Ijma Ulama Seputar Nikah Beda Agama

Ijma Ulama Seputar Nikah Beda Agama

IJMA ULAMA SEPUTAR NIKAH BEDA AGAMA

Apakah perdebatan seputar nikah beda agama termasuk isu yang baru? Saya dan Anda kira kiranya harus bersepakat terlebih dulu, bahwa ini adalah isu lama yang sudah banyak diulas oleh para fukaha. Berbagi dalil dan interpretasi sudah terdedah secara berlimpah di kitab-kitab para ulama. Sebelum mempersoalkan argumen Mun’im, saya ingin mempersoalkan pemilihan Mun’im terhadap tema ini terlebih dulu. 

Sebagai orang yang mendaku berpikiran progresif, mengapa Mun’im suka sekali merepetisi persoalan-persoalan lama, yang sajian argumennya sudah banyak dipaparkan oleh para ulama? Bukankah nalar progresif itu meniscayakan kita berpikir ke depan, dan mendiskusikan tema-tema yang belum tuntas didiskusikan oleh para ulama kita? 

Keharaman nikah beda agama, dalam kasus perempuan Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim, itu sudah menjadi kesepakatan (ijma) di kalangan para ulama. Menariknya, adanya kesepakatan itu diakui oleh Mun’im sendiri. Kalangan yang mempersoalakan tentu saja selalu ada. Tapi, adanya penolakan dari segelintir orang, apalagi kalau dia tidak terkategori sebagai mujtahid, tentu tidak mempengaruhi keabsahan ijma. 

Apakah benar para ulama dulu sudah bersepakat? Dalam kitab al-Mughni, Ibnu Qudamah (w. 620), seorang ahli fikih dalam mazhab Hanbali, menuliskan satu pembahasan terkait nikah beda agama. Pertanyaan dasarnya, bagaimana kalau ada dua orang non-Muslim menikah, lalu salah satu dari keduanya masuk Islam? Saya sertakan kutipan yang relevan dengan pembahasan ini. Katanya:

فأمَّا إن أسْلَمتِ الكتابيَّةُ  قبلَه وقبلَ الدُّخولِ، تُعُجِّلَتِ الفُرْقةُ، سواءٌ كان زَوْجُها كتابِيًّا أو غيرَ كتابىٍّ؛ إذ لا يجوزُ لكافِرٍ نِكاحُ مُسْلِمةٍ 

“Adapun kalau seorang perempuan ahli kitab itu masuk Islam terlebih dulu sebelum sang suami, dan sebelum dukhul, maka perceraiannya harus disegerakan (tu’ujjilat al-furqah), baik suaminya itu seorang ahli kitab maupun non-ahli kitab. Karena tidak boleh bagi seorang kafir menikahi perempuan Muslimah.”

Menariknya, setelah menyatakan itu, Ibnu Qudamah mengutip perkataan Ibn al-Mundzir (w. 318 H) terkait persoalan yang sedang dibahas. Ahli hadits itu menyatakan:

أجْمَعَ على هذا كلُّ مَنْ أحْفَظُ عنه من أهْلِ العِلْمِ

“Persoalan ini sudah disepakati oleh semua ulama yang aku kenal.” (Ibnu Qudamah, al-Mughni, vol. 10, hlm. 32). 

Penting untuk dicatat bahwa ungkapan “telah disepakati oleh semua ulama” ini dikemukakan bukan oleh sosok yang muncul belakangan. Tapi seorang ulama yang hidup di awal abad ke-4. Di samping masuk dalam generasi awal, Ibnul Mundzir juga dikenal sebagai ahli dalam bidang fikih dan hadits. Artinya dia menyatakan itu berdasarkan kepakaran. Ibnu Qudamah sendiri, yang mengutip perkataan itu, merupakan seorang fakih besar dalam tradisi Hanbali. 

Siapa itu Ibnul Mundzir? Imam an-Nawawi, dalam Tahdzīb al-Asmā wa al-Lughāt, menjawab:

  أحد أئمة الإسلام... المُجمع على إمامته، وجلالته، ووفور علمه، وجمعه بين التمكن فى علمى الحديث والفقه، وله المصنفات المهمة النافعة فى الإجماع والخلاف

“Seorang tokoh besar (imam) dalam Islam… yang disepakati keimamannya, keagungannya, keluasan ilmunya, dan kepakarannya dalam bidang hadits dan fikih. Dia memiliki banyak karya yang penting dan bermanfaat dalam persoalan ijma dan khilaf (di kalangan para ulama).” (an-Nawawi, Tahdzib al-Asma, vol. 2, hlm. 196)

Anda bisa lihat di sini bahwa tokoh yang menyatakan kesepakatan terkait keharaman nikah perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim itu bukan tokoh sembarangan, melainkan seorang ahli fikih dan ahli hadits yang bergelar “imam”. Satu maqam intelektual yang biasanya tidak disematkan kecuali kepada orang-orang yang berpengetahuan luas dan mendalam. 

Juga, seperti yang ditegaskan oleh an-Nawawi, punya keahlian dalam menelisik ijma para ulama. Pertanyaannya cukup sederhana, apa mungkin para pakar hukum Islam bersepakat tentang sesuatu tanpa adanya dalil? Di kalangan para pakar Ushul Fikih, ijma’ itu baru dipandang sebagai sumber pengambilan hukum yang sah ketika dia berlandaskan al-Quran dan Sunnah. 

Jadi, tidak ada ijma’ yang tidak berlandaskan dalil. Kalau tidak ada dalilnya, maka para ulama tidak akan menyebut itu sebagai ijma. Konsensus ulama tidak menjadi legal hanya karena dia disepakati oleh banyak ulama, tapi karena konsensus itu sendiri terlahir dari proses penelitian dalil yang panjang dan mendalam.

 Lalu apa untungnya kita membahas persoalan yang sudah ratusan tahun selesai dibahas oleh para ulama itu? Saya heran. Kenapa orang yang mendaku beraliran progresif bisa berpikir seterbelakang ini? Dengan mengutip pendapat segelintir orang, dia merasa sudah bisa menggugat kesepakatan para ulama. Orang-orang aneh, yang tidak jelas kepakarannya, dia rujuk demi menguatkan pendapatnya sendiri. Seolah-olah para pakar itu bersepakat dengan khayalan. Dan sosok aneh yang dia rujuk itu datang dengan dalil yang mematikan! 

Siapa itu al-‘Alayli? Apakah dia benar-benar seorang fakih, yang memang menguasai bidang yang dia bahas? Apa rekam jejak intelektualnya dalam bidang yang dia diskusikan? Sejauh mana keahliannya dalam bidang yang sedang dia bahas itu? Apa pandangan para pakar terkait kepakaran dia itu, kalau memang dia diklaim sebagai pakar? Sebelum mengutip pendapat seorang penulis, sarjana yang baik harusnya mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan semacam ini. 

Dalam diskusi keilmuan apapun, pendapat dan kesepakatan para pakar itu penting untuk dipertimbangkan. Ketika kita tahu bahwa para ahli hukum Islam sepakat tentang keharaman sesuatu, lalu kemudian kesepakatan itu dibantah oleh segelintir orang, tentu yang paling layak untuk diragukan ialah pendapat segelintir orang itu. Apalagi kalau dia bukan pakar. 

Saya tidak mengatakan bahwa pendapat banyak pakar itu harus diterima karena disepakati oleh orang banyak. Karena kalau kita berkata begitu, maka kita akan terjatuh dalam fallacy. Yang kita katakan ialah, para pakar itu melahirkan kesimpulan berdasarkan dalil. Pendapat mereka layak dipertimbangkan, karena mereka sendiri mendasarkan kesepakatannya pada dalil. Karena itu, kesepakatan mereka pun pada akhirnya sah untuk dijadikan dalil. Dan inilah salah satu alasan mengapa ijma itu sah dijadikan sumber pengambilan hukum. 

50 dokter sepakat bahwa penyakit A mematikan. Lalu datang satu orang—yang kepakarannya belum diakui—meragukan kesimpulan itu. Meskipun orang terakhir ini melampirkan alasan, tapi apakah logika yang sehat akan memilih pandangan aneh itu, sambil mencampakkan pendapat para pakar yang memang ahli dalam bidangnya? 

Logika Mun’im dibangun secara terbalik. Pendapat aneh yang bukan berasal dari pakar dia bela mati-matian. Tapi kesepakatan para ahli dia campakkan begitu saja. Inikah logika ilmiah yang sehat? Beginikah cara seorang sarjana progresif itu berpikir? Mun’im ini selalu suka tampil beda. Tapi sayang, pilihan sikap itu seringkali mempertontonkan kerapuhan nalarnya. 

Sumber FB Ustadz : Muhammad Nuruddin

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Ijma Ulama Seputar Nikah Beda Agama". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait