Qanun Takwil

Qanun Takwil

QANUN TAKWIL

Oleh: Imam Sanusi

Kalimat yang musykil dari Alquran dan hadis sangat banyak dan para ulama telah mengarang tentang semua itu dan telah berkomentar atasnya dengan berbagai karya. Patokan secara global dalam menyikapi semua kalimat musykil itu adalah bahwasanya setiap kalimat musykil tersebut mustahil makna zahirnya dan harus dilihat diperinci terlebih dahulu:

1. Apabila ia tidak dapat menerima kecuali satu makna takwilan saja, maka wajib menggunakan satu makna tersebut, seperti firman Allah:

وهو معكم أينما كنتم (الحديد: 4)

"Dia bersama kalian di manapun kalian berada"

Sesungguhnya kebersamaan dalam makna tahayyuz (mempunyai batas fisikal) dan hulul (bertempat) di suatu tempat adalah adalah mustahil bagi Allah Tabaraka Wa Ta'ala karena itu adalah sifat-sifat jisim. Maka wajib memalingkan makna zahir tersebut dan tidak ada lagi makna yang dapat diterima kecuali satu makna yang ditunjukkan oleh konteks ayat, yaitu kebersamaan dengan pengetahuan, pendengaran dan penglihatan.

2. Apabila kalimat yang muskil tersebut dapat menerima lebih dari satu kemungkinan makna, seperti firman Allah:

تجري بأعيننا

"kapal itu berjalan dengan penglihatan kami"

لما خلقت بيدي

"terhadap apa yang Aku ciptakan dengan kedua tangan kami"

الرحمن على العرش استوى

"ar-rahman istawa atas Arays"

dan ayat semacam itu, maka para ulama berbeda pendapat menjadi tiga mazhab, yaitu:

a. Mazhab pertama: Wajib memasrahkan maknanya kepada Allah Ta'ala setelah memastikan Allah Maha Suci dari makna zahir yang mustahil tersebut. Ini adalah mazhab Salaf. Karena itu ketika imam Malik ditanya tentang firman Allah ta'ala "istawa atas Arasy", ia menjawab: "istiwa sudah diketahui, kaifiyahnya tidak diketahui dan bertanya tentang itu adalah bid'ah", kemudian Imam Malik memerintahkan untuk mengusir penanya tersebut.

Imam Malik bermaksud dengan jawaban itu bahwasanya istiwa itu diketahui beragam opsi maknanya secara majas dari bahasa Arab yang sah berlaku pada Allah yang Maha Tinggi, akan tetapi makna spesifik yang dimaksud dari beragam opsi tersebut atau dari opsi lainnya adalah tidak dapat kita ketahui. Dan bertanya tentang makna spesifik yang dikehendaki oleh Nash tersebut adalah bid'ah dan pelaku bid'ah adalah orang yang buruk yang harus dijauhi dan dikeluarkan dari majelis ilmu supaya tidak memasukkan fitnah kepada kaum muslimin sebab menampakan bid'ahnya.

b. Mazhab kedua: Menentukan takwilan atas teks yang muskil tersebut dengan makna spesifik yang dianggap unggul dibanding makna lainnya yang sah untuk dipakai dengan pentunjuk konteks kalimat atau dengan banyaknya penggunaan orang Arab dalam makna spesifik tersebut. Maka kata "mata" dimaknai sebagai ilmu, penglihatan atau penjagaan; kata "tangan" dimaknai kekuasaan atau kenikmatan dan kata "istiwa" dimaknai penaklukan. Ini adalah mazhab Imam Al Haramain dan banyak sekali ulama lain.

c. Mazhab ketiga: Membawakan teks yang musykil tersebut pada penetapan sifat Allah yang layak pada keagungannya dan keindahannya yang tidak diketahui hakikatnya. Ini adalah mazhab Syekh ahlussunnah yakni Abil Hasan Al-Asy'ari rahimahullah wa radliya 'anhu. 

Aku (as-Sanusi) berpendapat: Yang jelas, bagi orang yang berhati-hati yang memilih menetapkan makna spesifik yang disebutkan oleh para ulama terhadap teks yang muskil agar menggunakan redaksi yang menunjukkan kemungkinan makna lain. Jadi orang yang hati-hati ini seharusnya berkata bahwa mungkin saja yang dimaksud oleh ayat ini atau hadits ini adalah demikian. Dengan begini ia telah selamat darisikap gegabah dan adab yang buruk yang diakibatkan oleh memastikan makna spesifik yang tidak didukung dalil qath'i bahwa betul-betul itu yang dimaksud. Wallahu a'lam.

---------------------------------

* Diterjemah secara bebas oleh Abdul Wahab Ahmad dari karya Imam Sanusi, Syarh al-Muqaddimat, (Damaskus: Darut Taqwa, 207)

** Mazhab 2a dan 2c dikenal luas dengan nama tafwidh. Mazhab 2b dikenal dengan nama takwil. 

*** Yang membedakan antara mazhab 2a dan 2c hanyalah terletak dalam penetapan sifat tertentu bagi Allah dengan memakai dalil teks musykilah tersebut. Pada mazhab 2a, makna spesifik yang diyakini adanya sama sekali tidak berani ditentukan tanpa disertai adanya penetapan sifat khusus bagi Allah. Dengan kata lain, teks tersebut hanya dibaca sebagai istilah yang mana makna spesifiknya dipasrahkan kepada Allah sehingga cukup dipahami makna globalnya saja untuk diamalkan, misalnya hadis nuzul cukup dipahami sebagai perintah untuk shalat tahajud tanpa dibahas apa yang dimaksud dengan nuzul itu sehingga cukup imrar (dibaca serta maknanya di-skip) saja. Adapun menurut Imam Abul Hasan al-Asy'ari dalam Ibanah, teks musykil tersebut juga menjadi dalil untuk menetapkan sifat tertentu yang hakikatnya sama sekali tidak diketahui. Jadi, ayat istawa dimaknai sebagai sebuah sifat Allah yang disebut istawa yang objeknya adalah Arays dan hadis nuzul dimaknai sebagai sifat Allah yang disebut dengan nuzul yang objeknya adalah langit dunia. Akan tetapi hakikat istawa dan nuzul sepenuhnya misterius dan sama sekali tidak dapat dijangkau oleh nalar manusia serta tidak ada di kamus sebab hanya Allah yang mengetahuinya.

**** Takwil pada konteks kesatu disepakati oleh semua kalangan, meskipun beberapa kalangan yang tekstual alergi memakai istilah takwil terhadapnya tapi memakai istilah tafsir. Namun perbedaan ini tidak substantif. Adapun takwil dalam konteks 2b diakui memiliki kelemahan sebab tidak didukung oleh dalil yang qath'i bahwa makna spesifik tersebut yang dimaksud oleh nash sehingga Imam Sanusi memberi saran agar penggunanya berhati-hati dengan cara mengungkapkannya dengan bahasa yang tidak tegas menutup kemungkinan makna lainnya yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul. Dengan ini, kritik pada takwil yang dilakukan oleh sebagian kalangan, semisal Ibnu Qudamah, dengan alasan tersebut dapat diambil jalan tengahnya.

Semoga bermanfaat.

Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Qanun Takwil". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait