KENAPA SIH BISA BEDA ?
Oleh Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq
Mengapa awal puasa dan saat berhari raya umat Islam bisa berbeda waktunya ? Jawabnya karena ada beberapa faktor penyebabnya. Diantaranya adalah sebagai berikut :
Pertama, sebagian ulama menggunakan konsep satu Mathla', yakni jika suatu negeri di manapun telah melihat hilal, maka yang lain tinggal mengikuti.
Sedangkan ulama lainnya menggunakan ketetapan banyak mathla', yaitu setiap negeri menggunakan hilalnya sendiri-sendiri.
Kedua, sebagian ulama menyatakan untuk menentukan hilal, cukup dengan perhitungan ilmu hisab. Sedangkan ulama yang lain berpendapat, hisab hanya sebagai alat pembantu, bukan penentu. Untuk menetapkan masuknya awal bulan, harus dengan rukyat langsung.
Ketiga, adanya konsep rukyatul hilal, imkanun rukyatul hilal dan wujudul hilal. Apa lagi itu ?
Rukyatul hilal artinya, hilal harus bisa terlihat secara dzahir. Jika karena sebab tertentu semisal fenomena alam seperti mendung dll. maka hitungan bulan digenapkan 30 hari.
Sedangkan imkanun rukyatul hilal adalah penetapan di mana hilal secara hisab dimungkinkan untuk bisa dilihat jika kondisinya normal, kriteria sendiri berubah-ubah.
Untuk sekarang Indonesia menetapkan hilal minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Maka meski kemudian tidak terlihat, bulan baru bisa ditetapkan.
Sedangkan wujudul hilal, sebenarnya hampir mirip dengan imkanun rukyatul hilal. Hanya perbedaannya, dalam konsep wujudul hilal, jika hilal sudah berada di atas ufuk pada saat matahari terbenam, seberapa pun tingginya (meskipun hanya 0,1 derajat), maka esoknya adalah bulan baru.
Secara ormas, NU memegang pendapat imkanun rukyatul hilal, sedangkan Muhamadiyah menggunakan wujudul hilal.
Jadi, sebenarnya perbedaan NU dan Muhamadiyah itu bukan masalah rukyat dan hisab lagi, tapi tentang perbedaan kriteria atau standar tinggi hilal.
Keempat, perbedaan juga disebabkan adanya yang mengikuti pemerintah dengan yang tidak mengikuti.
Kalangan yang mengikuti, karena memandang bahwa pemerintah posisinya sebagai hakim. Yang manapun metode yang dipakai pemerintah, mau wihdatul mathali', ikhtilaful mathali', rukyatul hilal, imakun rukyatul hilal, atau wujudul hilal dll. Itu yang diikuti. Berdasarkan kaidah "keputusan hakim mengangkat perbedaan."
Sehingga, yang mengikuti pemerintah itu sebenarnya mengikuti metode yang berbeda-beda. Tidak semuanya, ala NU, yakni Imkanun rukyatul Hilal. Hanya saja disatukan oleh kaidah : Ikut Pemerintah.
Sedangkan yang tidak mengikuti memandang bahwa pemerintah hari ini tidak memenuhi syarat sebagai hakim yang wajib diikuti dalam masalah penentuan awal bulan.
Khusus untuk Idul Adha ditambah lagi dengan adanya perbedaan pendapat, apakah rukyat yang ada harus menginduk kepada hilal di Makkah atau tidak ...
Penutup
Demikian sekelumit penjelasan tentang masalah ini. Silahkan masing-masing kita mengikuti yang paling diyakini. Jangan terus dibesar-besarkan, karena masih banyak masalah umat yang lebih urgen untuk diselesaikan. Apalagi merasa diri dan kelompoknya yang paling benar.
Kita harus sadar, ada hikmah dibalik mengapa Allah menentukan puasa dan hari raya kita lewat adanya hilal yang kecil dan "sulit" itu.
Seandainya Allah ta'ala tidak menghendaki adanya hikmah, tentu Dia akan menjadikan bulan purnama sebagai penentu awal puasa dan hari raya umat Islam. Apa susahnya bagiNya ?
Bagi antum yang baru dengar istilah-istilahnya saja sudah pada mengernyitkan dahi, sudahi hobi ribut, berpolemik dan debat masalah agama. Focus berbenah dengan banyak mendengar dan belajar.
Ikuti saja ulama manapun yang menentukan awal bulan berdasarkan keberadaan hilal, bukan pasang surut air laut. Apalagi lewat metode " remot langit".
Dan berdoalah semoga lekas lahir pemimpin agung kaum muslimin yang bisa menyatukan umat Islam kembali, karena kaidah mengatakan :
حكم الحاكم يرفع الخلاف
"Keputusan hakim (pemimpin) akan menghilangkan perbedaan yang terjadi."
Wallahu a'lam.
Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq