Alasan Sayidina Umar Memecat Khalid II

Alasan Sayidina Umar Memecat Khalid II

𝗔𝗟𝗔𝗦𝗔𝗡 𝗦𝗔𝗬𝗜𝗗𝗜𝗡𝗔 𝗨𝗠𝗔𝗥 𝗠𝗘𝗠𝗘𝗖𝗔𝗧 𝗞𝗛𝗔𝗟𝗜𝗗 (Bagian II)

Oleh Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq 

2. Perbedaan pandangan politik antara Umar dengan Khalid

Di tulisan sebelumnya telah disebutkan bagaimana sayidina Umar bin Khattab membuat kebijakan politik yang sangat berbeda dengan apa yang telah digariskan oleh khalifah sebelumnya, sayidina Abu Bakar Shidiq radhiyallahu’anhu. 

Umar benar-benar menjalankan sistem pemerintahan dengan pengawasan yang ketat terhadap semua pejabat seperti gubernur dan para panglima perangnya.

Diantara pertimbangan sayidina Umar menempuh model politiknya ini adalah karena beliau melihat betapa kehidupan di zamannya sangat jauh berbeda dengan zaman Nabi ﷺ dan khalifah Abu Bakar Shidiq. 

Bila di zaman sebelumnya kezuhudan dan kesederhanaan masih kuat mewarnai kehidupan masyarakat, tapi di zamannya dunia dibuka begitu lebar dan leluasa. Kekayaan mengalir deras kepada kaum muslimin dengan dibukanya negeri-negeri jauh.

Ketika diangkat menjadi khalifah, amirul mukminin menyampaikan pidatonya yang menegaskan sikap politiknya ini :

إن اللّه ابتلاكم بي، وابتلاني بكم، و أبقاني بعد صحابي، فوالله لايحضرني شيءٌ من أمركم فيليه أحدٌ دوني، ولا يتغيب عني، فآلوا فيه عن الجزاء، والأمانة، ولئن أحسن الولاة ؛ لأحسنَنَّ إِليهم، ولئن أساؤوا لأنكلنَّ بهم.

 “Sesungguhnya Allah akan menguji kalian dengan aku dan menguji aku dengan kalian ketika Dia menetapkan aku sebagai khalifah pengganti sahabatku itu (Abu Bakar). Demi Allah, tidak akan ada urusan kalian kecuali pasti aku akan mengurusinya. Tidak akan luput dari pengawasanku sedangkan aku tidak mengharapkan kecuali pahala dan dalam rangka menjalankan amanah.

Jika orang yang bekerja padaku baik, aku akan membalas dengan kebaikan. Dan jika mereka berbuat buruk, maka aku akan menghukum mereka.”

Sayidina Khalid bin Walid radhiyallahu'anhu merasa bahwa ia memiliki alasan untuk tidak terlalu terikat dengan aturan Umar yang ketat itu, paling tidak dengan dua alasan : Pertama ia berada di kancah jihad yang itu berbeda keadaannya dengan yang dihadapi oleh para pemimpin lain.

Keadaan sangat fluktuatif, bisa berubah setiap saat. Dan sebagai pihak yang ada di lapangan, ia lebih memahami kondisi yang ada, sehingga tentu lebih tepat keputusan yang akan diambilnya.

Kedua, jika langkahnya harus selalu menunggu keputusan dan arahan dari pusat, itu akan membahayakan keselamatan pasukannya. Karena bisa jadi keterlambatan komando akan membinasakan dia dan seluruh orang yang dipimpinnya. Khalid merasa bahwa harusnya khalifah bisa memberikan semacam hak otonom untuk posisinya saat itu.

Khalid menilai bahwa tindakannya membagi-bagikan harta ghanimah baik kepada pasukannya ataupun orang-orang yang baru masuk islam adalah sudah sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ dan juga direstui oleh khalifah Abu Bakar shidiq. 

Dan ini di pandang oleh beliau sebagai langkah strategi yang jitu, agar para tokoh negeri yang dikalahkan lalu menerima pemberiannya bisa melunak dan tidak memberontak.

Demikian juga para mujahidin akan semakin terdongkrak semangat dan kesungguhannya dengan tambahan pemberian ini, karena masih banyak mereka yang berjihad belum bisa ikhlas sepenuhnya.

Sedangkan sayidina Umar berpendapat sebaliknya. Bahwa memikat manusia untuk beriman dengan harta sudah bukan zamannya. Mereka yang sedang berjihad tidak boleh terkotori niatnya dengan keinginan mendapatkan ghanimah.

Adapun mereka yang mencoba memberontak ataupun murtad setelah keimanannya, akan diperangi kembali.

Demikianlah, Khalifah Umar bin Khattab tetap dengan pendiriannya. Ia menimbang beberapa langkah Khalid sudah melangkahi batas yang seharusnya. Karena pembagian ghanimah itu harus dilakukan dengan cara yang cermat dan teliti, sebab ia adalah harta negara yang diamanahkan untuk dikelola dengan profesional.

Meski berbeda pendapat sangat tajam, sayidina Umar tidak meragukan kecerdasan dan juga kejujuran Khalid dalam menjalankan amanah, tapi sebagai pimpinan ia harus memiliki sikap yang tegas dan jelas.

Anas bin Malik radhiyallahu’anhu meriwayatkan bahwa amirul mukminin Umar bin Khattab mengirimkan surat kepada Khalid yang isinya mirip dengan yang pernah dikirimkan oleh Abu Bakar kepadanya. 

Dan uniknya Khalid memberikan jawaban sama persis seperti jawabannya kepada Abu Bakar kala itu : “Biarkan aku dengan kebijakanku, atau terserah keputusanmu (kalau mau memberhentikanku).”

Umar pun menanggapi surat itu dengan berucap :

ما صدقت الله انكنت أشرت علىابي بكربأمرفلم أنفذه

“Aku tidak jujur kepada Allah, jika aku sendiri tidak menjalankan suatu usul yang pernah aku sampaikan kepada Abu Bakar.”

Artinya, dahulu ketika Khalid menjawab seperti itu Umar pernah mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar untuk memecat Khalid. Dan sekarang, dia juga mendapatkan jawaban yang sama, hanya yang berbeda, jika dulu keputusan di tangan orang lain, dan orang tersebut (Abu Bakar) memilih untuk tidak menjalankan sarannya, sekarang keputusan itu ada di tangannya. Akhirnya sayidina Umar pun memilih memberhentikan Khalid.

Pemberhentian seperti ini dalam dunia pemerintahan sebenarnya bukanlah suatu kejahatan yang layak untuk dihujat dari seorang pemimpin. Juga bukan hal aneh yang patut dipertanyakan terlalu mendalam oleh orang-orang yang paham bagaimana rumit dan kompleknya dunia perpolitikan.

Demikian juga pihak yang diberhentikan tidak selalu berarti buruk dan tidak becus bekerja. Apalagi kaitannya dengan sosok yang bergelar sang pedang Allah ini, justru bisa dikatakan Khalid diberhentikan karena terlalu baik, terlalu cemerlang dan sangat amanah. Dan tentang bagian ini akan kita bahas di tulisan selanjutnya.

Pemberhentian ini sama sekali tidak menghentikan langkah Khalid untuk terus berkarya dan memberikan sumbangsihnya untuk Islam. Ia terus berjihad di bawah komando panglima yang baru, hingga ia menghembuskan nafas terakhirnya di ranjang pembaringannya....

Maka jelas pemberhentian Khalid bukan karena alasan dan semangat jahiliyah, tapi karena memang antara dua tokoh hebat ini bersebrangan pandangan politiknya. Keduanya merasa bahwa sistemnya lah yang harus dipertahankan, sehingga salah satunya harus rela menyingkir. Umar merasa, bahwa dahulu Abu Bakar yang menyingkir, maka kali ini Khalid lah yang harus bersedia menyingkir agar tidak dikatakan khalifah ditundukan oleh panglimanya.

Dan semua ini terjadi tanpa ada tekanan, dendam dan permusuhan. Terbukti Khalid tetap bisa terlibat dalam pemerintahan hingga wafatnya dan Khalifah Umar bahkan memerintahkan agar panglima yang baru, Abu Ubaidah untuk selalu berkoordinasi dan meminta saran dari Khalid bin Walid radhiyallahu’anhu.

Disebutkan dalam sebuah riwayat Abu Ubaidah radhiyallahu’anhu pernah mengirim surat kepada amirul mukminin Umar bin Khattab yang menceritakan tentang kemenangan di sebuah kancah jihad. Beliau menceritakan bahwa kemenangan itu adalah berkat dari saran dan strategi jitu sayidina Khalid bin Walid.

Mendengar itu sayidina Umar membalas dengan ucapannya yang populer :

أمَّر خالد نفسه، رحم اللّه أبا بكر ! هو كان أعلم با الرِّجال منِّي

“Khalid telah sukses memerintah dirinya sendiri. Semoga Allah merahmati Abu Bakar, dia lebih tahu dari ku tentang orang-orang besar.”

Bersambung ke point 3....

_________

Ref : Fashl Khattab fi sirah Umar bin Khatab hal. 372-378, Khalid bin Walid li Shadiq Urjun hal, 331, al Bidayah wa Nihayah (7/115), Tarikh al Islami (11/146). 

Sumber  Fb Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Alasan Sayidina Umar Memecat Khalid II". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait