Dalam madzhab Syafi'i, yang wajib memberi nafkah anak yatim adalah ibunya, bukan paman atau yang lain, kecuali jika ada kakek (bapaknya bapak) maka kakek lah yang wajib menafkahi.
Adapun dalam madzhab Hanafi, yang wajib memberi nafkah anak yatim adalah siapapun yang masih hidup dari ushulnya, baik laki-laki atau perempuan, seperti ibunya, kakeknya, neneknya, dst.
Misalnya anak yatim itu punya ibu dan kakek, maka keduanya punya tanggung jawab memberi nafkah.
Cara pembagiannya sesuai dengan pembagian warisan. Jadi, si ibu wajib memberi 1/3 nafkah dan si kakek wajib memberi 2/3 untuk anak yatim, dst.
Dalam madzhab Hanbali, yang wajib memberi nafkah adalah seluruh ahli warisnya, sehingga saudaranya yang sudah mapan termasuk yang ikut dapat kewajiban memberi nafkah.
Jumhur ulama tidak mensyaratkan kesamaan agama dalam memberi nafkah, sehingga ibu yang non muslim tetap wajib memberi nafkah anaknya yang muslim.
Adapun jika bapak masih hidup dan mampu bekerja, sepakat seluruh ulama bahwa dialah yang sendiri memberi nafkah anak-anaknya, walaupun si bapak sudah cerai dari ibunya nak-anak.
Wallahu a'lam
[موسوعة الفقه الإسلامي للدكتور وهبة الزحيلي، ٧٧٩]
Seorang ayah tidak boleh memaksa anak perempuannya bekerja, berapapun umurnya, nafkahnya tetap ditanggung si bapak sampai ia bersuami. Misalkan jika nanti ia ditalak suaminya, maka kewajiban menafkahi kembali menjadi tanggungan bapaknya.
Jika perempuan itu berinisiatif untuk kerja, dan penghasilannya cukup untuk kehidupan sehari-harinya, maka kewajiban bapaknya untuk menafkahi gugur, jika tidak cukup, maka sisanya ditanggung bapaknya.
Wallahu a'lam
[موسوعة الفقه الإسلامي للدكتور وهبة الزحيلي، ٧٧٧]
Seorang anak wajib menafkahi ibunya jika:
1. Bapaknya tidak memberi nafkah ke ibunya, atau apa yang diberikan bapaknya tidak cukup.
2. Bapaknya sudah wafat atau sudah bercerai.
Jika ibu tersebut punya 3 anak misalnya, maka semuanya punya kewajiban memberi nafkah ibu mereka, iuran dengan jumlah yang sama.
Hal ini jika anak tersebut sudah mampu, yakni punya kelebihan harta setelah menafkahi dirinya sendiri atau setelah memberi nafkah anak istrinya sehari semalam.
Jadi, tertib prioritas memberi nafkah adalah dirinya sendiri, istrinya, anaknya yang masih kecil, ibunya, bapaknya, anaknya yang sudah besar tapi tidak bisa lagi bekerja karena sakit keras, kemudian kakeknya.
Jika ibunya menikah lagi, maka kewajiban ini gugur. Begitu juga ketika ibunya berinisiatif untuk kerja sehingga mampu menafkahi dirinya sendiri maka kewajiban anaknya menafkahi juga gugur.
Ini bedanya dengan istri, seorang istri walaupun kaya raya dan bisa mandiri dalam finansial, tetap tidak gugur nafkahnya, yakni suami tetap wajib menafkahi.
Orang tua yang tidak wajib dinafkahi maka status pemberian anak kepada mereka jatuhnya sedekah atau infaq sunnah, dan itu sebaik-baiknya sedekah.
___
Dalam bab nafkah, beda antara anak yang faqir dengan orang tua yang faqir.
Jika anak yang faqir itu sudah baligh dan mampu untuk bekerja, maka kewajiban nafkah dari orang tuanya gugur.
Tapi jika orang tua yang faqir, baik bisa bekerja atau tidak, anak punya kewajiban memberi nafkah.
Adapun misalnya jika ada orang faqir yang memiliki bapak dan anak yang sudah mapan, maka di antara keduanya yang wajib memberinya nafkah adalah anaknya.
إذا اجتمع أصل للفقير وفرع له، وهما موسران، فتجب النفقة على الفرع وإن بعد في الأصح، كأب وابن، فتجب على الابن؛ لأن عصوبته أقوى..
[المعتمد في الفقه الشافعي، ٤\٢٩٤]
Wallahu a'lam
Jika seorang suami menawarkan ke istrinya untuk ikut bersamanya tinggal di luar daerah atau luar negeri, untuk kerja atau belajar misalnya, dan si suami sudah menyediakan baginya tempat tinggal yang aman dan kondusif di sana, maka istri harus taat. Jika tidak, maka termasuk nusyuz yang menggugurkan kewajiban nafkah.
Di antara hak suami adalah istrinya tinggal dan diam di rumah bersamanya (حق الاحتباس).
Karena syariat menetapkan kewajiban ini pada istri, maka ia dapat hak dinafkahi. Sehingga gak perlu lagi kerja di luar.
Gugurnya nafkah untuk istri jika menolak tinggal bersama ini, jika si suami sudah membayar maharnya.
Wallahu a'lam
__
Perlu dipahami juga, bahwa di antara hak istri adalah tempat tinggal yang di sana tidak dihuni oleh siapapun, walaupun dari keluarga suami.
[المعتمد في الفقه الشافعي للدكتور محمد الزحيلي]