ORGAN ATAU JISIM TIDAK DAPAT MENJADI SIFAT
Saya pernah menulis panjang lebar tentang perbedaan antara dzat dan sifat, juga termasuk perbedaan antara sifat jismiyah dan sifat dzatiyah. Intinya, sifat selalu bersifat abstrak, bukan berupa dzat dan bukan pula jisim. Silakan dibaca tulisan lama saya tentang itu bila tertarik pada perinciannya.
Namun banyak kawan-kawan Wahabi-Taymiy yang tetap mencampur adukan itu semua. Mereka berkata bahwa benda konkrit atau jisim juga dapat menjadi sifat. Berikut ini adalah dialog saya dengan salah satunya yang meyakini demikian:
==============
Raihan Ramadhan :
Kiyai Abdul Wahhab Ahmad membatasi "Sifat" hanya boleh dimaknai sebagai "Atribut abstrak"...
Padahal istilah "Sifat" tanpa embel-embel kata lain di sampingnya, maka mesti dipahami secara mutlak juga, "Sifat" dalam pengertian "Atribut" secara mutlak dan secara umum, tanpa taqyiid dan tanpa takhshiish, artinya mencakup "Atribut abstrak" sekaligus "Atribut konkret"...
Manusia memiliki atribut-atribut, di antaranya ada yang merupakan atribut abstrak seperti kekuatan, ilmu, hidup, dan lain-lain, serta juga ada yang merupakan atribut konkret seperti tangan, wajah, diri, dan lain-lain.... Kemudian sesuatu yang maklum saat seseorang diminta: "Sebutkan sifat-sifat manusia!", maka dia dapat menjawab pertanyaan itu dengan menyebutkan atribut-atribut abstrak maupun atribut-atribut konkret, semisal jawaban: "Manusia itu, punya kecerdasan, punya kesadaran, punya pemikiran, punya kekuatan, punya tangan, punya diri, punya wajah, punya perasaan, dan lain-lain"...
Jawaban saya:
Apa yang disebut sebagai atribut konkrit itu adalah istilah lain bagi jisim. Jisim sama sekali tidak mungkin menjadi sifat.
Dalam contoh kalimat: "manusia punya tangan, wajah, dst" yang menjadi sifat adalah kata "punya", bukan benda yang dipunyai. Punya ini abstrak, bukan sesuatu yang bisa diraba.
Sebab itu tidak bisa disebut Zaid bersifat tangan, wajah dan seterusnya. Bisanya hanya disebut bahwa Zaid punya wajah, tangan dan seterusnya. Nanti barulah wajah dan tangan itu bisa diberi atribut sifat semisal tampan, bagus, besar, kecil dan seterusnya.
Kalau semisal tangan disebut sifat, lalu bagaimana bisa tangan itu diberi sifat lagi. Tak ada ceritanya sifat punya sifat sebab sifat itu selalu melekat pada dzat.
Ketidakmampuan Taymiyun membedakan antara sifat dan dzat membuat akidah mereka kacau dan menyimpang dari Ahlussunah wal Jamaah. Ulama Ahlussunah wal Jamaah menyebut yadullah sebagai sifat, namun mereka masih bingung hendak menyebutnya apa. Kadang meniru Ahlussunah menyebutnya sifat, tapi dalam praktiknya menekankan makna dzat.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad