๐๐จ๐๐จ๐ ๐ง๐๐๐ญ๐๐ฌ๐๐
Oleh Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq
Secara bahasa Ta’ziyah (ุงูุชุนุฒูุฉ) artinya menguatkan. Sedangkan secara istilah adalah menganjurkan seseorang untuk bersabar atas beban musibah yang menimpanya, mengingatan dosanya meratap, mendoakan ampunan bagi mayit dan dari orang yang tertimpa musibah dari pedihnya musibah.[1]
Imam al Khirasyi mengistilahkan Ta’ziyah dengan : “Menghibur orang yang tertimpa musibah dengan pahala-pahala yang dijanjikan oleh Allah, sekaligus mendo’akan mereka dan mayitnya”.[2]
๐ฃ๐ฒ๐ป๐๐๐ฎ๐ฟ๐ถ๐ฎ๐๐ฎ๐ป ๐ง๐ฎ'๐๐ถ๐๐ฎ๐ต
Diantara dalil pensyariatannya adalah sebuah hadits :
ู َุง ู ِْู ู ُุคْู ٍِู ُูุนَุฒِّู ุฃَุฎَุงُู ุจِู ُุตِูุจَุฉٍ ุฅِูุงَّ َูุณَุงُู ุงَُّููู ู ِْู ุญَُูู ุงَْููุฑَุงู َุฉِ َْููู َ ุงَِْูููุงู َุฉِ
“Tidaklah seorang mukmin bertakziyah kepada saudaranyayang terkena musibah kecuali Allah akan memakaikan pakaiankemulian kepadanya di hari kiamat.” (HR. Ibn Majah)
๐๐๐ธ๐๐บ ๐ง๐ฎ'๐๐ถ๐๐ฎ๐ต
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwasanya hukum berta’ziyah kepada orang yang tertimpa musibah adalah sunnah.[3]
๐๐ฎ๐ฑ๐ต๐ถ๐น๐ฎ๐ต ๐ง๐ฎ'๐๐ถ๐๐ฎ๐ต
1. Mendapat pahala seperti pahala orang yang tertimpa musibah
ู َْู ุนَุฒَّู ู ُุตَุงุจًุง ََُููู ู ِุซُْู ุฃَุฌْุฑِِู
“Barangsiapa yang berta’ziyah kepada orang yang tertimpa musibah, maka baginya pahala seperti pahala yang didapat orang tersebut.” (HR. Tirmidzi)
2. Mendapatkan kemuliaan di hari Kiamat
ู َุง ู ِْู ู ُุคْู ٍِู ُูุนَุฒِّู ุฃَุฎَุงُู ุจِู ُุตِูุจَุฉٍ ุฅِูุงَّ َูุณَุงُู ุงَُّููู ู ِْู ุญَُูู ุงَْููุฑَุงู َุฉِ َْููู َ ุงَِْูููุงู َุฉِ
“Tidaklah seorang mukmin bertakziyah kepada saudaranyayang terkena musibah kecuali Allah akan memakaikan pakaian kemulian kepadanya di hari kiamat.” (HR. Ibn Majah)
๐ฌ๐ฎ๐ป๐ด ๐ฑ๐ถ๐๐ฎ'๐๐ถ๐ฎ๐ต๐ถ
Yang dita’ziahi adalah orang yang tertimpa musibah baik laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar. Kecuali anak yang belum memiliki akal. Dan wanita muda tidak boleh dita’ziyahi oleh laki-laki yang bukan muhramnya karena dikhawatirkan fitnah.[4]
Tentu ini apabila sifat takziyahnya sendiri-sendiri, adapun bila bersama-sama tentu kembali ke hukum asalnya (boleh).
๐ช๐ฎ๐ธ๐๐ ๐๐ฒ๐ฟ๐๐ฎ'๐๐ถ๐ฎ๐ต
Menurut jumhur ulama, waktu berta’ziyah adalah tiga hari, dan dimakruhkan melebihi dari tiga hari, karena tujuan Ta’ziyah itu untuk menenangkan hati orang yang tertimpa musibah.
Setelah tiga hari, hati biasanya sudah lebih bisa tenang. Justru bila ada Ta’ziyah setelah itu, akan mengingatkan kepada kesedihannya. Berkata al imam Nawawi rahimahullah :
ูุงู ุฃุตุญุงุจูุง ูุชูุฑู ุงูุชุนุฒูุฉ ุจุนุฏ ุงูุซูุงุซุฉ ูุงู ุงูู ูุตูุฏ ู ููุง ุชุณููู ููุจ ุงูู ุตุงุจ ูุงูุบุงูุจ ุณูููู ุจุนุฏ ุงูุซูุงุซุฉ ููุง ูุฌุฏุฏ ูู ุงูุญุฒู ูุฐุง ูู ุงูุตุญูุญ ุงูู ุนุฑูู
“Dimakruhkan ta’ziyah setelah lebih dari tiga hari karena tujuan ta’ziyah adalah menenangkan hati orang yang terkena musibah. Dan biasanya hatinya tenang setelah tiga hari, maka janganlah memperbaharui kesedihannya lagi. Inilah pendapat yang shahih dan ma’ruf." [5]
Pendapat ini didasarkan kepada hadits :
َูุง َูุญُِّู ِูุงู ْุฑَุฃَุฉٍ ุชُุคْู ُِู ุจِุงَِّููู َูุงَْْูููู ِ ุงْูุขุฎِุฑِ ุฃَْู ุชُุญِุฏَّ ุนََูู ู َِّูุชٍ ََْููู ุซََูุงุซِ ุฃََّูุงู ٍ ุฅَِّูุง ุนََูู ุฒَْูุฌٍ َูุฅََِّููุง ุชُุญِุฏُّ ุนََِْููู ุฃَุฑْุจَุนَุฉَ ุฃَุดُْูุฑٍ َูุนَุดْุฑًุง
"Tidaklah dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Kiamat, untuk berkabung lebih dari tiga hari, terkecuali berkabung kerana (ditinggal mati) suaminya, yaitu selama empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menurut Jumhur, waktu terbaik untuk berta’ziyah adalah setelah mayit dikafankan.
๐ฌ๐ฎ๐ป๐ด ๐ฑ๐ถ๐๐ฐ๐ฎ๐ฝ๐ธ๐ฎ๐ป ๐ธ๐ฒ๐๐ถ๐ธ๐ฎ ๐ฏ๐ฒ๐ฟ๐๐ฎ'๐๐ถ๐ฎ๐ต
Berdasarkan pendapat para ulama dalam masalah ini, boleh disimpulkan bahawa mereka tidak membatasi dan tidak menentukan bacaan-bacaan khusus yang harus diucapkan ketika berta’ziyah.
Berkata Ibnu Qudamah rahimahullah : “Sepanjang yang kami ketahui, tidak ada ucapan tertentu yang khusus dalam ta’ziyah. Namun, diriwayatkan bahwa Nabi ๏ทบ pernah melayat seseorang dan mengucapkan :
ุฑَุญِู ََู ุงُููู َูุขุฌَุฑََู
“Semoga Allah merahmatimu, dan memberimu pahala.” (HR. Tirmidzi)[6]
Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab al Adzkar berpendapat yang paling baik untuk diucapkan ketika ta’ziyah, yaitu apa yang diucapkan oleh Nabi ๏ทบ kepada salah seorang utusan yang datang kepadanya untuk memberi khabar kematian sesorang.
ุฃََّู َِِّููู ู َุง ุฃَุฎَุฐَ ََُููู ู َุง ุฃَุนْุทَู َُُّููู ุดَْูุกٍ ุนِْูุฏَُู ุจِุฃَุฌٍَู ู ُุณَู ًّู َูู ُุฑَْูุง َْููุชَุตْุจِุฑْ َْููุชَุญْุชَุณِุจْ
"Sesungguhnya adalah milik Allah apa yang Dia ambil, dan akan kembali kepadaNya apa yang Dia berikan. Segala sesuatu yang ada disisiNya ada jangka waktu tertentu (ada ajalnya). Maka hendaklah engkau bersabar dan mengharap pahala dari Allah.”(HR. Muslim)
Sebagian ulama mensunnahkan, agar ketika bertakziyah orang muslim yang ditinggal wafat oleh keluarganya membaca :
ุฃَุนْุธَู َ ุงُููู ุฃَุฌْุฑََู َูุฃَุญْุณََู ุนَุฒَุงَู َูุฑَุญِู َ ู َِّูุชَู
"Semoga Allah melipatkan pahalamu, memberimu pelipur lara yang baik, dan semoga Dia memberikan rahmat kepada si mayat.”[7]
๐ง๐ฎ'๐๐ถ๐๐ฎ๐ต ๐ธ๐ฒ๐ฝ๐ฎ๐ฑ๐ฎ ๐ผ๐ฟ๐ฎ๐ป๐ด ๐ธ๐ฎ๐ณ๐ถ๐ฟ
Ada perbedaan pendapat dalam masalah takziyah kepada orang kafir dzimmi (orang kafir dalam perlindungan).
Sebagian ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah memperbolehkannya. Imam Malik berpendapat tidak boleh berta’ziyah kepada orang kafir. Sedangkan dalam madzhab Hanabilah ada dua riwayat pendapat, sebagian riwayat menyebutkan kebolehannya sedangkan dalam riwayat yang lain memakruhkan.[8]
Dalil kalangan yang membolehkan adalah riwayat berikut ini : Dahulu ada seorang anak Yahudi yang sering membantu Nabi ๏ทบ. Suatu ketika si anak ini sakit. Rasulullah ๏ทบ menjenguknya.
Beliau duduk di dekat kepalanya, dan berkata : “Masuklah ke dalam Islam”. Anak tersebut memandang bapaknya yang hadir di dekatnya. Bapaknya berkata, ”Patuhilah perkataan Abul Qasim ,” maka anak itupun masuk Islam.
Setelah itu Nabi ๏ทบ keluar seraya berkata :
ุงْูุญَู ْุฏُ َِِّููู ุงَّูุฐِู ุฃََْููุฐَُู ู َِู ุงَّููุงุฑِ
“Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari siksa api neraka.” (HR. Bukhari).
๐Wallahu a'lam.
___________
[1] Al Mausu’ah al Fiqhyyah al Kuwaitiyyah (36/5)
[2] Syarh al Khirasyi ‘ala Mukhtashar Khalil (2/129)
[3] Al Mughni (3/480), al Ifshah (1/193), al Mausu’ah al Fiqhyyah al Kuwaitiyyah (12/287).
[4] Mughni al Muhtaj (1/354), al Mughni (2/543).
[5] Majmu'Syarh al Muhadzdzab (5/306)
[6]Al Mughni (3/480).
[7] Hasyiyah Radd al Mukhtar (1/604), al Mughni (3/486), al Inshaf (2/565).
[8] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (12/289).
Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq