Wujudul Hilal Bukan Hasil Ijtihad

Wujudul Hilal Bukan Hasil Ijtihad

WUJUDUL HILAL BUKAN HASIL IJTIHAD

Sebelum ada yang meradang membaca judul ini, saya mengajak kawan-kawan pembaca untuk menurunkan tensi terlebih dahulu dan membaca uraian panjang ini dengan santai. Mari kita mulai dengan membedakan antara mana ijtihad dan mana membuat aturan baru (bidah) yang seolah-olah ijtihad.

Acuan utama tentang ijtihad yang selalu dirujuk dalam semua referensi hukum islam ada tiga dan dari ketiga dalil tersebut kita dapat mengukur apakah wujudul hilal layak disebut sebagai hasil ijtihad atau tidak. Ketiganya adalah sebagai berikut:

1. Firman Allah di surat an-Nisa':59, yang berbunyi

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ أَطِیعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِیعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِی ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَـٰزَعۡتُمۡ فِی شَیۡءࣲ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡیَوۡمِ ٱلۡـَٔاخِرِۚ ذَ ٰ⁠لِكَ خَیۡرࣱ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِیلًا 

"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan)di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur`ān) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". [Surat An-Nisa': 59]

Poin utama dari ayat itu yang merujuk pada ijtihad adalah para kalimat "jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur`ān) dan Rasul (sunnahnya)". Artinya, sebuah pendapat baru sah disebut ijtihad ketika ia merujuk pada al-Qur'an dan Sunnah, bukan berupa suatu kesimpulan yang lepas dari ayat atau hadis. Ketika suatu kesimpulan hukum lepas dari keduanya, maka artinya ia tidak dikembalikan pada Allah dan Rasul tapi merujuk pada pikirannya sendiri, dan inilah yang disebut sebagai bid'ah.

Memakai teori wujudul hilal termasuk melanggar ayat ini sebab ia sama sekali tidak merujuk pada banyak hadis yang shahih dan sharih yang memerintahkan apabila hilal tidak dapat terlihat maka bulan harus digenapkan menjadi 30, bukan malah berpuasa atau berhari raya. Berbeda kasusnya dengan teori Imkanur Rukyah yang masih dapat dimaklumi sebab meskipun memakai hisab tetapi hisabnya tetap berpedoman pada kemungkinan visibilitas hilal. Artinya hisabnya hanya dijadikan alat bantu rukyat, bukan mengganti rukyat secara keseluruhan. Hisab dalam teori Imkanur Rukyah tetap berpedoman pada rukyah, bukan potong kompas meniadakan rukyah sama sekali yang penting hilal wujud seperti dalam teori wujudul hilal. 

Para ulama juga banyak yang menyorot tiadanya pengulangan kata أَطِیعُوا۟ (taatlah) pada kata ulil amri. Ketika menyebut Allah, maka diberi kata "taatlah". Demikian pula ketika menyebut kata Rasul, kata "taatlah" diulangi kembali. Namun ketika menyebut ulil amri yang dalam konteks ini adalah para ulama, tidak ada pengulangan kata "taatlah". Ini menunjukkan bahwa ketaatan pada ulama, tokoh, panutan atau pun fatwa organisasi tidak boleh multak tetapi hanya berlaku apabila sesuai dengan ketaatan pada Allah dan Rasulullah. Bila misalnya ada tokoh atau fatwa organisasi yang bertentangan dengan ketaatan pada Allah (ayat) atau Rasulullah (hadis), maka berarti ayat ini sudah dilanggar dan tentu saja hasilnya tidak layak disebut ijtihad.

Sayangnya ketika jamaah pendukung teori wujudul hilal disuruh memilih antara mengikuti instruksi Nabi Muhammad yang artinya "ketika hilal terhalang, maka genapkanlah hitungan 30 hari" dan mengikuti instruksi fatwa ormas yang kurang lebih "ketika hilal terhalang, maka tidak masalah sebab yang penting wujud", maka mereka lebih memilih instruksi organisasi. Nabi Muhammad bersabda: "Berpuasalah kalian karena melihat hilal", tapi organisasinya mengubah menjadi "berpuasalah kalian karena wujudnya hilal meskipun mustahil dilihat", dan sayangnya jamaahnya mengikuti instruksi organisasinya meskipun jelas menentang ketaatan pada Rasulullah.

2. Hadis Ijtihad Mu'adz bin Jabal

Rasulullah pernah bertanya kepada Sahabat Mu'adz yang kemudian menjadi tonggak urutan dasar-dasar hukum Islam, yaitu:

عَنْ مُعَاذٍ، أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ لِمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ فَذَكَرَ: «كَيْفَ تَقْضِي إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟» قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ: «فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللهِ؟» قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ قَالَ: «فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سَنَةِ رَسُولِ اللهِ؟» قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلَا آلُو. قَالَ: فَضَرَبَ صَدْرِي فَقَالَ: «الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللهِ ﷺ لِمَا يُرْضِي رَسُولَهُ

"Dari Muadz ibn Jabal bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: "Bagaimana kamu memutuskan jika dihadapkan permasalahan hukum?". Ia berkata: "Saya berhukum dengan kitab Allah". Nabi bersabda: "Jika tidak terdapat dalam kitab Allah?", ia berkata: "Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw". Nabi bersabda: "Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul?" ia berkata: "Saya akan berijtihad dan tidak berlebihan". Maka Rasul  memukul dadaku (Muadz) dan bersabda: "Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah" (HR. Ahmad)

Hadis tersebut menjadi dasar urutan sumber hukum (dalil) yang digunakan oleh semua fukaha. Urutan pertama adalah ayat, baru kalau tidak ada maka merujuk hadis, baru kalau tidak ada baru memakai ijtihad atau qiyas. Tidak boleh tetiba berijtihad padahal ada ayat atau hadis yang secara eksplisit menyebutkan bagaimana suatu hal harus dilakukan. Misalnya, Rasulullah sudah menjelaskan bagaimana masuknya waktu shalat subuh, yakni ketika fajar shadiq muncul. Maka patokan utama adalah melihat adanya fajar shadiq di horizon. Kalau pun mau memakai hisab, maka ilmu hisab yang ada harus digunakan untuk memperkirakan kapan fajar shadiq muncul di suatu daerah sehingga orangnya tidak perlu naik ke tempat tinggi untuk melihar fajar shadiq di horizon. Apabila misalnya ada yang "berijtihad" langsung berfatwa bahwa subuh adalah jam 3:00 atau jam 4:00 tanpa peduli apakah sudah muncul fajar atau tidak di horizon, maka itu artinya dia membuat aturan sendiri dan fatwanya tidak layak disebut sebagai ijtihad.

Demikian pula dalam kasus wujudul hilal, aturan teknisnya sudah ada di hadis yang artinya: "Berpuasalah karena melihat hilal dan akhirilah puasa karena melihat hilal. Apabila hilal terhalang, maka genapilah hitungannya menjadi 30 hari". Dengan adanya instruksi sejelas ini dari Rasulullah, tidak boleh ada ijtihad lagi yang berkonsekuensi mengabaikan itu. Kalau pun mau memakai hisab, maka hisab yang dapat digunakan adalah yang memperhitungkan kemungkinan hilal dilihat di balik awan, bukan hisab yang asal wujud hilal tanpa peduli mungkin dilihat atau tidak sebab itu sama saja dengan membuat aturan baru padahal hadisnya sudah ada.

3. Hadis Toleransi Ijtihad Sahabat Saat Menuju Bani Quraidhah

Nabi pernah berbabda pada pasukan perang yang diutus ke Bani Quraidhah sebagai berikut:

 لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَأَدْرَكَ بَعْضَهُمْ الْعَصْرُ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّي لَمْ يُرَدْ مِنَّا ذَلِكَ فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ

"Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian salat Asar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah." Lalu tibalah waktu salat ketika mereka masih di jalan, sebagian dari mereka berkata, 'Kami tidak akan salat kecuali telah sampai tujuan', dan sebagian lain berkata, 'Bahkan kami akan melaksanakan salat, sebab beliau tidaklah bermaksud demikian.' Maka kejadian tersebut diceritakan kepada Nabi ﷺ, dan beliau tidak mencela seorang pun dari mereka." (HR. Bukhari)

Hadis di atas adalah landasan hukum untuk mentolerir hasil ijtihad yang berbeda. Satu ijtihad berupa kesimpulan literal dan satu lainnya kontekstual, tetapi tidak ada yang disalahkan oleh Rasulullah. Hanya saja hadis ini sering disalahpahmi seolah semua perbedaan pendapat harus dihargai dan dibenarkan, padahal bukan begitu maksudnya. 

Harus diapahami bahwa hadis ini bercerita tentang dua kelompok yang sama-sama taat terhadap instruksi Rasulullah, tidak ada yang membuat aturan sendiri. Kelompok pertama mengikuti bunyi instruksi untuk shalat Ashar ketika mereka sampai di Bani Quraidhah. Kelompok ini berkeyakinan bahwa meskipun sudah keluar waktu Ashar, tetaplah tidak masalah karena situasinya saat itu sedang berjihad sehingga aturan khusus perlu didahulukan. Dalam bahasa hukum modern, hal ini disebut sebagai Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali.

Kelompok kedua mencoba untuk shalat Ashar di Bani Quraidhah juga, sesuai instruksi. Akan tetapi ketika tahu bahwa waktu shalat Ashar hampir habis saat mereka belum sampai di tujuan, maka mereka memilih untuk shalat Ashar di akhir waktu tersebut sesuai dengan instruksi Rasulullah lainnya yang melarang menunda shalat hingga keluar waktu. Kelompok ini meyakini bahwa maksud Rasulullah memberi instruksi agar shalat Ashar di Bani Quraidhah adalah agar prajurit mempercepat perjalanan hingga mereka masih mendapati waktu Shalat Ashar di sana, bukan sebagai izin untuk melakukan shalat Ashar melampaui waktunya.

Jadi, kedua kelompok tersebut sebenarnya taat pada instruksi dari Nabi Muhammad sendiri, tidak ada yang membuat aturan baru atau mengabaikan Instruksi. Sebab itu, tidak ada dari mereka yang shalat Ashar di awal waktu sebab kalau mereka shalat Ashar di awal waktu, maka instruksi untuk tidak shalat Ashar kecuali saat sampai di Bani Quraidhah itu menjadi terbuang sia-sia begitu saja. Jadinya akan sama saja kondisi perang saat itu dengan kondisi normal. Bila misalnya ada sahabat yang berkata: "Kita tidak perlu menunggu sampai ke Bani Quraidhah untuk shalat Ashar sebab kapan sampai ke sana masih belum jelas", maka tentu dia akan disalahkan oleh semua sahabat sebab dia terang-terangan mengabaikan titah Nabi Muhammad yang berupa aturan khusus di atas.

Sampai poin ini kita tahu bahwa teori wujudul hilal tidak sama dengan kedua kelompok yang ijtihadnya direstui oleh Nabi di atas. Teori ini justru sama dengan orang yang tetiba shalat Ashar di awal waktu tanpa peduli sudah sampai di Bani Quraidhah atau tidak, sebab mengabaikan instruksi Nabi Muhammad sepenuhnya. Ketika ditanya, ia berkata bahwa waktu Ashar kan sudah jelas sedangkan sampai di Bani Quraidhah atau tidak masih belum jelas jadi untuk kepastian maka shalat di awal waktu saja seolah-olah Nabi tidak pernah bersabda untuk menunggu hingga sampai di Bani Quraidhah. Persis dengan ini, penganut wujudul hilal berkata bahwa imkanur rukyat belum jelas dan kriterianya juga tidak disepakati, jadi langsung saja diputuskan berdasarkan wujudnya hilal meskipun mustahil dilihat demi kepastian, seolah Nabi tidak pernah bersabda untuk berpuasa karena melihat hilal dan akhiri puasa karena melihat hilal. 

Berdasarkan tidak terpenuhinya ketiga kriteria ijtihad di atas, maka teori wujudul hilal tidak dapat disebut sebagai hasil ijtihad melainkan sebagai aturan baru yang mandiri di luar al-Qur'an dan hadis yang sama sekali tidak merujuk pada al-Qur'an mau pun hadis. Dengan kata lain, ini adalah bidah sayyi'ah. Bila ijtihad yang salah tetap diganjar dengan satu pahala, maka mengikuti teori ini sama sekali tidak mendapat pahala justru menjadi maksiat apabila sudah paham tapi masih dilanjutkan.

Bila teori ini dipaksa untuk diterima, maka orang kebatinan yang tidak pernah shalat secara fisik juga harus diterima dan dimaklumi sebab mereka "berijtihad" dengan memahami bahwa instruksi untuk shalat hanya untuk tercapainya dzikir (mengingat Allah) sebagaimana dalam ayat Thaha: 14, sedangkan mereka sudah sampai pada level dzikir tersebut. Demikian juga orang kebatinan yang memahami lafadz shalat sebagai shalat ruhaniyah bukan fisikal juga harus diterima meskipun konsekuensinya bertabrakan dengan hadis tentang pelaksanaan shalat. Bahkan semua teori dan pandangan sesat yang membuat aturan baru yang mengabaikan ayat dan hadis harus diterima juga atas nama "ijtihad" hingga rusaklah agama ini. 

Kalimat semisal: "Kami memahami kata rukyat bukan sebagai melihat dengan mata tapi melihat dengan ilmu pengetahuan", tidak ada bedanya dengan kalimat: "kami memahami kata shalat bukan sebagai gerakan fisik tapi gerakan ruhani" atau "kami memahami puasa bukan sebagai menahan diri dari makan-minum di bulan Ramadhan tapi menahan hati dari melupakan Allah meskipun secara fisik tetap makan dan minum". Sama juga dengan orang liberal yang berkata bahwa kami memahami bahwa Islam yang diakui Allah bukan agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saja tapi sebagai semua agama yang mengajarkan kedaamain. Semuanya sama persis tidak ada bedanya. Semua hanya berdasarkan pemahaman pribadi yang tidak berdasar kecuali cocokologi. Ketika dimintai dalil khusus yang spesifik membenarkan pemaham mereka, tidak ada yang mampu memberikan dalilnya tapi hanya mengulang lagi bagaimana pemahaman mereka sendiri seolah pemahaman mereka tidak mungkin salah atau harus dihargai. Kalau tidak merasa bahwa hal semacam ini sesat, maka la hawla wala quwwata illa billah.

Semoga bermanfaat.

Sumber FB Ustadz Abdul Wahab Ahmad

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Wujudul Hilal Bukan Hasil Ijtihad". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait