DINAMIKA MAZHAB
Autentikasi Mahzab Dalam Dua Era yang Berbeda
Seperti mazhab fikih pada umumnya, mazhab Syafi’i terbentuk lewat fase tertentu yang relatif panjang hingga menemui fase kematangan. Setelah imam Syafi’i wafat (204 H), mazhab yang telah beliau gagas dikembangkan oleh generasi selanjutnya.
Fase ini disebut dengan fase pengembangan yang dijalankan oleh murid senior imam Syafi’i dan murid-murid mereka. Era ini dimulai dari tahun 204 H hingga wafat imam Ghazali (505 H).
Disamping mengambangkan prinsip-prinsip dasar yang telah dibentuk oleh Imam, fuqahak Syafi’iyyah era ini juga melakukan penggayaan mazhab lewat kemampuan ijtihat mereka.
Kegiatan ini membuat mazhab Syafi’i tidak terkendali karena banyaknya fuqahak yang menyebar ke berbagai negeri untuk membumikan mazhab, di mana banyaknya muncul fatwa yang tidak mengacu pada kaidah dan pada prinsip ijtihad imam.
Gerakan ijtihad yang terlalu bebas dalam fase ini menimbulkan kegelisahan akademis yang dirasakan oleh fuqahak Syafi’iyyah setelahnya. Akibatnya, pengikut Imam Syafi’i era setelahnya menganggap bahwa melakukan metode otentifikasi mazhab adalah upaya yang sangat urgen saat itu atau yang dikenal dengan tanqih al-mazhab.
Tanqih al-mazhab merupakan proses penyaringan pendapat lemah dan menjelaskan mana pendapat kuat diantara pendapat yang saling bertentangan.
Pada abad ke VI muncul sejumlah ulama yang menggeluti bidang ini seperti Muḥammad ibn Yaḥya al-Naisaburi (w. 548 H), Ibn Abi ‘Aqāmah (w. 550 H), Abu Ṭayyib al-‘Imrani(w. 578 H) dan lian-lain.
Selanjutnya, peran revisi mazhab dilakukan secara besar-besaran oleh imam Rafi’i (w. 623 H) dan disempurnakan oleh Imam Nawawi (w. 676 H). Keduanya lebih fokus dalam kegiatan otentifikasi mahzab dibandingkan menangani masalah-masalah lain.
Mereka berdua mengerahkan segala kemapuan yang ada untuk menelusuri seluruh kitab-kitab yang telah berkembang sebelumnya, meneliti fatwa-fatwa yang telah berkembang secara mendalam, serta memeriksa metode yang digunakan oleh fuqahak sebelumnya dalam melahirkan pendapat yang telah berkembang itu.
Pendapat yang telah dikaji itu kemudian disesuaikan dengan kaidah dan prinsip ijtihad imam Syafi’i. Lantas dinyatakan mana pendapat imam Syafi’i dan Pendapat ashab (murid imam), sekaligus mana pendapat kuat diantara yang saling betentangan. Beginilah proses yang dilakukan oleh imam Nawawi dan imam Rafi’i untuk memfilter mazhab Syafi’i.
Maka, tak heran dengan pernyataan Ibnu Hajar al-Haitami bahwa kitab-kitab sebelum keduanya tidak bisa dijadikan pijakan, kecuali sudah dikaji hingga diketahui pendapat yang kuat dalam mazhab dengan bukti-bukti ilmiah. Pernyataan ini membuktikan bahwa tarjih yang disepakati oleh keduanya adalah tarjih yang paling kuat.
Imam Nawawi sendiri, dalam kagiatan otentifikasi mahzab, selain menempuh metode yang pernah dilakukan oleh imam Rafi’i beliau punya ciri khas tersendiri dalam bidang ini.
Imam Nawawi lebih konsisten dalam menyentuh urutan khilaf lewat metodenya yang lebih jelas dibandingkan imam Rafi’i. Pernyataan ini bisa dilihat pada halaman awal kitab-kitab karyanya yang menjelaskan klasifikasi urutan khilaf secara lebih terpenciri dan lebih konsisten dibandingkan karya-karya imam Rafi’i.
Kegiatan imam Nawawi mumbuktikan bahwa pengkajian beliau lebih mendalam dibandingkan imam Rafi’i, beliau dianggap lebih selektif. Karena ini, mutaakhirun Syafi’iyyah mengatakan bahwa seandainya bertantangan antara tarjih imam Nawawi dengan imam Rafi’i maka yang kuat adalah tarjih imam Nawawi.
Fase revisi mahzab kali pertama secara besar-besaran berakhir dengan wafatnya imam Nawawi pada tahun 676 H.
Banyak tokoh pemikir fikih setelah imam Nawawi mengatakan mahzab Syafi’i telah sempurna setelah wafat imam Nawawi. Semua pendapat yang berkembang sudah bisa dibedakan oleh pengikut mazhab Syafi’i, mana pendapat imam yang asli, pendapat ashab beliau, pendapat kuat dari pendapat yang saling bertabrakan, bahkan hingga urutan kekuatan khilaf.
Namun, setelah era imam Nawawi proses revisi mazhab masih terus dilanjutkan oleh generasi setelahnya meskipun tidak sesempurna upaya imam Nawawi dan imam Rafi’i.
Pada abad ke 10 H muncul dua nama besar yaitu Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H) dan Syamsuddin Muhammad ar-Ramli (w.1004 H). Meski tidak sepopuler dua muharrir sebelumnya, Ibnu Hajar dan imam ar-Ramli adalah sosok yang tidak bisa dilupakan dibalik kematangan mazhab Syafi’i setelah abad ke 10 H.
Pandangan ini dibuktikan oleh pengakuan sejumlah ulama setelah mereka. Meski kegiatan tanqih tidak setimpal dengan kegiatan imam Nawawi dan imam Rafi’i, tidak sedikit ulama setelah abad ke 10 H menegaskan bahwa era Ibnu Hajar al-Haitami dan Syamsuddin Muahammad ar-Ramli adalah era tanqih al-Mazhab kali kedua.
Karya bergenggsi keduanya yang mengulas panjang lebar karya imam Nawawi membuktikan kalau kontribusi keduanya dalam merevisi mazhab tidak main-main.
Ibnu Hajar sendiri mengatakan dalam Tuhfah al-Muhtaj bahwa beliau akan terus merevisi mazhab tanpa fanatisme terhadap imam Nawawi sebelum beliau memutuskan untuk mengikuti metode yang digunakan oleh imam Nawawi, "Tuhfah al-Muhtaj akan merangkum dan memungut pendapat yang telah beredar serta merespon terhadap penjelasan yang telah berkembang", Ibnu Hajar al-Haitami.
Kagiatan yang dilakukan oleh Ibnu Hajar jelas tidak membuat kita heran terkait penyataan dalam dinamika mazhab bahwa perlunya merujuk kepada tarjih Mutaakhirin Syafi'yyah saat menentang pendapat imam Nawawi dalam satu kitab dengan pendapatnya dalam kitab imam Nawawi yang lain, dalam hal ini Ibnu Hajar adalah salah satunya tempat rujukan itu.
Kenyataan ini membuktikan bahwa Ibnu Hajar sosok ulama yang sangat selektif dalam menyeleksi pendapat yang telah berkembang sebelumnya.
Kitab Nihayah al-Muhtaj yang mengulas Minhaj at-Thalibin karya imam ar-Ramli telah dibaca dihadapan penulisnya oleh 400 ulama, mereka telah mengkritik dan mengoreksi terhadap Nihayah al-Muhtaj. Karya epik imam ar-Ramli ini juga mendapat kedudukan yang sama dengan tuhfah al-Muhtaj.
Kegiatan autentikasi mazhab secara selektif yang terjadi dalam dua kurun yang berbeda telah menempatkan posisi mereka di posisi terpenting dalam mazhab Syafi’i.
Karya imam Ramli-Ibnu Hajar menempati posisi teratas dalam mazhab Syafi’i setelah kitab-kitab imam Nawawi dan imam Rafi’i.
Kesamaan tarjih imam Rafi’i dan imam Nawawi adalah tarjih yang paling kuat dalam mazhab Syafi’i. Jika terdapat perbedaan tarjih antara keduanya maka yang didahulukan adalah tarjih imam Nawawi karena beliau lebih selektif, disamping beberapa alasan lainnya.
Urutan selanjutnya disusul oleh tarjih Ibnu Hajar al-Haitami dan imam ar-Ramli. Jika terjadi perbedaan antara keduanya, maka ulama Mesir lebih mendahulukan imam ar-Ramli. Sedangkan ulama Hadharaut, Hijaz, Syam dan manyoritas ulama Yaman mendahulukan Ibnu Hajar.
Namun, setelah para ulama, baik Mesir maupun Hijaz berinteraksi, maka dalam fatwa bisa memilih salah satu dari keduanya, atau memilih berdasarkan ijtihad jika memiliki kemampuan untuk itu. Kesetaraan tarjih Ibnu Hajar dan Imam ar-Rami kemungkinan besar dipengaruhi oleh ta’asshur (semasa).
Keduanya hidup dalam masa yang sama, sehingga Ibnu Hajar tidak sempat mengkaji karya-karya imam ar-Ramli. Begitupun sebaliknya. Ini berbeda antara imam Nawawi dan Imam Rafi’i, dimana imam Nawawi hidup sekitar satu abad yang berbeda dengan imam Rafi’i, disamping adanya faktor-faktor lain yang membuat tarjih imam Nawawi lebih diunggulkan.
Semoga bermanfaat!
1. Al-Madkhal Ila Mazhab al-Imam al-Syafi’i hal 535- 538
2. Al-Madkhal Ila Dirasah la-Mazhab al-Fiqhiyyah hal 65-66
Sumber FB Ustadz : Zulkarnen Ar