TAFWIDH ULAMA SALAF DISESATKAN OLEH ORANG DI ABAD KE-8
Sudah maklum bagi para pengkaji akidah bahwa ulama salaf mentafwidh (menyerahkan makna ayat/hadis tentang sifat pada Allah). Ulama salaf kebanyakan tidak menyibukkan diri membahas makna ayat/hadis sifat sebab di masa itu pembahasan semacam ini tidak diperlukan. Mereka hanya mengimani saja apa yang dikatakan dalam al-Qur'an dan hadis dan hanya membacanya begitu saja (imrar). Terlalu banyak nukilan pernyataan ulama salaf yang mentafwidh hingga Saif al-Ashri merangkumnya dalam satu buku berjudul al-Qawl al-Tamam (dapat didownload di link berikut: https://archive.org/details/alqawlultamam). Meskipun sudah dinukil banyak sekali, tapi itu pun belum semuanya sebab tidak mungkin semua nukilan tafwidh salaf dihimpun saking banyaknya.
Namun demikian, di abad ke-8 ada seorang tokoh yang mencela tafwidh dan memplesetkannya dengan sebutah tajhil (pembodohan). Ia berkata:
وأما الصنف الثالث: وهم أهل التجهيل: فهم كثير من المنتسبين إلى السنة وأتباع السلف. يقولون: إن الرسول صلى الله عليه وسلم لم يكن يعرف معاني ما أنزل الله عليه من آيات الصفات، ولا جبريل يعرف معاني [تلك] الآيات، ولا السابقون الأولون عرفوا ذلك
"Aliran sesat ketiga adalah ahli tajhil, mereka BANYAK YANG MENISBATKAN DIRI PADA SUNNAH DAN PENGIKUT SALAF. Mereka berkata bahwa Rasulullah tidak tahu makna-makna ayat sifat yang diturunkan Allah dan tidak juga Jibril tahu makna ayat tersebut, tidak juga dengan para pendahulu mengetahuinya"
Tokoh khalaf ini bernama Ibnu Taymiyah. Ia mengatakan kalimat tersebut di kitabnya yang berjudul al-Fatawa al-Hamawiyah: 275.
Bukan hanya diplesetkan menjadi tajhil, Ibnu Utsaimin menjelaskan bahwa menurut Ibnu Taymiyah, tafwidh adalah ucapan paling buruk dari ahli bid’ah dan ateis. Ia berkata:
وليعلم أن القول بالتفويض ـ كما قال شيخ الإسلام ابن تيمية من شر أقوال أهل البدع والإلحاد!
"Ketahuilah bahwa pendapat tafwidh sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Ibnu Taymiyah adalah termasuk perkataan ahli bid'ah dan ateis yang paling buruk!" (Ibnu Utsaimin, Syarh al-Aqidah al-Washitiyah, 93)
Ibnu Taymiyah yang hidup di zaman khalaf ini tahu betul bahwa para ulama sebelumya yang dikenal sebagai pengikut sunnah (Ahlussunnah Wal Jamaah) dan pengikut salaf mengatakan seperti itu, tapi tetap saja ia serang mereka dengan lantang sebab ia memang tidak mengikuti mereka. Di antara yang dia sebut sesat itu ada para ulama besar dari kalangan mazhab 4 secara umum dan Syaikh Ibnu Qudamah secara khusus dari kalangan internal Hanabilah.
Hanya sekedar contoh, berikut ini penegasan Ibnu Qudamah al-Hanbali (620 H) yang hidup satu abad sebalum Ibnu Taymiyah:
ولأن قولهم {آمَنَّا بِهِ} يدل على نوع تفويض وتسليم لشيء لم يقفوا على معناه
"Ucapan orang-orang beriman 'kami mengimaninya' menunjukkan sejenis tafwidh dan pasrah pada sesuatu yang tidak mereka pahami maknanya" (Muwaffaq ad-Din Ibnu Qudamah, Raudlat An-Nadhir Wa Jannat Al-Munadhir, I, 216)
Bahkan Ibnu Qudamah menyatakan secara ekplisit bahwa yang diimani hanya kata-katanya saja sebab maknanya tidak diketahui oleh kita. Ia berkata:
وَأما إيمَاننَا بِالْآيَاتِ وأخبار الصِّفَات فَإِنَّمَا هُوَ إِيمَان بِمُجَرَّد الْأَلْفَاظ الَّتِي لَا شكّ فِي صِحَّتهَا وَلَا ريب فِي صدقهَا وقائلها أعلم بمعناها فَآمَنا بهَا على الْمَعْنى الَّذِي أَرَادَ رَبنَا تبَارك وَتَعَالَى
"Adapun keimanan kita dengan ayat-ayat dan hadis-hadis sifat maka itu hanya iman terhadap lafaznya saja yang tidak diragukan kesahihannya dan kebenarannya, dan yang berkata (Allah dan Rasul) lebih mengetahui maknanya, maka kami mengimaninya sesuai makna yang dimaksud oleh Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi". (Muwaffaq ad-Din Ibnu Qudamah, Tahrim An-Nadhar Fi Ilm Al-Kalam, 59)
Bahkan Ibnu Qayyim, murid Ibnu Taymiyah paling setia, mengakui bahwa tafwidh adalah pilihan para imam salaf. Ia menukil dalam konteks membenarkan perkataan Imam al-Juwaini yang berkata:
ذَهَبَ أَئِمَّةُ السَّلَفِ إلَى الِانْكِفَافِ عَنْ التَّأْوِيلِ، وَإِجْرَاءِ الظَّوَاهِرِ عَلَى مَوَارِدِهَا وَتَفْوِيضِ مَعَانِيهَا إلَى الرَّبِّ تَعَالَى
"Para Imam Salaf memilih tidak mentakwil dan memberlakukan zahir sesuai konteksnya serta mentafwidh maknanya kepada Allah" (Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I’lam Al-Muwaqqi’in ’An Rabb Al-’Alamin IV, 189)
Jadi jelas bahwa tafwidh ini memang pendapat ulama terdahulu tapi ditabrak begitu saja oleh Ibnu Taymiyah di abad ke-8, bahkan dianggap sebagai perkataan yang paling sesat. Para Taymiyun kebanyakan mengikuti langkahnya dengan taklid buta. Saya tidak mengetahui satu pun tokoh salaf dan khalaf sebelum Ibnu Taymiyah yang mencela tafwidh, yang ada justru sebaliknya mendukung tafwidh.
Yang sedikit disalahpahami, kalau tidak mau dibilang fitnah, adalah framing bahwa tafwidh berarti menuduh Rasul tidak tahu maknanya. Ini hanya fitnah murahan sebab tidak ada ulama ahli tafwidh yang menyatakan hal tersebut. Yang benar adalah memasrahkan maknanya pada Allah dan Rasulullah. Dengan kalimat ini, tentu saja Allah dan Rasulullah dianggap tahu maknanya hanya saja sebagaimana maklum keduanya tidak menjelaskan kepada kita makna apa yang dimaksud. Coba saja cari tafsiran istawa atau yad yang dinyatakan oleh Allah dan Rasulullah sendiri, maka sampai kiamat tidak akan ditemukan. Sebab itu, ulama salaf pasrah begitu saja tidak membahasnya sama sekali, yang penting diimani.
Dari contoh nukilan di atas jelas juga bahwa yang dimaksud ulama salaf bukan tafwidh kaifiyah tetapi tafwidh makna. Maknanya yang dipasrahkan pada Allah, bukan kaifiyahnya sebab kaifiyah hanya dimiliki oleh makhluk. (Saya pernah menulis makna kaifiyah di NU Online di link berikut: https://islam.nu.or.id/ilmu-tauhid/definisi-kaifiyah-dalam-pembahasan-sifat-allah-qevUV#. Silakan dibaca agar duduk permasalahannya jelas). Kecuali apabila yang dimaksud kaifiyah adalah hakikat Dzat, maka memang benar itu ditetapkan tetapi tidak ada yang tahu kecuali Allah. Tapi untuk apa meributkan hakikat Dzat Allah sebab semua sepakat bahwa hakikat Dzat Allah memang tidak diketahui? Jadi aneh bin ajaib apabila sebagian Taymiyun memplintir tafwidh salaf sebagai tafwidh kaifiyah dalam arti tafwidh hakikat dzat seolah ada perdebatan soal itu. Yang menjadi kritik ulama pada Ibnu Taymiyah adalah tindakannya yang menetapkan kaifyah yang hanya berlaku pada makhluk semisal ukuran, berat badan dan sisi-sisi tubuh pada Dzat Allah (baca buku saya "Kerancuan Akidah Wahabi" untuk membuktikan hal ini).
Sebagai akhir, kita simak pernyataan Imam Syafi'i berikut:
آمَنت بِاَللَّهِ وبِما جاءَ عَنْ اللَّهِ عَلى مُرادِ اللَّهِ وآمَنت بِرَسُولِ اللَّهِ وما جاءَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ عَلى مُرادِ رَسُولِ اللَّهِ
"Saya beriman kepada Allah dan apa yang datang dari Allah sesuai maksud yang dikehendaki oleh Allah. Saya beriman pada Rasulullah dan apa yang datang dari Rasulullah sesuai maksud yang dikehendaki oleh Rasulullah" (Ibnu Qudamah, Lum'at al-I'tiqad, 7)
Kalau perkataan Imam Syafi'i tersebut diurai, maka seakan ia berkata bahwa makna yang saya imani adalah apa yang dimaksud oleh Allah dan Rasul yang itu tidak disampaikan kepada kita, bukan sesuai apa yang dimaksud oleh orang-orang seperti Ibnu Taymiyah yang memaksakan makna zahir, seperti Muqatil yang memaksakan makna anggota tubuh bagi Allah atau pemaknaan siapa pun yang lain.
Jadi, mau ikut salaf atau ikut tokoh di abad 8 yang menyerang akidah salaf?
Semoga bermanfaat.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad