Unsur Gagal Paham Pendukung Teori Wujudul Hilal

Unsur Gagal Paham Pendukung Teori Wujudul Hilal

UNSUR GAGAL PAHAM PENDUKUNG TEORI WUJUDUL HILAL

Saya melihat unsur utama kegagalan kawan-kawan pendukung teori wujudul hilal itu ada lima, yaitu:

1. Tidak mampu membedakan antara mumkin dan mustahil. Ikhtilaf ulama fikih sejak dulu ada di wilayah mumkin untuk ru'yat. Sedangkan kawan-kawan pendukung teori syadz yang disebut wujudul hilal ada di wilayah mustahil untuk ru'yat. Karena itu, ketika dimintai dalil, semua dalilnya malah menggunakan dalil imkanur ru'yah padahal sama sekali tidak nyambung. 

Bila membedakan antara kasus mustahil dilihat dengan kasus mungkin dilihat andai tidak ada penghalang saja tidak bisa, maka diskusi tidak akan nyambung selamanya. Seharusnya mudah membedakan antara mumkin dan mustahil sebab ini logika dasar, tapi ternyata tidak semua orang paham hal sesederhana ini. Mumkin itu potensial, mustahil berarti tidak ada potensi sama sekali. Sesederhana itu tapi konsekuensinya jauh berbeda.

Untuk yang masih sulit memahami perbedaannya, saya beri contoh yang amat sederhana siapa tahu masih ada yang bisa paham: 

Ada tiga orang sniper yang diperintah menembak dengan instruksi jelas: "Kalau musuh sudah terlihat, maka tembak"

Sniper pertama menembak hanya ketika musuh jelas terlihat (diru'yah). Dia jelas benar dan paham instruksi. Musuhnya pun mati dan misi sukses.

Sniper kedua tidak menunggu musuh terlihat tetapi dengan detektor thermal dia tahu bahwa musuh berada di balik sebuah pintu. Dia langsung menembak meskipun sedikit tidak sesuai instruksi tetapi dia tahu bahwa tujuannya agar musuh terbunuh dan pelurunya secara yakin dapat menembus pintu kayu sehingga ada potensi (imkan) musuh tetap terbunuh meski belum terlihat. Misi pun sukses dan musuh ternyata terbunuh. Meski sedikit menyalahi instruksi, tapi sniper ini dapat dimaklumi.

Sniper ketiga tidak menunggu instruksi melihat dan tidak pula menunggu kondisi musuh berpotensi (imkan) tertembak. Dia tahunya bahwa secara meyakinkan musuh sudah wujud di balik tembok berdasarkan thermal detektor. Akhirnya dia menembak musuh di balik tembok itu meskipun mustahil kena. Musuh pun lari dan si Sniper dihukum oleh atasannya. Setelah disidang, si Sniper malah membawa-bawa alasan yag dipakai Sniper kedua bahwa musuh sudah wujud dan itu dapat dipastikan oleh alat canggih. Atasannya tepok jidat karena anak buahnya tidak dapat membedakan mana mumkin kena dan mana mustahil kena.

Ketika khazanah fikih yang begitu luas itu digali dengan benar, maka kesimpulannya dalam masalah ini adalah ru’yah adalah pedoman mayoritas ulama sepanjang masa. Imkanur Ru’yah adalah pendapat sebagian ulama sejak dulu, dan ini harus kita hargai sebagai ikhtilaf yang kuat meski pun mereka berbeda pendapat soal ketinggiannya. Ulama ahli hisab yang dapat dinukil dari khazanah turats semuanya menggunakan hisabnya untuk memprediksi imkan ru’yah, bukan untuk menetapkan puasa ketika mustahil diru’yah. Adapun Wujudul Hilal adalah bid’ah di abad ini yang tidak punya landasan apa pun kecuali semangat untuk potong kompas disertai perasaan bahwa Nabi, Sahabat dan ulama belasan abad tidak secanggih mereka.

2. Berijtihad tatkala ada nash.

Para ulama ahli ushul fikih mau pun fikih sepakat bahwa ijtihad tidak diperkenankan tatkala ada nash. Yang dimaksud nash adalah keterangan jelas yang tidak multi tafsir dan dapat dipahami oleh semua orang tanpa berpikir rumit. Larangan ijtihad tatkala ada nash ini dijelaskan oleh banyak ulama dari yang klasik hingga kontemporer, misalnya Imam Baghawi (516 H) dalam at-Tahdzib Fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i dan Qadli Abdul Wahhab al-Maliki (422 H) dalam al-Ma’unah ala Mazhab Alim al-Madinah. Beberapa ulama bahkan menulis satu bab khusus menjelaskan tentang ini, semisal Imam Khatib al-Baghdadi bahkan menulis satu bab khusus yang berjudul 

بَابٌ فِي سُقُوطِ الِاجْتِهَادِ مَعَ وُجُودِ النَّصِّ 

“bab yang menjelaskan gugurnya ijtihad tatkala ada nash” (al-Baghawi, al-Faqih wa al-Mutafaqqih)

Ibnu Qayyimil Jauziyah al-Hanbali juga menulis bab khusus dan bahkan mengklaim bahwa ini adalah ijmak. Babnya berjudul:

فصل في تحريم الإفتاء والحكم في دين الله بما يخالف النصوص، وسقوط الاجتهاد والتقليد عند ظهور النص، وذكر إجماع العلماء على ذلك

“Pasal tentang haramnya berfatwa dan memutuskan hukum dalam agama Allah dengan keputusan yang melawan nash-nash dan  gugurnya ijtihad dan taqlid ketika munculnya nash serta menyebutkan ijmak ulama atas hal tersebut” (Ibnu Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in)

Ijtihad sendiri sebenarnya terpuji, tetapi itu ada tempatnya tidak sembarang bisa dilakukan. Ibnu Hajar al-Asqalani sebagaimana dikutip oleh Ibnu Syahin berkata:

وهو محمود، لكنه مع وجود النص فاسد الاعتبار

"Ijtihad itu terpuji tapi ketika ada nash maka ia tidak diperhitungkan sama sekali" (Ibnu Syahin, Fath al-Mun'im Syarh Shahih Muslim)

Nash tentang tatacara teknis memulai puasa Ramadhan adalah hadis sahih semisal:

الشهرُ يكونُ تسعةً وعشرينَ، ويكونُ ثلاثينَ، فإذا رأيتُموهُ فصومُوا، وإذا رأيتُمُوه فأَفْطِرُوا، فإِنْ غُمَّ عليكم فأكمِلُوا العِدَّةَ

“Bulan hijriah adakalanya 29 dan akalanya 30. Ketika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Ketika kalian melihatnya [lagi], maka akhiri puasa. Ketika pandangan kalian terhalang, maka sempurnakan hitungannya [menjadi 30]. (HR. Bukhari-Muslm).

Hadis-hadis serupa di atas banyak sekali dan semuanya masuk kategori nash sebab tidak multi tafsir dan begitu mudah dipahami oleh siapa pun. Ketika ada nash sejelas itu malah berijtihad dengan memakai qiyas dan mafhum implisit dari berbagai dalil yang dicocokologi demi meninggalkan istruksi Nabi tersebut, maka jelas itu merupakan bid’ah.

Sudah setahun ini saya mengajukan pertanyaan mengapa nash-nash sejelas itu dibuang begitu saja dan sampai kali ini tidak ada yang dapat menjawabnya. Kebanyakan hanya menjawab dengan jawaban apologetik  “pokoknya tidak dibuang, pokoknya tidak bid’ah, dan pokoknya ini ijtihad yang benar yang harus dihargai”. Padahal semua yang berpikir logis tahu betul bahwa ketika potensi rukyat diabaikan, maka hadis-hadis shahih yang sharih juga pasti diabaikan begitu saja. Andai bukan karena fanatisme, semua muslim yang berakal sehat pasti sepakat terhadap tulisan saya. Saya heran, jawaban apa yang mereka persiapkan ketika nanti bertemu Rasulullah?

Karena wujudul hilal merupakan pelanggaran nash, maka banyak aturan syariat yang ikut terbuang, misalnya kebiasaan salaf untuk pergi rukyah, aturan tentang persaksian melihat hilal,  kesunnahan berdoa tatkala melihat hilal dan paket lainnya. Semuanya hilang dibuang begitu saja karena membuat aturan baru.

ِAda adagium yang begitu terkenal di kalangan fuqaha’ yang perlu diketahui:

وَلَيْسَ كُلُّ خِلافٍ جَاءَ مُعْتَبَرَا ... إلاَّ خِلافٌ لَهُ حَظٌّ مِنَ النَّظَرِ

“Tidak semua perbedaan pendapat itu diperhitungkan, hanya perbedaan yang punya basis rasional saja”.

Sebab itu, perbedaan pendapat itu dibagi menjadi qaul ashah (lebih sahih), shahih, dlaif (lemah) dan terakhir syadz (nyeleneh). Orang bodoh yang tidak paham fikih cenderung menyamaratakan semua dan meminta yang syadz dihargai sebagai qaul shahih alternatif.

3. Tidak sadar bahwa pelarangan wujudul hilal untuk dijadikan pedoman adalah ijmak para ulama.

Imam Taqiyyudin as-Subki adalah salah satu pendukung ilmu hisab. Kebanyakan argumen ahli hisab di masa ini berasal dari argumen yang dikemukakannya. Tapi banyak orang tidak tahu bahwa ia menyatakan bahwa teori wujudul hilal adalah melanggar ijmak (konsensus ulama). Ia berkata:

واجمع المسلمون – فيما أظن – على أنه لا حكم لما يقوله الحاسب من مفارقة الشمس اذا كان غير ممكن الرؤية لقربه منها سواء كان ذلك وقت غروب الشمس أم قبله أم بعده

“Kaum muslimin bersepakat (ijmak), setahu saya, bahwasanya tidak ada putusan apa pun berdasarkan perkataan ahli hisab bahwa hilal sudah berpisah dari matahari (sudah konjungsi) apabila tidak mungkin untuk dilihat sebab masih dekat dengan matahari (derajatnya masih rendah), sama saja itu di saat tenggelamnya matahari, sebelumnya atau sesudahnya” (as-Subki, al-Ilm al-Mansyur Fi Itsbat asy-Syuhur)

Jadi, itulah mengapa saya berulang kali berkata dengan diksi keras bahwa teori ini bid’ah dan menyimpang dan tidak seharusnya dipertimbangkan secara hukum syariat sebab memang pelanggaran ijmak adalah sebuah kesalahan besar, bukan sekedar perbedaan pendapat biasa. Ibnu Taimiyah berkata:

 وإذا ثبت إجماع الأمة على حكم من الأحكام، لم يكن لأحد أن يخرج عن إجماعهم

“Ketika ijmak telah valid atas suatu hukum, maka tidak boleh ada satu orang pun keluar dari kesepakatan tersebut” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa)

Setelah mengurai panjang lebar dalilnya yang terlalu panjang untuk dinukil di sini, Imam as-Subki dalam fatwanya menjelaskan rasionalisasi kenapa teori wujudul hilal itu tidak diakui secara syariat. Ia berkata:

 وَأَنَّ وُجُودَهُ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ مُعْتَبَرٌ بِشَرْطِ إمْكَانِ الرُّؤْيَةِ، وَلَوْ لَمْ يَقُلْ النَّبِيُّ ﷺ ذَلِكَ لَكَانَ إذَا فَارَقَ الشُّعَاعَ مَثَلًا قَبْلَ الْفَجْرِ يَجِبُ صَوْمُ ذَلِكَ الْيَوْمِ فَأَبْطَلَ النَّبِيُّ ﷺ ذَلِكَ وَلَمْ يَجْعَلْ الصَّوْمَ إلَّا فِي الْيَوْمِ الْقَابِلِ، وَهَذَا مَحَلٌّ مُجْمَعٌ عَلَيْهِ لَا خِلَافَ فِيهِ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ 

“Bahwasanya wujud hilal yang realitasnya terjadi dapat dipertimbangkan dengan syarat imkan ru’yah. Andai sa Nabi Muhammad tidak mengatakan hal tersebut (hadis-hadis instruksi rukyat), maka pastilah ketika sudah konjungsi sebelum fajar, maka diwajibkan berpuasa di hari tersebut, tetapi Nabi membatalkannya dan tidak menjadikan kewajiban puasa kecuali keesokan harinya. Ini adalah hal yang disepakati (ijmak) tidak ada satu pun yang berbeda pendapat. (As-Subki, Fatawa as-Subki)

Setelah itu, Imam Subki barulah menjelaskan adanya perbedaan pendapat ketika kasusnya adalah Imkanur Ru’yah. Jadi, bedakan antara wujudul hilal dan imkanur ru’yah. Imkanur Ru’yah masih diperselisihkan oleh para ulama kebolehannya, tapi wujudul hilal sudah disepakati bahwa itu tidak diperhitungkan sama sekali sebab konsekuensinya juga tidak logis. Sampai poin ini, mereka yang berkata bahwa ketika sudah lebih sekian menit dari nol derajat berarti bulan baru dan berarti wajib berpuasa seharusnya mereka konsisten berpuasa ketika lebih sekian menit dari nol derajat saat konjungsinya malam hari.  Ketika semua sepakat bahwa bukan begitu caranya, maka seharusnya semua sepakat bahwa keberadaan hilal saja tidak menjadi patokan.

4, Tidak dapat membedakan antara wasilah untuk ibadah dan bagian dari ibadah itu sendiri.

Beberapa orang pendukung teori bid’ah wujudul hilal berkata bahwa rukyah hanya wasilah, bukan bagian dari ibadah puasa. Yang tidak boleh adalah memodifikasi puasanya, bukan berkreasi dalam wasilahnya. Dulu wasilahnya adalah melihat dengan mata, sekarang karena kecanggihan teknologi wasilahnya cukup menghitung dengan hisab murni.

Ucapan tersebut menunjukkan ketidakpahaman terhadap batasan suatu ibadah dan wasilah ibadah. Yang disebut bagian ibadah adalah seluruh prosesnya sejak awal hingga akhir yang menentukan sah tidaknya ibadah tersebut, termasuk penentuan waktu pelaksanaannya. Sedangkan wasilah adalah hal di luar itu. Penentuan waktu pelaksanaan bukanlah wasilah sebab sebuah ibadah dihukumi sah atau tidak sah bergantung pada ketepatan waktunya. Orang yang memulai shalat berdasarkan jam dan jadwal harus mengulangi kembali shalatnya ketika terbukti nyata bahwa jadwal dan jamnya tidak sesuai realitas masuknya waktu shalat. Beda kasus dengan persoalan apakah ke masjid memakai kuda atau motor, itu hanya wasilah yang tidak perlu dipermasalahkan.

Demikian juga orang yang berpuasa Ramadhan saat secara syariat dianggap belum Ramadhan maka pausanya tidak sah. Sama pula ketika dia berhari raya sebelum secara syariat ditetapkan hari raya, maka puasanya harus diqadha’. Itu artinya penentuan waktu memulai dan mengakhiri Ramadhan bukan wasilah tapi salah satu bagian inti ibadah itu sendiri. 

Beda kasusnya dengan bacaan ushalli misalnya, ia jelas hanya wasilah untuk memantapkan niat, tapi bukan bagian dari shalat itu sendiri. Buktinya, semua tahu bahwa shalat dimulai dari ucapan takbiratul ihram sedangkan ushalli sebelum takbiratul ihram. Shalat tanpa membaca ushalli pun semua sepakat dihukumi sah tanpa ada satu pun yang menganggapnya tidak sah. Ini adalah bukti bahwa ushalli bukan bagian dari ibadah tetapi wasilah ibadah. Sayangnya, hal sesederhana ini sulit dipahami oleh kawan-kawan pendukung teori wujudul hilal sehingga mereka kerap menyamakan antara teori wujudul hilal dengan ushalli lalu berusaha mengesankan bahwa ini hanya sudut pandang. Mengatakan bahwa sesuatu hanya soal sudut pandang tentu boleh tetapi harus berdasar, tidak bisa asal klaim.

5. Tidak mampu membedakan antara menolak hisab dan menolak teori wujudul hilal.

Ini adalah kesalahan paling dasar dan sayangnya terjadi secara umum, mulai awamnya hingga pengurusnya yang kemarin tanggapannya sudah saya bantah. Bila menghadapi orang yang menolak hisab, maka argumennya adalah tentang kehujahan hisab. Namun bila menghadapi orang yang sama-sama menggunakan hisab tapi menolak wujudul hilal, maka tidak bisa menggunakan dalil hisab tapi harus memakai dalil wujudul hilal.

Saya berulang kali mengatakan bahwa saya tidak menolak hisab bahkan saya sendiri sudah sejak 20 tahun lalu belajar hisab. Tapi ketika saya menolak wujudul hilal, tetap saja saya disodori dalil-dalil kehujjahan hisab yang sudah sangat basi dengan disertai ledekan seolah seluruh dunia selain dirinya sudah ketinggalan zaman. Ini tidak nyambung sama sekali bahkan kekanak-kanakan.

Hisab itu kita terima dan bahkan dipakai oleh semua tim rukyat di lapangan. Saya berkata begini sebab saya pernah ikut jadi tim lapangan. Tidak ada tim rukyat yang berangkat tanpa membawa kalkulasi hisab hilal. Namun yang memakai hisab bukan berarti menyetujui teori bid’ah wujudul hilal. Ini dua hal yang berbeda jauh tapi anehnya seolah begitu sulit dipahami.

Menolak teori wujudul hilal artinya menolak menjadikan hilal yang asal wujud meskipun nol dejarat sekian menit sebagai patokan puasa. Ini berbeda jauh dengan imkanur rukyat dan rukyat murni. Namun meski berbeda, anehnya yang berhujjah mendukung teori bid’ah yang melanggar ijmak itu malah menggunakan argumen ulama-ulama yang hanya menyetujui imkanur rukyah bukan wujudul hilal. Nama mereka tampak sengaja dicatut secara tidak ilmiah yang penting muqallidnya menganggukkan kepala dan tetap taklid buta. Fala hawla wala quwwata illa billah.

Semoga bermanfaat.

baca juga : Puasa Saat Nol Derajat dan Tanggapan Balik Tentang Wujudul Hilal

Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Unsur Gagal Paham Pendukung Teori Wujudul Hilal". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait