๐ฆ๐ฌ๐๐ฅ๐๐ง ๐๐๐๐ ๐๐๐๐๐ก๐ก๐ฌ๐ ๐๐๐๐๐ง๐ฆ ๐๐๐’๐๐
Oleh Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq
Kebolehan mengamalkan hadits dha’if tentu saja tidaklah bersifat mutlak, namun dengan syarat dan ketentuan yang harus diperhatikan. Berkata Syihabudin Muhammad bin Ahmad al Khuwayi asy Syafi’i rahimahullah :
ُِّูููุฏَ ُููู ุงูุฌู ููุฑ ุจุซูุงุซุฉ ูููุฏ:ุฃู ูุง ูููู ุงูุถุนู ุดุฏูุฏุงً .ุฃู ูููู ุฃุตู ุงูุนู ู ุงูุฐู ุฐูุฑ ููู ุงูุชุฑุบูุจ ูุงูุชุฑููุจ ุซุงุจุชุงً.ุฃู ูุง ูุนุชูุฏ ุฃู ุงููุจู ุตّูู ุงููู ุนููู ูุณّูู ูุงูู
“Jumhur ulama telah membuat ketetapan tiga hal (agar hadits dha’if bisa diamalkan), yaitu : Hendaknya keadaannya tidak terlalu lemah, lalu amal yang disebutkan adalah berdasarkan hadits shahih, dan selanjutnya tidak memastikan hadits itu dari Nabi shalallahu’alaihi wassalam.”[1]
๐ญ. ๐๐ฒ๐น๐ฒ๐บ๐ฎ๐ต๐ฎ๐ป๐ป๐๐ฎ ๐๐ถ๐ฑ๐ฎ๐ธ ๐๐ฒ๐ฟ๐น๐ฎ๐น๐ ๐ฝ๐ฎ๐ฟ๐ฎ๐ต
Al imam Suyuthi rahimahullah berkata :
ุฃู ูููู ุงูุถุนู ุบูุฑ ุดุฏูุฏ ููุฎุฑุฌ ู ู ุงููุฑุฏ ู ู ุงููุฐุงุจูู ูุงูู ุชูู ูู ุจุงููุฐุจ ูู ู ูุญุด ุบูุทู ููู ุงูุนูุงุฆู ุงูุงุชูุงู ุนููู
“Hadits yang diriwayatkan hanya oleh satu perawi yang dikenal berbohong atau diduga pembohong, begitu juga hadits dari rawi yang sangat banyak kekeliruannya tidak dapat diamalkan. Imam al ‘Alla’i menukil bahwa syarat pertama ini disepakati oleh para ulama.”[2]
Keterangan yang sama juga disebutkan oleh imam Syathibi[3] dan Abul Hasan al Mubarakfury.[4]
๐ฎ. ๐๐ถ๐ฎ๐บ๐ฎ๐น๐ธ๐ฎ๐ป ๐ฑ๐ฎ๐น๐ฎ๐บ ๐บ๐ฎ๐๐ฎ๐น๐ฎ๐ต ๐ณ๐ฎ๐ฑ๐ต๐ฎ๐ถ๐น ๐ฎ’๐บ๐ฎ๐น ๐ฑ๐ฎ๐ป ๐๐ฎ๐ป๐ด ๐๐ฒ๐บ๐ถ๐๐ฎ๐น
Telah jelas di bahasan sebelumnya bahwa penggunaan hadits dha’if bukanlah untuk menetapkan sebuah hukum, tapi untuk hal yang sifatnya anjuran agama. Berkata al imam Ramli rahimahullah berkata :
ูุนูู ุฃูุถุง ุฃู ุงูู ุฑุงุฏ ุงูุฃุนู ุงู ูุนูู ุฃูุถุง ุฃู ุงูู ุฑุงุฏ ุจูุถุงุฆู ุงูุฃุนู ุงู ุงูุชุฑุบูุจ ูุงูุชุฑููุจ ููู ู ุนูุงูุง ุงููุตุต ููุญููุง
“Dan dapat diketahui dari penjelasan yang telah lalu bahwa yang dimaksud fadhailul amal adalah anjuran dan ancaman pada suatu amal, juga kisah-kisah, dan hal yang semisalnya.”[5]
Bahkan tidak ada kewajiban menjelaskan kedha’ifan sebuah hadits jika itu hanya berkaitan dengan kisah-kisah untuk diambil hikmahnya, selama tentunya kelemahannya tidak terlalu parah atau berstatus sebagai hadit palsu.
al imam Ibnu Shalah berkata :
ูุฏ ุฃุฌุงุฒ ุจุนุถ ุงูุนูู ุงุก ุฑูุงูุฉ ุงูุญุฏูุซ ุงูุถุนูู ู ู ุบูุฑ ุจูุงู ุถุนูู ุจุดุฑูุท: ุฃููุง ุฃู ูููู ุงูุญุฏูุซ ูู ุงููุตุต ุฃู ุงูู ูุงุนุธ ุฃู ูุถุงุฆู ุงูุฃุนู ุงู ุฃู ูุญู ุฐูู ู ู ุง ูุง ูุชุนูู ุจุตูุฉ ุงููู ูุงูุนูุงุฆุฏ ูุงูุง ุจุงูุญูุงู ูุงูุญุฑุงู ูุณุงุฆุฑ ุงูุฃุญูุงู ุงูุดุฑุนูุฉ ูุฃู ูุง ูููู ุงูุญุฏูุซ ู ูุถูุนุง ุฃู ุถุนูู ุดุฏูุฏ ุงูุถุนู
“Sebagian ulama telah membolehkan untuk meriwayatkan hadits dhaif tanpa menjelaskan kedhaifannya dengan beberapa syarat diantaranya hadits tersebut berisi kisah, nasihat-nasihat, atau keutamaan amalan, dan tidak berkaitan dengan sifat Allah, akidah, ketetapan halal haram, berkaitan seluruh hukum syariat, dan keadaannya bukan hadits maudhu’, dan kelemahannya tidak terlalu kuat.”[6]
๐ฏ. ๐ง๐ถ๐ฑ๐ฎ๐ธ ๐บ๐ฒ๐บ๐ฎ๐๐๐ถ๐ธ๐ฎ๐ป ๐ฎ๐๐ฎ๐ ๐บ๐ฒ๐๐ฎ๐ธ๐ถ๐ป๐ถ ๐ถ๐๐ ๐ฑ๐ฎ๐ฟ๐ถ ๐ฅ๐ฎ๐๐๐น๐๐น๐น๐ฎ๐ต
Syarat ketiga ini dinyatakan oleh sebagian ulama, yakni ketika seseorang membawakan hadits lemah atau mengamalkannya, ia tidak boleh mengkaitkan hal itu dengan Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam. Karena memang secara dugaan dan kaidah ilmiah tidak memenuhi syarat untuk dinisbahkan kepada sang Nabi.
Namun syarat ini tidak disepakati oleh ulama. Hanya sebagian saja yang menetapkannya. Berkata al imam Ibnu Atsir rahimahullah :
ุฃู ูุง ูุนุชูุฏ ุนูุฏ ุงูุนู ู ุจู ุซุจูุชู ูุฆูุง ููุณุจ ุฅูู ุงููุจู ุตูู ุงููู ุนููู ูุณูู ู ุง ูู ูููู
“Dan hendaknya tidak mengkaitkan ketika mengamalkannya ini dari beliau shalallahu’alaihi wassalam. Supaya tidak mengalamatkan sesuatu kepada Nabi apa yang tidak beliau katakan.”[7]
Al imam Suyuthi rahimahullah juga menyatakan hal yang sama :
ุฃู ูุง ูุนุชูุฏ ุนูุฏ ุงูุนู ู ุจู ุซุจูุชู، ุจู ูุนุชูุฏ ุงูุงุญุชูุงุท. ูุฐุงู ุฐูุฑูู ุง ุงุจู ุนุจุฏ ุงูุณูุงู ูุงุจู ุฏููู ุงูุนูุฏ
“Tidak mengkaitkan ketika mengamalkannya ini dari beliau shalallahu’alaihi wassalam. Dua syarat terakhir ini disebutkan oleh Imam Izzudin bin Abdissalam dan Ibn Daqiq Al‘Id.”[8]
Wallahu a’lam.
______________
[1] Nidzam Ulum al Hadits hal. 119
[2] Tuhfatul Abrar hal. 25
[3] Al I’thisham (1/125)
[4] Marqat al Mafatih (1/396)
[5] Fatawa ar Ramli (4/383)
[6] Irsyad ath Thulab (1/270)
[7] Jami’ al Ushul (1/109)
[8] Tadrib ar Rawi (1/351)
Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq