang, bahwa pernikahan dengan niat menceraikan adalah perilaku jelek yang boleh jadi menyakiti perempuan. Jadilah laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Wallaahu a'lam.

Pesantren Nashirus Sunnah 

Sumber FB Ustadz : Muhammad Rivaldy Abdullah

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Nikah Dengan Niat Cerai, Bolehkah?". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait